Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Tergantungnya Mata Mungil

6 November 2018   12:16 Diperbarui: 6 November 2018   13:43 1745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foyo Imam Sainusi, Pesantren Nuris Jember

Di ujung dinding penuh sesak perabot rumah tangga. Pada bagian samping segerombol piring kotor bersembunyi. Malu tatkala melihatku. Jika boleh kubandingkan masih jauh luas ruang di rumah tuan. Selain sempit banyak sekali barang-barang yang menyesakkan. Kulihat sekeliling, aku merasa lebih hidup disini. Belum lagi telah kumiliki saudara-saudara baru. Mereka sangatlah manis. Sejauh perbincangan kami kutahu nama mereka piring dan sendok. Mereka mengaku belum mandi. Sebenarnya walau tanpa mereka katakan akupun sudah tahu. Terlihat pada tubuh mereka yang masih tersisa beberapa butir keringat nasi. Namun tak kukatakan dan hanya kusimpan dalam hati. Hati seorang wanita sangatlah rapuh.

" Kau berasal dari mana?" tanya sendok.

" Tempat yang jauh. Ayahku menempatkanku pada toko kelontong di tengah kota." Aku tak bermaksud berbohong padanya. Hanya saja memang telah kuanggap tuan sebagai ayahku.

" Wah... ternyata kita sama. Dulu ibu juga menjualku disana."

Sunggguh nyaman berbicara dengan mereka. Tak...tak...tak... suara ketukan sendok pada piring membentuk irama yang menghibur. Sendok harus membentur-benturkan kepalanya pada tubuh piring agar dapat bernyanyi, menyambutku. Kali ini mereka memasuki nada tinggi... tak...tak...taakkk.... lagu selesai. Kamipun tertawa bersama.

" Sstt... diam! Tuan Ali datang." Tegur gelas pada kami. Dia memang sedikit berbeda. Kurasa ia belum terbiasa dengan kehadiran laki-laki lain di ruangan ini. Sejauh yang kulihat kebanyakan di sini memang perabotannya adalah perempuan.

" Baiklah kopiah... kali ini kamu istirahat dulu. Saat ini aku mengantuk."

Kembali kudipapah oleh mata mungil. Melewati lorong-lorong rumahnya yang sempit. Kulihat piring dan sendok melambai padaku. Mereka mendoakan semoga aku betah disini. Paling tidak Ali, begitulah mereka memanggil mata mungil adalah seorang tuan yang baik. Usianya masihlah tiga belas tahun, tak sekalipun ia bertindak kasar pada mereka.

Tuan Ali, serasa aneh bagiku. Meski ia lebih tua dariku yang baru berusia beberapa minggu entah mengapa ia tetap terlihat lebih lucu. Sepertinya lebih baik kupanggil ia mata mungil saja.

***

" Jam berapa ini?" Aku mengerjap dua kali saat tiba-tiba lampu kamar membangunkanku. Cahaya sama tetaplah sama terang meski ia sama terpaksa untuk bangun. Aku mengerang tak setuju. Kemarin adalah hari yang berat. Aku harus menempuh berpuluh-puluh kilo bersama ayah untuk bisa sampai di kota ini. Benar-benar menguras tenaga. Aku butuh sedikit waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun