Mohon tunggu...
Tata Tambi
Tata Tambi Mohon Tunggu... Guru - mengajar, menulis, mengharap rida Ilahi

Belajar menulis. Semoga bermanfaat dunia dan akhirat.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Mulia dalam Sepi (Petani 2 Negeri #29 dari 60)

31 Desember 2024   07:07 Diperbarui: 31 Desember 2024   06:46 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://desasawahan.gunungkidulkab.go.id/first/artikel/393-Petani-Desa-Sawahan-Memasuki-Panen-Padi-Sawah

Tanyakan pada sejumlah petani yang gigih mengelola lahan dan cita-cita mereka akan masa depan anak mereka. "Nak, belajarlah sungguh-sungguh, supaya hidupmu sukses. Cukuplah bapak yang sengsara menjadi petani, bergelut dengan lumpur, dan dicambuki terik mentari," begitu rata-rata nasihat mereka.

Sikap minder itu tentu tidak terbentuk tanpa alasan. Bisa saja karena para petani sering dimarginalkan. Mungkin oleh sebab para petani sejak kolonialisme dimiskinkan. Lalu, akibat penjajahan itu juga, para petani dikelasbawahkan. Sebab lain juga karena efek sawang sinawang, saling lirik, saling iri, sambil mengidamkan keadaan orang lain.

Sistem tanam paksa oleh Belanda yang disusul dengan Jepang menjadikan nenek moyang kita hanya sebagai petani gurem. Adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Johannes Van Den Bosch, yang mengeluarkan kebijakan sistem tanam paksa. Peraturan yang juga disebut dengan Cultuur Stelsel ini dikeluarkan pada tahun 1830. Di antara aturan kebijakan itu adalah masyarakat yang memiliki tanah wajib memanami 1/5 atau 20% tanahnya dengan tanaman wajib yang ditentukan. Belum lagi biaya pajak yang dibebankan pada sisa tanah yang menjadi haknya, yaitu dari 80% tanahnya. Sebaliknya, masyarakat yang tidak memiliki tanah wajib bekerja di perkebunan pemerintah Belanda selama kurang lebih 20%  dalam setahun, atau kira-kira 60 hari (Diadaptasi dari http://sumbersejarah1.blogspot.co.id/2017/09/aturan-dan-ketentuan-sistem-tanam-paksa.html#ixzz51KBnD8dw).

Para petani sebagai penduduk kelas bawah merasa inferior di hadapan kelas sosial lainnya. Mulai dari pakaian yang rapi, wangi, kendaraan, tata cara gaul, berbekal gawai trendi, atau laptop, dan sebagainya. Sedangkan mereka, pakaian khas petani seadanya, beraroma tanah, dan cipratan lumpur. Bahasa mereka pun tak pernah beranjak dari percakapan sekitar. Politik, sosial, ekonomi, bukanlah jangkauan obrolan mereka.

Kealpaan dalam hal-hal tadi menjadikan sebagian mereka lebih banyak diam. Padahal, obrolan-obrolan itu tak lebih dari isu-isu yang beterbangan dan tidak mampu dihindari oleh pengocehnya, sehingga ia pun menjadi korban isu. Adapun pakaian itu, seragam itu, tanyakan pada mereka, bila diberi kebebasan memilih, apakah mereka memilih terikat dengan aturan berseragam itu ataukah dibebaskan memakai busana sesuai selera? Orang merdeka pasti memilih yang kedua. Sebab, mereka pun tahu, bahwa sekadar keseragaman aksesoris tidak lantas meningkatkan etos kerja. Mungkin saja mereka bekerja sambil mangkel, karena terpaksa memakai kostum yang mereka rasa tidak nyaman.

Nah, Pak Tani, sejak Anda mendedikasikan diri pada pertanian, saat itulah Anda merdeka. Anda datang dan pergi semau Anda, sesuai kebutuhan dan kondisi. Pakaian bebas Anda menjadikan Anda lebih leluasa menggeluti pekerjaan Anda.

Anda bilang aura mereka begitu besar? Bagi saya, gurat lelah pada wajah Anda serta hitam pada tubuh Anda yang kekar bergulat dengan tanah dan sedikit membungkuk oleh tuntutan cangkul adalah perbawa yang tiada tara.

Satu lagi, orang-orang berdasi dan bergawai modern itu membeli hasil tanaman Anda. Produk berlumpur itu pindah ke tangan-tangan wangi. Sementara uang-uang wangi mereka pindah ke tangan Anda. Bagaimana pula bila Anda seorang petani akhirat?

"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman" (QS Ali Imran: 139).

Tentang kemegahan duniawi itu, Allah mengingatkan, "Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal" (QS Thaha: 131).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun