“Jangan bicarakan hal itu lagi. Itu sudah menjadi masa lalu,” jawabku. Aku mulai merasa tidak nyaman. Ada kemarahan dalam kata-katanya, dan itu cukup mengerikan.
“Masa lalu katamu? Bagiku tidak! Sesudah kepergianmu, aku berusaha menelusuri jejakmu hingga ke pulau ini. Apakah kau masih akan menjauh dariku setelah apa yang kukorbankan untukmu?” Kuncoro masih menatapku. Kali ini tatapannya berbeda. Masih membuat jantungku berdebur kencang, namun bukan oleh asmara, tapi karena rasa takut. Mata itu kini terbungkus dendam! Secara refleks kuayunkan tanganku untuk menutup kembali pintu. Namun terlambat! Tangannya telah mengganjal pintu. Dihentakkannya pintu itu hingga aku terjengkang ke belakang. Ia pun masuk ke ruang tamu.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanyaku dengan suara gemetaran. Aku melangkah mundur. Namun ia malah tertawa dan terus mendekatiku.
“Aku ingin menuntaskan semuanya malam ini.” Kuncoro melangkah semakin mendekatiku.
“Maksudmu?” Aku semakin ketakutan. Tenggorokanku tercekat. Sebuah benda berkilat yang tadi kulihat waktu aku mengintipnya tersembul di pinggangnya. Ia mencabut benda itu, lalu mengayunkannya ke arahku. Aku berteriak dalam kengerian yang luar biasa.
“Jangaaaaaannn...” Dan semuanya menjadi buram. Bayangan Hans dan Theo kulihat semakin samar lalu hilang lenyap.
Cerpen ini dimuat di Harian Joglosemar 23/4/2017