Mohon tunggu...
Tasyah Wahyuni
Tasyah Wahyuni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Fatah Palembang

Saya hobi menulis dan membaca buku, genre yang saya sukai adalah Self Improvement.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Etika dan Moralitas Menuntut Ilmu: Kajian QS. Al-Kahfi Ayat 60-82

13 Desember 2023   21:26 Diperbarui: 13 Desember 2023   22:15 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam surah Al-Alaq ayat 1-5, menuntut ilmu dan memiliki pengetahuan adalah kewajiban umat muslim untuk menghadapi tantangan hidup. 

Dengan menuntut ilmu, seseorang akan memperoleh pengetahuan yang luas dan memiliki kemampuan untuk membedakan antara tindakan yang benar dan tindakan yang salah

1. Namun, ada metode untuk mendapatkan pengetahuan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang diajarkan dalam perspektif Al-Qur'an. Bagaimana memanfaatkan proses belajar agar efektif? Didalam mempelajari ilmu pengetahuan terdapat sesuatu yang amat penting didahulukan, yaitu adab dalam menuntut ilmu.

Para ulama muslim seperti Ibnu Qayyim al-Jauzi, Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, Murtadha Mutahhari, dan Sayyed Hossein Nasr juga banyak berbicara tentang masalah etika dalam menuntut ilmu (Muhammad, 2015). Pendidikan Islam mencakup bukan hanya pengajaran materi (ta'lim) tetapi juga pelatihan seluruh siswa (tarbiyah). 

Oleh karena itu, guru bukan hanya seorang guru yang mengajar tetapi juga seorang murabbi, yang membimbing jiwa dan pribadi. Konsep tarbiyah mencakup pendidikan yang harus mempertimbangkan masalah etika, seperti bagaimana seorang siswa seharusnya bersikap terhadap gurunya agar etika dan tata krama tidak pudar, baik di kelas maupun dengan sesama siswa. Hal ini menunjukkan bahwa keharusan moral bagi semua orang, terutama bagi mereka yang ingin belajar (Nasr, 2015).
   
Sifat ilmu, yang merupakan salah satu sifat yang diwajibkan kepada Allah SWT, merupakan tanda betapa pentingnya ilmu dalam Islam. Bagaimana jika tidak ada ilmu di dunia ini? Bayangkan saja, pasti akan sangat gelap dan tidak jelas. Allah membuat manusia memiliki akal. Bahkan manusia pertama yang diciptakan oleh Allah mendapatkan pelajaran langsung tentang semua yang ada di surga, karena manusia diberi akal dan pikiran, yang membuatnya lebih unggul dari semua makhluk lain. 

Ini ditunjukkan dalam QS. al-Baqarah ayat 30--33. Selain itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama ilmu pengetahuan, dan bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk mengembangkan apa yang sudah kita miliki bersama, yaitu akal pikiran kita, yang merupakan anugerah Allah SWT. yang luar biasa.

1. Definisi Etika Menuntut Ilmu

Etika merupakan sebuah istilah yang dapat merujuk kepada kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Sedangkan etika pendidikan berarti nilai-nilai moral (akhlak) yang digunakan ketika dalam proses menuntut ilmu termasuk di dalamnya ketika melakukan interaksi kepada pendidik.

Istilah "etika" berasal dari bahasa Yunani kuno. Ada banyak arti untuk ethos dalam bentuk tunggalnya, seperti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Ta etha, yang berarti adat kebiasaan, adalah bentuk jamaknya. Namun, Magnis Suseno menggambarkan etika sebagai upaya manusia untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup jika ia ingin menjadi baik (1987: 17-18).

Nama lain, dari etika yaitu adab kata yang dapat diartikan dalam bahasa Arab yaitu aduba, ya'dabu, adaban, yang mempunyai arti sopan santun, beradab. Etika merupakan ilmu yang mempelajari tentang nilai-nilai dan norma perilaku baik buruknya seseorang yang menjadi pegangan untuk setiap manusia dalam menjalin suatu hubungan. Konteks menuntut ilmu dalam perspektif Islam, etika yang dimaksud ialah ahlak yang berasal dari Al-Qur'an dan As Sunnah. 

Kata "menuntut" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti berusaha untuk mendapatkan pengetahuan. Namun, ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis dengan metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu dari bidang tersebut (RI, 2018).

Sementara itu, secara terminologi, etika menurut Magnis Suseno merupakan bentuk usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik. Dalam perspektif Islam, ukuran etis (kebaikan dan keburukan) bersifat mutlak, yaitu berdasarkan pedoman dalil al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad Saw. 

Maka, etika Islam dapat dikatakann merupakan sebuah doktrin etis yang berdasarkan dengan ajaran-ajaran agama yang ajaran primernya diambil dari al-Qur'an dan sunnah yang di dalamnya terdapat nilai- nilai terpuji (mahmudah) seperti: berlaku jujur (shidq), berbuat baik kepada kedua orang tua (birru al-walidain), memelihara kesucian diri (al-iffah), dan lain sebagainya.

2. Pentingnya Etika Pada Menuntut Ilmu Dalam Islam

Dalam QS. al-Baqarah ayat 30-33 menunjukkan betapa pentingnya ilmu untuk manusia, bahkan manusia pertama yang Allah ciptakan, langsung mendapatkan pelajaran tentang apa-apa yang ada di surga oleh Allah. Ayat tersebut juga menjelaskan kepada kita, bahwa Islam adalah agama ilmu pengetahuan, di mana kita semua mempunyai potensi untuk mengembangkan apa yang sudah kita miliki bersama, yaitu akal pikiran kita yang merupakan anugerah Allah yang luar biasa. 

Ilmu yang ada membuat manusia lebih baik. Dengan ilmu manusia dapat mengarahkan perilakunya, dengan perasaannya manusia mendapatkan kesenangan. Kombinasi keduanya membuat hidup manusia lebih terarah, masuk akal dan bermanfaat. Tidak dapat disangkal bahwa ilmu sangat berperan dalam kehidupan manusia, maka bekali diri kita dengan ilmu yang bermanfaat sebanyak-banyaknya.

Al-Qur'an telah berkali-kali menjelaskan pentingnya pengetahuan. Tanpa pengetahuan niscaya kehidupan manusia akan menjadi sengsara. Menuntut ilmu dan memiliki pengetahuan sangat penting bagi semua manusia. Melalui menuntut ilmu, seseorang akan memperoleh pengetahuan. Dengan Menuntut seseorang menjadi berwawasan luas. Dan melalui pembelajaran, seseorang dapat membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah, dapat dilakukan dan tidak mungkin. 

Dalam Fikih Tafsir yang ditulis oleh Al-Qaradawi (2001) menyebutkan bahwa dalam menuntut ilmu haruslah menghormati guru dan bersopan santun terhadapnya. Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad bin Ubbadah bin Ash- Shamith, "Bukan dari umatku orang yang tidak menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda dan mengakui orang yang berilmu diantara kita." Islam meletakkan ilmu sebagai asas dalam pembangunan diri manusia dan alam seluruhnya. 

Di dalam menuntut ilmu terdapat sesuatu yang amat penting yang perlu diketengahkan, yaitu adab menuntut ilmu. Adab menuntut ilmu ini adalah sangat penting untuk menjamin kualitas ilmu yang dipelajarinya. Karena antara menuntut ilmu yang berkesan ialah dengan keridhaan dari gurunya. Adab-adab ilmu bukan seperti adab-adab yang lainnya dari segi membuahkan hasil, namun ia memiliki tatacaranya yang tersendiri yang mesti diketahui oleh penuntut-penuntutnya dan dijadikan pakaiannya sepanjang hayatnya. Inilah hiasan sejati yang tidak boleh lekang dan ditanggal selama-lamanya.

3. Refleksi Etika Menuntut Ilmu Menuntut Ilmu Melalui Q.S. Al-Kahfi 60-82

Di dalam menuntut ilmu terdapat sesuatu yang amat penting yang perlu diketengahkan, yaitu adab menuntut ilmu. Adab menuntut ilmu ini adalah sangat penting untuk menjamin kualitas ilmu yang dipelajarinya. Karena antara menuntut ilmu yang berkesan ialah dengan keridhaan dari gurunya.

Kisah ini bermula pada suatu hari nabi Musa As, berpidato di tengah-tengah bani Israil dalam pidatonya beliau ditanya "siapakah orang yang paling berilmu?" kemudian beliau menjawab "saya", dengan jawaban tersebut beliau mendapat peringatan dari Allah bahwa ada yang lebih berilmu dari padanya yaitu nabi Khidir As. Kemudian nabi Musa As menanyakan keberadaan Nabi Khidir As, dan Allah Swt tidak memberi tahu tempat nabi Khidir As secara jelas melainkan dengan sebuah isyarat yaitu ketika hendak berangkat Nabi Musa diperintahkan untuk membawa ikan asin yang kemudian dipertemuan dua laut, ikan tersebut bisa hidup kembali maka disitulah tempat nabi Khidir As.

a. Q.S. Al-Kahfi Ayat 60-64, Mempunyai Semangat Yang Tinggi Dan tidak putus Asa
Dalam menuntut ilmu.

 Pada ayat 60-64 adalah mengisahkan tentang perjuangan nabi Musa As untuk mencari nabi Khidir As. Dalam Tafsir Mar Labd dikisahkan bahwa nabi Musa As meminta untuk ditemani oleh pembantunya yaitu Yusya ibnu Nun ibnu Ifrayim ibnu Yusuf As yang merupakan salah seorang pemuka kaum Bani Israil yang dihormati, disebutkan Fat karena selalu melayani nabi Musa As dan menjadi pembantunya. Syekh Nawawi al-Bantani menafsirkan dalam ayat tersebut mengisahkan tentang semangat nabi Musa As dalam perjalanan mencari nabi Khidir untuk menuntut ilmu kepadanya.

 Syekh Nawawi al-Bantani menafsirkan yaitu "aku tidak akan berhenti dari langkahku ini," hal tersebut menunjukan bahwa semangat nabi Musa As dalam menuntut ilmu sangat tinggi, dan beliau tidak putus asa dalam perjalanannya menemui nabi Khidir As untuk menuntut ilmu meski jarak yang ditempuh sangat jauh dan membutuhkan waktu yang lama.

Murid harus mempunyai semangat yang tinggi dan tidak putus asa dalam mencari ilmu, meski jarak yang ditempuh jauh dan membutuhkan waktu yang lama. Ini adalah nilai yang terkandung dalam surat al-Kahfi ayat 60-64 yang menceritakan perjuangan Nabi Musa As untuk mencari Nabi Khidir As. Dalam tafsir al-Thabary dikisahkan bahwa Nabi Musa As meminta Yusya' bin Nun yang menjadi rekan perjalanan untuk membawakan makanan untuknya, karena benar- benar lelah usai menjalani perjalanan jauh dalam mencari Nabi Khidir As.

b. Q.S. Al-Kahfi Ayat 65-66, bersikap sopan dan berbaik sangka kepada guru

Ketika nabi Musa As meminta izin kepada nabi Khidir As untuk mengikutinya agar Khidir As mengajarkan ilmu kepadanya. Dalam Tafsir Mar Labd kemudian dijelaskan bahwasanya jawaban Khidir As pada saat itu adalah "Cukuplah bagimu kitab Taurat sebagai ilmu dan bagi kaum Bani Israil, lupakanlah yang lainnya." Musa berkata, "Sesungguhnya Allah telah memerintahkannya kepadaku." 

Maka saat itu terjadilah perdebatan kecil antara nabi Musa As dan nabi Khidir As yang mengklaim bahwa nabi Musa As tidak akan mampu bersabar dalam mengikutinya, namun nabi Musa As meyakinkannya bahwasanya dia mampu untuk bersabar dalam mengikutinya, setelah perdebatan kecil itu akhirnya nabi Khidir As mengijinkan nabi Musa As untuk mengikutinya dengan syarat tidak boleh bertanya tentang apapun yang dilihat oleh nabi Musa As sampai Khidir AS yang akan menjelaskannya sendiri, kemudian nabi Musa As menyetujuinya, pada saat itulah awal perjalanan nabi Musa As mengikuti nabi Khidir As untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.

Dari ayat tersebut dapat kita lihat bahwa Musa As yang merupakan seorang nabi namun berendah hati dihadapan Khidir As sebagai gurunya, dengan sikap yang sopan dan bahasa yang indah serta nada suara yang lembut beliau berbicara kepada Khidir As meminta izin untuk mengikutinya agar Musa As bisa mendapatkan ilmu yang belum diketahuinya. Untuk itu kita sebagai seorang pelajar hendaknya bersikap sopan dan rendah hati kepada guru agar menciptakan interaksi yang baik antara guru dan murid.

Seorang murid harus bersikap sopan kepada gurunya, dalam cerita tersebut tergambarkan ketika Nabi Musa meminta izin untuk mengikuti (baca: belajar) kepada Nabi Khidir As. Menurut al-Thabary kata 'abdan min 'ibadina pada ayat 65 merujuk kepada Nabi Khidir As. Ayat selanjutnya menceritakan bagaimana Musa As kemudian mendatangi khidir seraya mengatakan keinginannya untuk berguru kepada Nabi Khidir.

c. Qs. Al-Kahfi Ayat 67-68, Tidak Mudah Tersinggung
Arti dari Q.S. Al-Kahfi ayat 67-68 adalah "Dia menjawab, "Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku. Bagaimana engkau akan sanggup bersabar atas sesuatu yang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentangnya?". Syekh Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah bagaimana kamu akan dapat bersabar, sedangkan kamu tidak mengetahui ilmunya yakni ilmu yang belum pernah kamu ketahui keterangan dan hikmahnya, yaitu ilmu kasyaf, sedangkan kamu berada dalam ilmu yang tidak aku ketahui yaitu ilmu lahiriah atau ilmu syariat.

Dapat disimpulkan bahwa ketika guru melakukan sesuatu yang terlihat melemahkan murid, seperti nabi Khidir yang mengklaim bahwa nabi Musa As tidak akan mampu bersabar bersamanya, hal itu disebabkan karena guru (Khidir) lebih mengetahui suatu perkara dibandingkan muridnya (Musa). 

Ayat ini juga dapat dijadikan sebagai motivasi untuk nabi Musa As agar lebih bersabar dan giat dalam belajar sehingga dapat memahami perkataan atau tindakan gurunya (Khidir). Jadi jangan berputus asa apalagi tersinggung dengan ucapan guru yang terkesan melemahkan, tapi jadikanlah motivasi untuk belajar lebih giat lagi agar tidak terlihat lemah di hadapan guru, karena boleh jadi ketika guru berbicara seperti itu adalah untuk memotivasi muridnya agar menjadi lebih baik.

Hemat penulis dalam ayat 67 menjelaskan Nabi Khidir mengatakan kepada Nabi Musa bahwa Nabi Musa tidak akan bisa bersabar dalam berguru kepada Nabi Khidir. Di sini Nabi Khidir tidak mengatakan alasannya, hanya mengatakan hal demikian kepada Nabi Musa. Akan tetapi sikap tidaksabaran Nabi Musa tersebut bisa jadi terpicu atas sikap spontanitas yang dimiliki oleh Nabi Musa, sehingga menjadikannya tidak sabar jika berguru kepada Nabi Khidir, karena memang tiga kejadian yang akan menjadi pelajaran bagi Nabi Musa belum terjadi pada ayat ini dan baru akan terjadi pada ayat-ayat yang akan datang. Hemat penulis dalam ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Khidir telah memberikan peringatan kepada Nabi Musa bahwa beliau tidak akan sanggup untuk berguru kepada Nabi Khidir. Hal ini dikarenakan beliau belum memiliki pengetahuan yang cukup atas apa yang akan dilakukan oleh Nabi Khidir.
 
Pada ayat 69 ini merupakan respon dari nabi Musa As atas pernyataan nabi Khidir As yang menyatakan bahwa nabi Musa As tidak akan mampu untuk bersabar dalam mengikutinya. Pada ayat 69 Syekh Nawawi menjelaskan dalam tafsirnya bahwasanya lafal tersebut di-aaf-kan kepada biran, yakni engkau akan mendapati aku seorang yang sabar terhadap segala sesuatu yang kulihat darimu dan tidak akan menentang perintahmu.

Dalam ayat tersebut dapat kita lihat bahwasanya nabi Musa As sejak awal telah berkomitmen untuk bersabar dalam keadaan apapun dan tidak akan menentang perintah Khidir As (gurunya). Hal inilah yang harus dimiliki para murid dalam menuntut ilmu yakni memiliki komitmen untuk bersabar dan mentaati perintah gurunya sesuai dengan syariat agar terciptanya hubungan yang harmonis antara guru dan murid sehingga memudahkan murid dalam menuntut ilmu dan agar mendapatkan ilmu yang berkah.

e. Qs. Al-Kahfi ayat 70, bertanya kepada guru sesuai dengan izin guru
Pada ayat 70 ini merupakan syarat dari nabi Khidir As untuk nabi Musa As, yakni jika Musa As ingin mengikutinya, maka syaratnya adalah jangan bertanya sesuatupun sampai Khidir As yang akan menjelaskannya. Dari ayat tersebut dapat diambil pelajaran bahwa kita sebagai penuntut ilmu hendaklah meminta izin ketika akan bertanya kepada guru. Namun ketika guru menjelaskan pelajaran hendaklah diperhatikan agar apa yang dijelaskan oleh guru dapat dipahami.

Berdasarkan pendapat para Muffasir terkait Qs. Al-Kahfi ayat 70 adalah

a. Allah Swt memberikan perintah terhadap nabi Musa a.s agar menemui seseorang yang lebih berilmu darinya, tujuan dari pada itu agar nabi Musa a.s menuntut ilmu terhadapnya. Seseorang yang berilmu itu bernama nabi khidir a.s.

b. Kemudian selama perjalanan menuju tempat nabi Khidir a.s, nabi Musa pada akhirnya bertemu dengan nabi Khidir a.s lalu dengan sikap tawadhu nabi Musa a.s meminta izin untuk dapat berjalan bersamanya selama dalam perjalanan
menuntut ilmu.

c. Nabi Khidir a.s menerima permintaan nabi Musa a.s dan memberikan sebuah

syarat dengan meminta kepada nabi Musa a.s. jika ingin ikut bersamanya maka nabi Musa harus mentaati peraturan serta mematuhi atas apa yang diperintahkan kepadanya. Jika hendak ingin berjalan bersamanya nabi Khidir a.s. melarangnya untuk bertanya tentang sesuatu apapun selama diperjalanan, serta nabi Khidir meminta bila saatnya tiba maka dia sendiri yang akan menjelaskan dan menerangkannya kepada nabi Musa a.s.

d. Dengan sikap tawadhunya nabi Musa a.s bersedia menerima syarat yang diberikan kepadanya karena ungkapan nabi Khidir a.s ini merupakan sebuah peraturan dan ketentuan agar dapat tetap bisa bersama-sama selama nabi Musa a.s menuntut ilmu.

f. Qs. Al-Kahfi ayat 71-73, adanya penyesalan dan permintaan maaf kepada guru, ketika melakukan kesalahan Pada ayat 71-73 dalam Tafsir Mar Labd menceritakan tentang perjalanan nabi Musa As bersama nabi Khidir As yakni Musa dan Khidir menelusuri tepi pantai mencari perahu untuk tumpangan, adapun Yusya (pembantu nabi Musa) kembali kepada Bani Israil, atau dia mengikuti Musa, akan tetapi tidak disebutkan di dalam ayat, karena yang menjadi peran dari kisah ini adalah Musa dan Khidir. Ketika keduanya menaiki perahu, kemudian Khidir melubanginya. Diriwayatkan dari Ibnu Kaab dari Nabi Saw bahwa ada sebuah perahu yang mereka jumpai, kemudian mereka meminta izin kepada pemiliknya untuk membawa mereka. Pemilik perahu mengenal Khidir melalui tanda yang ada padanya, akhirnya pemilik perahu bersedia membawa mereka tanpa upah. Ketika perahu sampai diperairan yang deras, Khidir mengambil sebuah kapak, lalu mencabut sebuah papan dari perahu itu. Kemudian Musa protes terhadap perbuatan Khidir yang melubangi perahu padahal menurut Musa hal tersebut bias menenggelamkan penumpangnya, akhirnya Musa bertanya kepada Khidir tentang hal tersebut. 

Diriwayatkan bahwa air tidak memasuki perahu tersebut, ketika melihat Khidir berbuat demikian lalu Musa melepaskan bajunya dan menyumbat lubangnya. Setelah mendapat protes seperti itu kemudian Khidir mengingatkan tentang perjanjiannya sejak awal bahwa tidak boleh bertanya apapun. Kemudian nabi Musa As menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada Khidir.

g. Qs. Al-Kahfi ayat 74-76, meminta untuk diberi kesempatan dalam belajar (mengulang), ketika melakukan kesalahan Pada ayat 74-76 itu mengkisahkan tentang perjalanan nabi Musa As dengan nabi Khidir As, yaitu perjalanan yang kedua setelah kesalahan yang dilakukan oleh nabi Musa As yang kemudian dimaafkan oleh Khidir As. Mereka berjalan hingga bertemu seorang anak kecil, kemudian Khidir As membunuhnya, karena perbuatan itu Musa As pun protes terhadapnya dan mengannggap bahwa Khidir As telah melakukan sesuatu yang mungkar, atas protes tersebut kemudian nabi Khidir As mengingatkan bahwa Musa As telah melakukan kesalahan yang kedua. Kemudian nabi Musa As meminta maaf dan meminta kesempatan sekali lagi untuk mengikuti Khidir As. Oleh karena itu kita sebagai penuntut ilmu ketika melakukan kesalahan maka berhak untuk meminta kesempatan untuk memperbaiki kesalahan tersebut, maksimalnya adalah sampai 3 kali kesalahan. Jika sudah melakukan kesalahan yang ketiga maka penuntut ilmu harus menerima konsekuensi atas kesalahannya tersebut.

h. Qs. Al-Kahfi ayat 77-78, murid harus terima konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan
Pada ayat 77-78 adalah mengisahkan tentang perjalanan nabi Musa dan nabi Khidir yang ketiga yakni mereka berjalan hingga memasuki sebuah negeri yang penduduknya tidak mau menjamu mereka (penduduk yang pelit), kemudian mereka
mendapatkan sebuah dinding rumah yang hamper roboh di negeri tersebut, kemudian Khidir As membantu memperbaikinya. Karena perbuatan tersebut kemudian Musa As memberikan saran kepada nabi Khidir As untuk meminta upah kepada si pemilik rumah, setidaknya hanya untuk memberikan minum. 

Namun Khidir Aa pun mengingatkan Musa kembali bahwa ini adalah perpisahan antara kita (Musa dan Khidir), karena Musa telah melakukan kesalahan yang ketiga sehingga harus menerima konsekunsinya, sesuai dengan apa yang dikatakan sebelumnya, bahwa dia (Musa) tidak akan mengikuti Khidir lagi ketika melakukan kesalahan yang ketiga. Oleh karena itu kita sebagai penuntut ilmu harus meneriama konsekuensi ketika kita melakukan kesalahan dan sudah diberi kesempatan, namun kita mengulangi kesalahan itu lagi sebanyak 3 kali, maka kita harus menerima konsekunsi atau hukuman yang diberikan oleh guru.

4. Reinterpretasi Nilai Penghormatan Kepada Guru Dalam Konteks Kekinian

Kisah Nabi Musa As dan Nabi Khidir As dalam surat al-Kahfi ayat 60-82 tidak secara langsung dapat ditafsirkan dalam konteks penafsiran tarbawi (pendidikan). Akan tetapi, ayat ayat tersebut mengandung nilai-nilai yang penting dalam pendidikan, yakni penghormatan tinggi yang dilakukan Nabi Musa As sebagai murid kepada Nabi Khidir As sebagai sang guru. 

Nilai tersebut dapat kita simpulkan dari permintaan/permohonan izin Nabi Musa As kepada Nabi Khidir As untuk berguru kepadanya, komitmen dalam menaati perintahnya, permintaan maaf setelah melakukan kesalahan, dan lain-lain yang telah penulis paparkan di atas. Jika cerita Nabi Musa As tersebut dilihat dengan cerita kehidupan Nabi Musa As yang lain dalam al-Qur'an, akan kita temukan nilai-nilai pendidikan lain.

Nabi Musa dilukiskan sebagai Nabi yang ketika bayi dihanyutkan ke sungai untuk menghindari kekejaman Fir'aun. Al-Qur'an tidak menyinggung secara jelas sosok kedua orang tuanya, terutama ayahnya, namun disebutkan bahwa Nabi Khidir merupakan guru dari Nabi Musa.

Jika mendadabburi al-Qur'an, akan kita temukan bahwa tugas mendidik anak merupakan tanggungjawab orang tua (Al-Tahrim: 6), atau kerabat terdekatnya. Di dalam ayat yang lain, al-Qur'an menyatakan bahwa anak adalah al-'aduw (musuh). Peringatan al-Qur'an tentang kehadiran anak sebagai musuh menunjukkan bahwa anak sesungguhnya tidak bisa dianggap sebagai hasil hubungan biologis suami istri semata. Orang tua harus memberikan hak dan kewajiban kepada anak, begitu pula sebaliknya. Apabila kedua belah pihak mendapatkan hak dan kewajibannya maka tidak akan permusuhan.

Salah satu kewajiban orang tua yakni mendidik anaknya, tugas tersebut biasanya dialihkan kepada guru sebagai pendidik di lembaga pendidikan. Menurut Nasr, guru adalah murabbi (pendidik), yang menjadikannya berkedudukan lebih tinggi daripada hanya seorang Muallim (pengajar). Dalam bahasa arab guru disebutkan dengan istilah mu'allim, murabbi, mudarris, dan mu'addib. Keempat terma tersebut, memiliki makna subtil yang berbeda-beda.

