Aku kini punya hobi baru: Mengintip! Gerak gerik penghuni rumah depan itu bisa kuamati dengan detil dari balik jendela. Wajahnya, dada telanjangnya, semua yang dilakukannya membuatku sibuk mengatur detak jantung. Gila! Aku mulai gila sejak kedatangannya.
Dia menempati rumah kosong di depanku. Awalnya aku senang ada tetangga baru. Bukankah lebih menyenangkan punya teman bicara daripada melamun sendirian?
“Tetangga baru itu ternyata bujangan. Dia seorang laki-laki yang bekerja di kantor pemerintahan di kota,” kata Hans, suamiku setelah ia berkenalan dengan tetangga baru itu. Aku pun agak kecewa. Aku sungkan untuk ngobrol dengan laki-laki yang bukan suamiku. Sejak menikah aku lebih membatasi diri bergaul dengan lawan jenis.
“Tak apa. Orangnya baik dan ramah kok. Kurasa ia bisa jadi tetangga yang menyenangkan,” lanjut Hans lagi.
Namun aku tak setuju dengan pendapat suamiku. Penghuni baru itu sangat jauh dari menyenangkan. Sejak kedatangannya, aku merasa kurang nyaman berlama-lama di luar rumah. Karena tetangga baru itu dia. Ya dia! Lelaki bermata elang itu! Bagaimana mungkin aku melupakannya? Matanya yang tajam, rahangnya yang kukuh, dadanya yang bidang itu dulu pernah menjadi milikku.
Dari balik jendela, aku sering melihatnya duduk di teras rumahnya dengan bertelanjang dada. Ia akan menghabiskan waktu sore hari sepulang dari kota dengan menikmati segelas kopi dan sesuatu yang dikunyahnya dari sebuah piring. Wajahnya masih tampan. Saat mengintipnya dari balik jendela, sesuatu yang dulu kusimpan rapat dalam dada mulai riuh mencari jalan keluar. Aku pun semakin gelisah.
Bagaimana ia tahu aku ada di sini? Aku sudah bersembunyi sejauh mungkin darinya. Kupikir aku sudah tidak akan terjangkau masa lalu, juga kisah-kisah yang pernah kami lalui bersama. Namun kini ia sangat dekat. Beberapa langkah saja, aku bisa jatuh dalam pelukannya lagi.
Mungkin aku yang terlalu paranoid. Mungkin hanya kebetulan ia mendapat tempat di depan rumah. Lalu mengapa aku merasa bahwa ia sedang mencariku? Yang jelas kehadirannya membuatku ingin selalu bersembunyi. Suatu saat pasti suami dan anakku akan mempertanyakan sikapku yang aneh karena terus-menerus mengurung diri di dalam rumah. Aku semakin gelisah memikirkan itu.
Kuncoro namanya, lelaki yang pernah membuatku tergila-gila. Dulu aku adalah gadis petualang yang tangguh. Saat jatuh cinta, aku akan memperjuangkannya dengan segala upayaku. Tak kubiarkan hatiku merana hanya karena Kuncoro telah beristri. Aku tak peduli. Kudekati dia, kurayu dia dengan segala kelebihan yang kupunya. Kutunjukkan bagaimana cara bercinta dengan gadis sepertiku. Lalu Kuncoro terlena, Lelaki itu pun tergila-gila padaku. Kami pun bercinta. Kami lupa bahwa ada perempuan lain yang setia menunggu Kuncoro pulang. Waktu itu yang kutahu hanyalah Kuncoro menjadi milikku.
Kemudian terjadilah peristiwa itu. Saat Kuncoro benar-benar tergila-gila padaku. Ia memutuskan untuk meninggalkan istrinya. Semuanya dia lakukan untukku. Itu adalah keputusan besarnya saat aku menawarinya untuk memilih.
“Aku tidak mungkin menjalani hubungan seperti ini. Aku ingin memilikimu seutuhnya. Kalau kau memang mencintaiku, tinggalkan istrimu, milikilah aku.” Aku mengelus rahangnya dengan penuh cinta, menjejalinya dengan ciuman-ciuman mesra, agar ia benar-benar terpikat padaku selamanya.
Kuncoro pun tak ingin kehilangan aku. Menurut pengakuannya, ia menikahi istrinya karena sebuah perjodohan. Ia tak pernah benar-benar mencintai perempuan itu. Maka aku adalah perempuan yang pertama mendapatkan cintanya. Kuncoro memilihku.
Kami melarikan diri dari kampung itu. Ia tinggalkan istrinya yang sedang mengandung. Kami pun merajut kebahagiaan dalam lautan cinta untuk meraih mimpi hidup bersama.
Namun beberapa hari setelah kami keluar dari kampung dan mulai menyusun rencana berdua di kota, sebuah kabar menggemparkan terpajang di harian ibu kota. Seorang perempuan hamil ditemukan tewas mengenaskan setelah menenggak racun. Perempuan itu Lastri, istri Kuncoro. Aku terkesiap. Aku memang menginginkan Kuncoro, namun aku tidak ingin istrinya mati dengan cara seperti itu. Ada sesuatu yang mengetuk-ngetuk nuraniku. Bagaimanakah rasanya sakit saat ditinggalkan suami dalam keadaan mengandung? Rasa bersalah mulai merasukiku.
Kuncoro pun mengaku bahwa ia sengaja menyuruh seseorang untuk melakukan itu pada istrinya. Mendengar itu, tubuhku serasa tak bertulang. Mengapa cinta membutakan logika? Aku seolah melihat iblis dalam diri lelaki itu, juga dalam diriku sendiri.
“Aku hanya ingin bersamamu Irna. Aku tak pernah mengingini Lastri seperti aku menginginkanmu. Karena itu aku membuatnya pergi.” jelasnya. Seketika aku seperti sedang ditarik ke sebuah jurang yang mengerikan. Aku sedang menjalin cinta dengan seorang pembunuh!
“Tapi bukan seperti ini yang kumau, Kun. Aku juga menginginkanmu, tapi tidak dengan membuatnya seperti itu. Apalagi dia sedang hamil,” kataku. Tak sadar leleran air mata membasahi pipiku. Iblis itu bernama Irna. Iblis itu bernama Kuncoro. Kami berdua adalaah iblis yang membunuh dua nyawa sekaligus.
“Apa bedanya? Kalau Lastri masih hidup, ia akan mencariku, begitupun anak yang dikandungnya. Kemana pun kita pergi mereka akan terus mengejar kita. Namun kalau dia sudah kulenyapkan tidak akan ada lagi yang mengganggu kita,” jelasnya lagi. Aku termangu. Terbayang bagaimana tulusnya Lastri mencintai Kuncoro, Tapi apa yang dilakukan Kuncoro? Hati kecilku mulai berontak. Kalau Kuncoro tega menghabisi perempuan sebaik Lastri, bukankah ada kemungkinan ia juga bisa melenyapkanku?
Lalu suatu hari beberapa lelaki berseragam meringkusnya. Ia tak mampu berkelit bahwa dialah dalang pembunuhan istrinya. Saat itulah kuputuskan untuk pergi jauh. Aku memilih sebuah pulau terpencil untuk bersembunyi darinya.
Di pulau ini aku bekerja sebagai guru. Aku menjadi diriku yang baru. Kubuang masa laluku. Kubuka awal yang baru bersama Hans, lelaki yang menerimaku apa adanya. Ia tak peduli masa laluku yang kelam. Kami menikah dan menjalani kehidupan rumah tangga yang bahagia. Theo, bocah lelaki kecil telah hadir melengkapi cinta kami. Hingga malam ini, semuanya berubah. Kedatangannya membuat hatiku rusuh tak terkira.
Malam ini, malam ketiga sejak kedatangannya. Hans belum pulang. Theo sudah lelap tidur. Aku tak bisa membendung keingintahuanku tentangnya. Kubuka sedikit korden jendela. Aku terperanjat karena sosoknya ada di teras rumahnya. Ia sedang berjongkok dengan kepala menunduk. Lampu terasnya temaram, membuat keadaan remang-remang. Namun kulihat tubuhnya bergoyang-goyang seirama suara gesekan sesuatu yang keras. Beberapa menit kemudian sinar bulan jatuh menimpa apa yang ada dalam genggamannya, sebilah belati. Untuk apa ia mengasah belati malam-malam? Tiba-tiba aku merasa ketakutan. Apalagi setelah tiba-tiba kepalanya menoleh ke arah jendelaku, seolah ia tahu aku sedang mengintipnya.
Deg!
Jantungku berdetak lebih cepat. Tatapan mata itu seolah mengancam. Ada seringai tipis penuh dendam di lengkung bibirnya. Segera kututup korden jendelaku dan aku berusaha menenangkan degup di dadaku. Kutarik selimut menutup tubuhku. Lalu kupejamkan mataku, berusaha untuk tidur.
Tak berapa lama, aku mendengar suara ketukan di pintu. Dadaku berdetak lebih kencang lagi
“Siapa?” tanyaku. Namun tak ada jawaban. Penasaran, aku turun dari ranjang, berjalan menuju pintu. Kuintip dari jendela ruang tamu, tak nampak siapa pun karena di luar sangat gelap. Aku lupa mengingatkan Hans untuk mengganti lampu teras. Ketukan itu terdengar lagi. Kali ini terdengar sebuah suara yang sanggup menggigilkan aliran darah di tubuhku.
“Irna?”
Bagaimana mungkin aku melupakan suara itu? Dadaku makin bergemuruh. Keringat dingin meluncur. Antara takut, khawatir, juga rindu, bercampur menjadi satu.. Aku tak memungkiri perasaanku bahwa aku masih merindukannya. Bagaimanapun ia adalah lelaki pertama yang menjamah tubuhku. Ia yang mengenalkanku pada surga pertama yang kusebut cinta. Entah dorongan dari mana akhirnya kuayunkan tanganku untuk membuka gerendel pintu. Sesosok tubuh jangkung yang tegap dengan dada yang lebar tampak di depanku. Wajahnya masih setampan dulu. Senyumnya masih memesonaku. Dan dadaku masih bergemuruh seperti waktu dulu.
“Kun?” panggilku parau. Lelaki itu mengulas senyum.
“Aku tahu kau sering mengintipku. Aku juga tahu kau masih merindukanku,” bisiknya membuat wajahku memanas.
“Mengapa kau meninggalkanku? “ tanyanya lagi.
“Maafkan aku. Aku hanya...”
“Kau bahagia dengan suamimu?” potongnya cepat. Aku mendengar nada sinis dalam suaranya. Aku menganggukkan kepalaku.
“Apakah suamimu tahu bagaimana dulu kau merayuku dan membuatku tergila-gila padamu? Juga saat aku dipenjara karena membunuh istriku sendiri?”
“Jangan bicarakan hal itu lagi. Itu sudah menjadi masa lalu,” jawabku. Aku mulai merasa tidak nyaman. Ada kemarahan dalam kata-katanya, dan itu cukup mengerikan.
“Masa lalu katamu? Bagiku tidak! Sesudah kepergianmu, aku berusaha menelusuri jejakmu hingga ke pulau ini. Apakah kau masih akan menjauh dariku setelah apa yang kukorbankan untukmu?” Kuncoro masih menatapku. Kali ini tatapannya berbeda. Masih membuat jantungku berdebur kencang, namun bukan oleh asmara, tapi karena rasa takut. Mata itu kini terbungkus dendam! Secara refleks kuayunkan tanganku untuk menutup kembali pintu. Namun terlambat! Tangannya telah mengganjal pintu. Dihentakkannya pintu itu hingga aku terjengkang ke belakang. Ia pun masuk ke ruang tamu.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanyaku dengan suara gemetaran. Aku melangkah mundur. Namun ia malah tertawa dan terus mendekatiku.
“Aku ingin menuntaskan semuanya malam ini.” Kuncoro melangkah semakin mendekatiku.
“Maksudmu?” Aku semakin ketakutan. Tenggorokanku tercekat. Sebuah benda berkilat yang tadi kulihat waktu aku mengintipnya tersembul di pinggangnya. Ia mencabut benda itu, lalu mengayunkannya ke arahku. Aku berteriak dalam kengerian yang luar biasa.
“Jangaaaaaannn...” Dan semuanya menjadi buram. Bayangan Hans dan Theo kulihat semakin samar lalu hilang lenyap.
Cerpen ini dimuat di Harian Joglosemar 23/4/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H