Ketidaksiapan Indonesia dalam menghadapi krisis keuangan 1998 salah satunya disebabkan oleh ketidakindependanan Bank Indonesia dalam menjalankan fungsinya sebagai bank sentral. Ketidakindependenan tersebut dapat dibaca dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang  Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral.
"Bank menjalankan tugas pokok tersebut dalam Pasal 7, berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah", demikian bunyi Pasal 8 ayat (1).
Pada tahun 1999, Pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia untuk mengganti UU 13/1968. Undang-Undang ini secara tegas melarang campur tangan pemerintah terhadap kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia.
Pasal 4 ayat (2) berbunyi, "Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini."
Berbekal pengalaman menghadapi krisis 1998 dan kewenangan yang lebih independen, Bank Indonesia bersama kebijakan mikroprudensial dan makroprudensial yang dibuatnya melaksanakan misi menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Efektifitas kebijakan yang diambil terbukti mampu menyelamatkan Indonesia dari ancaman krisis ekonomi global pada tahun 2008.
Pada perkembangan berikutnya, fungsi mikroprudensial yang terkait dengan kesehatan, kinerja, dan kelangsungan usaha individual bank dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (bi.go.id). Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Sesuai dengan amanat UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK, Bank Indonesia selanjutnya fokus menjalankan fungsi makroprudensial. Lingkup pengaturan dan pengawasan makroprudensial adalah selain aspek kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank yang merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan mikroprudensial yang menjadi tugas dan wewenang OJK.
Secara lebih terperinci pengawasan makroprudensial oleh Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial. Pengaturan makroprudensial dilakukan dengan menggunakan instrumen pengaturan antara lain untuk:
- memperkuat ketahanan permodalan dan mencegah leverage yang berlebihan;Â
- mengelola fungsi intermediasi dan mengendalikan risiko kredit, risiko likuiditas, risiko nilai tukar, dan risiko suku bunga, serta risiko lainnya yang berpotensi menjadi risiko sistemik;Â
- membatasi konsentrasi eksposur (exposure concentration);Â
- memperkuat ketahanan infrastruktur keuangan; dan/atauÂ
- meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan.
Selanjutnya Bank Indonesia melakukan pengawasan makroprudensial melalui surveilans Sistem Keuangan dalam rangka melakukan penilaian terhadap Risiko Sistemik. Pengawasan juga dilakukan melalui pemeriksaan terhadap Bank dan terhadap lembaga lainnya yang memiliki keterkaitan dengan Bank jika diperlukan.Â
Kebijakan Bank Indonesia Terbaru
Salah satu kebijakan makroprudensial terakhir yang diambil oleh Bank Indonesia adalah menahan suku bunga acuan di level 6% dan menurunkan Giro Wajib Minimum. Melalui siaran pers yang diadakan pada tanggal 20 Juni 2019, kebijakan tersebut diambil dengan mempertimbangkan eskalasi ketegangan hubungan dagang antar AS dan China yang meningkat dan makin memengaruhi dinamika perekonomian global.