Pertama, mu'allim berasal dari kata 'allama, secara istilah diartikan kepada penggambaran seseorang (guru) yang mempunyai kompetensi keilmuan yang sangat luas. Kedua, murabbi berasal dari kata raba-yarbu, yang berarti: bertambah dan bertumbuh. Maka guru sebagai murabbi berarti mempunyai perana dan fungsi membuat pertumbuhan, perkembangan, serta menyuburkan intelektual dan jiwa peserta didik. Ketiga, mudarris yang berasal dari kata darasa yang berarti: meninggalkan bekas. Maka guru sebagai mudarris mempunyai tugas dan kewajiban membuat bekas dalam jiwa peserta didik. Bekas itu merupakan hasil pembelajaran yang berwujud perubahan perilaku, sikap, dan penambahan atau pengembangan ilmu pengetahuan mereka. Keempat, mu'addib merupakan isim faildari kata addaba yang berarti sopan. Maka guru sebagai mu'addib mempunyai tugas membuat anak didiknya menjadi insan yang berakhlak mulia sehingga mereka berperilaku terpuji.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa guru juga menyandang tugas orang tua dalam mendidik intelektual serta jiwa anak. Maka, hal ini akan mempengaruhi etika yang harus dikedepankan seorang murid kepada berhadapan/berinteraksi dengan gurunya. Mengutip pendapat Syaikh al-Zarnuji, bahwa guru adalah bapak. Pendapat ini memberi konsekuensi terhadap perasaan dan sikap guru yang memanifestasikan cita-
cita orang tua murid. 

Posisi ini, harus disadari oleh kedua belah pihak, sehingga terwujud keseimbangan dalam hak dan kewajiban yang tercermin dalam sikap pribadi masing-masing, baik guru maupun murid. Hubungan ini menunjukkan kedekatan dari sisi psikologis. Posisi ini dipertegas oleh Syaikh az-Zarnuji, bahwa sesungguhnya guru yang mengajar seorang murid walaupun satu huruf dalam hal agama, maka dihukumi sebagai bapak dalam agama, "Maka sesungguhnya orang yang mengajarkanmu satu huruf yang hal tersebut berhubungan dengan masalah agama dan hal itu kamu perlukan, maka ia (guru) tersebut, dapat dihukumi sebagai bapakmu dalam agama."
Maka dapat disimpulkan, bahwa salah satu cara untuk dapat menghormati guru, yakni dengan memposisikannya sebagaimana orang tua, dan memanifestikan norma- norma kepatuhan dan keta'atan sebagaimana kerika berinteraksi dengan orang tua kandung.

Sesungguhnya pada kisah-kisah para Rasul terdapat pengajaran bagi orang yang berfikir. Apa yang diceritakan Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi suatu penegasan terhadap ajakan sebelumnya dan sebagai penjelas tentang segala sesuatu dan merupakan petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. 

Dari ayat di atas dapat difahami bahwa kisah dalam Al-Quran dituturkan dengan sangat indah oleh Allah Swt. tentunya bukan tanpa tujuan, melainkan sarat dengan tujuan. Menurut al- Sharwi > kisah-kisah dalam Al-Quran seringkali menyamarkan tokoh yang ada di dalamnya. Karena tujuan dari kisah dalam Al- Quran adalah ibarat atau hikmah yang ada di dalamnya, bukan fakta dari kisah itu sendiri (Al-Sharwi, n.d.). Kemudian al- Sharw membagi kisah dalam Al-Quran menjadi dua yaitu:

a. Kisah yang dapat terulang kembali, yaitu kisah yang tidak menyebutkan tokohnya secara gamblang. Seperti kisah Nabi Musa dengan Fir'aun. Dalam Al- Qur'an tidak dijelaskan identitas Fir'aun pada zaman Nabi Musa. Hal ini dikarenakan tujuan utama dari kisah tersebut bukanlah Fir'aun maupun waktu kejadian berlangsung, melainkan pelajaran dari kisah tersebut. Yakni, di sepanjang masa akan ada orang yang menuhankan dirinya sendiri, seperti yang
dilakukan oleh Fir'aun. Orang seperti Fir'aun ini tidak hanya dapat dijumpai pada zaman Nabi Musa saja, melainkan setiap zaman. Seperti Hilter di Jerman, Mussolini di Italia, dan lain-lain.

b. Kisah yang tidak dapat terulang kembali, kisah yang menyebutkan tokohnya secara gamblang. Seperti kisah Maryam binti Imrn dan sa bin Maryam, dan para Nabi lainnya seperti Ibrh m, lih, Yunus, Musa, dan yang lainnya. Kisah Maryam dan Nabi Isa merupakan suatu mukjizat yang tidak akan terulang lagi, karena seorang perempuan tidak akan hamil tanpa adanya suami - kecuali Maryam binti Imran -- jika ada seseorang yang mengaku seperti itu, maka ia telah berbohong, karena anak kecil tidak akan dipanggil anak jika tidak memiliki ayah.

