Tahun 1998 Indonesia pernah terjerumus dalam kubangan krisis ekonomi hebat. Tidak hanya meluluhlantakkan pondasi perekonomian nasional, krisis melebar menjadi krisis sosial dan politik.Â
Krisis sebenarnya bermulai dari Thailand. Kegagalan pemerintah Thailand dalam menstabilakn gejolak nilai tukar Baht terhadap dollar Amerika Serikat menjadi cikal bakal terjadinya krisis di negara Asia lain.Â
Investor yang semula menaruh harapan besar terhadap pertumbuhan ekonomi Asia, menarik uang dan menjual asetnya yang berada di kawasan Asia termasuk Indonesia.
Nilai 1 USD yang pada 1997 berada pada kisaran Rp2.000 melonjak hingga menembus angka Rp16.000 pada Juni 1998. Akibatnya, banyak perusahaan yang memiliki utang luar negeri bertenor pendek yang tidak dilindungi gejolak nilai tukar mengalami kerugian dan bangkrut. PHK pun tak terelakan.
Banyak bank yang ditutup pemerintah karena dinilai tidak sehat. Antrian masyarakat yang mengular untuk menarik uang di mesin ATM atau kantor bank yang masih beroperasi menjadi pemandangan sehari-hari. Industri perbankan hancur lebur dibuatnya.
Seolah tak mau ketinggalan, harga kebutuhan pokok turut melonjak tajam. Naiknya harga barang dan jasa terekam dalam catatan tingkat inflasi yang naik tajam hingga menyentuh angka 77.60% (1998). Tahun 1997 angka inflasi tercatat hanya 11.10%.
Kerusuhan dan penjarahan terjadi di Jakarta dan sekitarnya yang mengakibatkan kerugian harta benda dan jiwa. Puncaknya Presiden Soeharto terpaksa lengser dari jabatanya setelah berkuasa selama 32 tahun.
Kenapa dan Bagaimana Krisis Bisa Terjadi?
Krisis antara lain disebabkan oleh adanya risiko sistemik. Risiko sistemik yang terjadi di satu negara bisa menjalar ke negara lain. Kegagalan suatu bank bisa berimbas ke bank lain.
Secara teori terjadinya risiko sistemik disebabkan oleh bertemunya Shock (gangguan) dan Vulnerability (kerentanan).
Dalam krisis moneter 1998, yang menjadi shock atau gangguan adalah peningkatan volatilitas nilai tukar Rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dan kaburnya investor asing. Sedangkan Vulnerability atau kerentanannya adalah dalam bentuk tingginya jumlah utang luar negeri korporasi bertenor pendek yang tidak dilindungi gejolak nilai tukar.
Krisis terjadi ketika nilai tukar dolar yang melambung tinggi bertemu dengan korporasi yang membutuhkan dolar dalam jumlah besar untuk membayar utang yang jatuh tempo. Tak adanya perlindungan terhadap gejolak nilai tukar membuat cash flow perusahaan negatif karena harus membayar utang jauh lebih mahal.
Adanya saling keterkaitan antar institusi dalam transaksi keuangan membuat kondisi ini menimbulkan efek jalar. Jika satu institusi kolaps gara-gara gagal bayar maka institusi lain terkena imbasnya. Maka krisis pun terjadi.
Stabilitas Sistem Keuangan
Dalam sistem lalu lintas ada beberapa jenis kendaraan seperti angkutan umum, mobil pribadi, truk, dan motor. Dengan dukungan infrastruktur jalan yang memadai dan kedisiplinan pengguna jalan, arus lalu lintas dipastikan dapat berjalan lancar.Â
Kehadiran Polisi Lalu Lintas, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ), dan Dinas Pekerjaan Umum dibutuhkan untuk menjaga sistem tersebut berjalan dengan baik.Â
Demikan juga halnya dalam sistem keuangan. Sistem keuangan terdiri dari Bank, Industri Keuangan Non Bank (IKNB), Perusahaan Non Keuangan dan Rumah Tangga. Kesemuanya terhubung dengan infrastruktur keuangan.
Salah satu karakteristik sistem keuangan adalah adanya interaksi antara satu institusi keuangan dengan institusi keuangan lainnya dalam transaksi keuangan. Aset pada satu bank merupakan kewajiban (liability) pada bank lain (bi.go.id).
Otoritas untuk menjaga stabilitas sistem keuangan diberikan kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Keempat lembaga tersebut tergabung dalam sebuah lembaga yang dinamakan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Masing-masing lembaga merumuskan kebijakan sesuai dengan koridornya untuk menjaga dan merawat Stabilitas Sistem Keuangan. BI melalui kebijakan makroprudensial, OJK dengan kebijakan mikroprudensial, dan LPS dengan kebijakan penjaminanan simpanan nasabah perbankan. Menteri Keuangan menjalankan fungsi koordinasi.Â
Merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2016 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, Stabilitas Sistem Keuangan diartikan sebagai kondisi Sistem Keuangan yang berfungsi efektif dan efisien serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri
Bank Indonesia dan Kebijakan Makroprudensial
Ketidaksiapan Indonesia dalam menghadapi krisis keuangan 1998 salah satunya disebabkan oleh ketidakindependanan Bank Indonesia dalam menjalankan fungsinya sebagai bank sentral. Ketidakindependenan tersebut dapat dibaca dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang  Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral.
"Bank menjalankan tugas pokok tersebut dalam Pasal 7, berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah", demikian bunyi Pasal 8 ayat (1).
Pada tahun 1999, Pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia untuk mengganti UU 13/1968. Undang-Undang ini secara tegas melarang campur tangan pemerintah terhadap kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia.
Pasal 4 ayat (2) berbunyi, "Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini."
Berbekal pengalaman menghadapi krisis 1998 dan kewenangan yang lebih independen, Bank Indonesia bersama kebijakan mikroprudensial dan makroprudensial yang dibuatnya melaksanakan misi menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Efektifitas kebijakan yang diambil terbukti mampu menyelamatkan Indonesia dari ancaman krisis ekonomi global pada tahun 2008.
Pada perkembangan berikutnya, fungsi mikroprudensial yang terkait dengan kesehatan, kinerja, dan kelangsungan usaha individual bank dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (bi.go.id). Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Sesuai dengan amanat UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK, Bank Indonesia selanjutnya fokus menjalankan fungsi makroprudensial. Lingkup pengaturan dan pengawasan makroprudensial adalah selain aspek kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank yang merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan mikroprudensial yang menjadi tugas dan wewenang OJK.
Secara lebih terperinci pengawasan makroprudensial oleh Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial. Pengaturan makroprudensial dilakukan dengan menggunakan instrumen pengaturan antara lain untuk:
- memperkuat ketahanan permodalan dan mencegah leverage yang berlebihan;Â
- mengelola fungsi intermediasi dan mengendalikan risiko kredit, risiko likuiditas, risiko nilai tukar, dan risiko suku bunga, serta risiko lainnya yang berpotensi menjadi risiko sistemik;Â
- membatasi konsentrasi eksposur (exposure concentration);Â
- memperkuat ketahanan infrastruktur keuangan; dan/atauÂ
- meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan.
Selanjutnya Bank Indonesia melakukan pengawasan makroprudensial melalui surveilans Sistem Keuangan dalam rangka melakukan penilaian terhadap Risiko Sistemik. Pengawasan juga dilakukan melalui pemeriksaan terhadap Bank dan terhadap lembaga lainnya yang memiliki keterkaitan dengan Bank jika diperlukan.Â
Kebijakan Bank Indonesia Terbaru
Salah satu kebijakan makroprudensial terakhir yang diambil oleh Bank Indonesia adalah menahan suku bunga acuan di level 6% dan menurunkan Giro Wajib Minimum. Melalui siaran pers yang diadakan pada tanggal 20 Juni 2019, kebijakan tersebut diambil dengan mempertimbangkan eskalasi ketegangan hubungan dagang antar AS dan China yang meningkat dan makin memengaruhi dinamika perekonomian global.
Atas keputusan ini, ekonom The Indonesian Institute, Muhamad Rifki Fadilah menilai, kebijakan BI sangat akomodatif, responsif serta mengedepankan prinsip kehati-hatian. Di mana, kurs rupiah dirasakan masih berpeluang melemah (inilah.com).Â
***
Krisis ekonomi 1998 memberi pelajaran yang berharga bagi bangsa Indonesia. Meski ongkos yang dikeluarkan untuk bangkit dari krsis terbilang besar, tapi hikmahnya Indonesia menjadi lebih lebih siap menghadapi krisis. Terbukti krisis ekonomi global 2008 tak membuat ekonomi Indonesia terjungkal untuk kedua kalinya.
Penguatan independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan yang mengambil alih fungsi mikroprudensial, menjadikan Bank Indonesia lebih fokus dalam menjalankan misi pengaturan dan pengawasan makroprudensial.
Semoga Bank Indonesia dan kebijakan makroprudensial yang dibuatnya dapat menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (tasbul).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI