Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Tergantungnya Mata Mungil

6 November 2018   12:16 Diperbarui: 6 November 2018   13:43 1745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foyo Imam Sainusi, Pesantren Nuris Jember

Kamar terlihat lengang. Seekor nyamuk menguap keluar dari balik sisi gelap lemari barang. Kukira ia hendak menyapaku, namun ternyata ia malah terbang ke bawah ranjang. Lensaku merayapi dinding dan lantai kamar. Tak berubin tetapi tergelar tikar. Hiasan dinding?... tak ada. Hanya jam weker pengisi ruangan ini. Ia sedang tepekur di sebelahku. Matanya lekat menatap lantai. Mungkinkah ia kesepian? Lemari barang tak mau tahu.

" Weker..." panggilku. Sedari tadi belum ia jawab pertanyaanku. " Jam berapa?" dengan sedikit penekanan. Ia menengok. Mata jarum jam weker bengkok. Gerakannya sangat lemah. Berulang kali ia teracung namun tak lama terjatuh lagi.

" Kamu sakit?" tanyaku. Aku harus memulai keakraban dengannya. Sejak tadi malam ia begitu dingin. Dalam keremangan ia tak mau bicara padaku. Mau tak mau aku yang memulai.

" Bateraiku habis... tolong jangan bertanya terus. Lagi pula ini pagi buta. Aku sedang mengumpulkan sisa-sisa ruhku." Jawabnya ketus.

Pasti menyebalkan jika masa hidup kita telah diketahui dan pada detik-detik terakhir kita secara tak sengaja ikut menghitung mundur. Seperti jam weker, mata mungil mungkin lupa memperbarui baterainya. Tunggu sampai ia lihat akibatnya, seseorang akan mereganggang nyawa. Pintu berderit.

Kusasar suara itu. Nampaklah orang yang kucari. Mata mungil tengah keluar dari kamar mandi dengan berselimut handuk. Ia tersenyum menghampiriku. Tidak... ia menghampiri jam weker. Kulihat mata mungil mengamati gerak mata jarum jam yang semakin melemah. " Wah... bateraimu habis ya? tenang... besok kuberi tahu ibu." . Mata mungil memang baik. Semoga aku beruntung.

Lantas ia meraihku, " berhubung kau terjaga. Mari ikut denganku!" kata-kata belum sempat terjun bebas dari lidahku. Gerakannya begitu mantap. Tubuhku seolah berayun-ayun pada lengannya. Handuk yang tersandang disampirkan. Ia membuka pintu. Ruang dihadapanku masih meremang. Mata mungil menghidupkan saklar dan berjalan. Aku yang sedang berayun kini tertegun memperhatikan.

***

            Awalnya aku mengira ia akan mengajakku bermain kuda-kudaan. Aku merasa tersanjung ia biarkan aku duduk di atas kepalanya. Kami berjalan jauh melewati sejuknya pagi. Bersama ibunya ia membawaku pada suatu tempat. Aku terperangah. Tempat itu lebih aneh dari toko kelontong di kota itu. Tak terlalu besar. Bangunan itu hanya terdiri dari satu ruang besar dengan banyak pilar sebagai penyangganya. Aku menahan tawa saat menyadari penutup bangunan itu berbentuk seperti bawang merah. Bedanya penutup bangunan itu berkilauan.

            " Kau tahu, kan? Apa nama tempat ini?" dengan bimbang aku bergoyang sebagai isyarat jika aku tak tahu.

            " Ali... kok diem? Ayo masuk nak!" ibu menggenggam tangan mata mungil. Membimbingnya masuk kedalam. Aku juga ikut terseret. Sempat kulihat bayang wajahku pada kaca pintu bangunan itu. gagah sekali...! bukan aku tentunya. Mata mungil terlihat lebih dewasa tatkala aku berada di kepalanya. Kami terdiam cukup lama. Mata mungil bersila di atas sajadah, itulah nama alas yang didudukinya. Aku mengatahui nama itu sesaat setelah kami berkenalan. Ia bercerita jika ia sering mendengar namaku disebut, namun tak perbah sekalipun melihatku. Wajahku memerah tak percaya. Aku sudah jauh terkenal sebelum aku diciptakan. Sajadah yang berusia puluhan tahun mengatakannya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun