Jantungku berdetak lebih cepat. Tatapan mata itu seolah mengancam. Ada seringai tipis penuh dendam di lengkung bibirnya. Segera kututup korden jendelaku dan aku berusaha menenangkan degup di dadaku. Kutarik selimut menutup tubuhku. Lalu kupejamkan mataku, berusaha untuk tidur.
Tak berapa lama, aku mendengar suara ketukan di pintu. Dadaku berdetak lebih kencang lagi
“Siapa?” tanyaku. Namun tak ada jawaban. Penasaran, aku turun dari ranjang, berjalan menuju pintu. Kuintip dari jendela ruang tamu, tak nampak siapa pun karena di luar sangat gelap. Aku lupa mengingatkan Hans untuk mengganti lampu teras. Ketukan itu terdengar lagi. Kali ini terdengar sebuah suara yang sanggup menggigilkan aliran darah di tubuhku.
“Irna?”
Bagaimana mungkin aku melupakan suara itu? Dadaku makin bergemuruh. Keringat dingin meluncur. Antara takut, khawatir, juga rindu, bercampur menjadi satu.. Aku tak memungkiri perasaanku bahwa aku masih merindukannya. Bagaimanapun ia adalah lelaki pertama yang menjamah tubuhku. Ia yang mengenalkanku pada surga pertama yang kusebut cinta. Entah dorongan dari mana akhirnya kuayunkan tanganku untuk membuka gerendel pintu. Sesosok tubuh jangkung yang tegap dengan dada yang lebar tampak di depanku. Wajahnya masih setampan dulu. Senyumnya masih memesonaku. Dan dadaku masih bergemuruh seperti waktu dulu.
“Kun?” panggilku parau. Lelaki itu mengulas senyum.
“Aku tahu kau sering mengintipku. Aku juga tahu kau masih merindukanku,” bisiknya membuat wajahku memanas.
“Mengapa kau meninggalkanku? “ tanyanya lagi.
“Maafkan aku. Aku hanya...”
“Kau bahagia dengan suamimu?” potongnya cepat. Aku mendengar nada sinis dalam suaranya. Aku menganggukkan kepalaku.
“Apakah suamimu tahu bagaimana dulu kau merayuku dan membuatku tergila-gila padamu? Juga saat aku dipenjara karena membunuh istriku sendiri?”