Jika dilihat dari pembagian tersebut, maka kisah Nabi Musa bersama Nabi Khidir merupakan kisah yang dapat terulang kembali. Sebab dalam Al-Qur'an nama Nabi Khidir tidak dijelaskan secara gamblang, hanya diidentitaskan dengan hamba saleh. Alasan kisah tersebut dapat terulang kembali adalah karena kisah tersebut merupakan perumpamaan atau kiasan dari Allah Swt. bahwa ada segala sesuatu di dunia ini yang tidak tampak kebenarannya. Hal inilah yang menjadi masalah bagi manusia di dunia ini, hanya terpacu pada hal-hal yang lahiriyah saja. 

Seperti ketika seorang pemimpin mengatakan sesuatu yang bagus menurutnya tapi sangat dibenci oleh rakyatnya dan mengira hal itu adalah kejahatan, begitupula sebaliknya. Semestinya manusia harus waspada terhadap hal ini. Jangan sampai menjadikan diri sendiri sebagai hakim atas segala kehendak Allah SWT.

 Dalam konteks etika dan moralitas menuntut ilmu adalah penekanan pada pentingnya sikap rendah hati, kesediaan untuk terus belajar dan keterbukaan terhadap pengetahuan yang baru. Ayat-ayat ini menceritakan tentang Nabi Musa yang bertebu dengan Khidir, seorang hamba Allah yang memiliki pengetahuan khusus.
 
Dalam kisah tersebut, khidir menunjukkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kebijaksanaan Allah yang tidak bisa dipahami oleh Nabi Musa. Ini menggambarkan bahwa pengtahuan tidka hanya terbatas pada apa yang telah dipelajari seseorang, tetapi juga melibatkan keterbukaan terhadap pengetahuan baru yang mungkin berbeda atau lebih tinggi dari apa yang kita miliki.

Gagasan utama dari segi etika dan moralitas menuntut ilmu dari segi etika dan moralitas menuntu ilmu dalam kisah ini adalah rendah hati, kesedian bahwa pengetahuan yang kita miliki mungkin terbatas dibandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki orang lain. Ini mengajarkan pentingnya rendah hati dalam perjalanan ilmu, keterbukaan terhadap pembelajaran barum serta kesadaran bahwa ada banyak hal yang masih perlu dipelajari meskipun seseorang telah meiliki pengetahuan sebelumnya.

Kesimpulannya, dengan menuntut seseorang menjadi berwawasan luas. Dan melalui pembelajaran, seseorang dapat membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah, dapat dilakukan dan tidak mungkin. Di dalam menuntut ilmu terdapat sesuatu yang amat penting yang perlu diketengahkan, yaitu etika menuntut ilmu. Penelitian dapat memberikan sumbangan dalam upaya memberikan pemahaman mengenai kewajiban belajar dan pentingnya memiliki ilmu pengetahuan, berdasarkan yang terdapat dalam kitab suci pedoman umat Muslim yaitu Al- Qur'an dan As-Sunnah.

Secara ringkas Nilai-nilai etika yang terkandung dalam QS. Al- Kahfi,ayat 60-82 dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Murid harus mempunyai semangat yang tinggi dan tidak putus asa dalam mencari ilmu,
meski jarak yang ditempuh jauh dan membutuhkan waktu yang lama.
2. Seorang murid harus bersikap sopan kepada gurunya.
3. Meminta arahan dalam menuntut ilmu, terutama terkait ilmu-ilmu yang belum
dipelajari.
4. Berbaik-sangka dan meyakini bahwa guru lebih pandai dari murid. Murid tidak
selayaknya mudah merasa tersinggung, tatkala guru melemahkannya dengan perkataannya.
5. Tidak mudah merasa tersinggung, tatkala guru melemahkannya dengan perkataannya.
6. Mempunyai komitmen untuk menjalankan perintah guru atau bersikap taat.
7. Bertanya kepada guru sesuai dengan izin dan kondisi dari seorang guru.
8. Adanya penyesalan dan permintaan maaf kepada guru, ketika murid melakukan
kesalahan.
9. Seorang murid harus siap menerima konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun