Mohon tunggu...
Tantrini Andang
Tantrini Andang Mohon Tunggu... Penulis - penulis cerpen dan buku fiksi

menulis itu melepaskan hal-hal yang biasa menjadi luar biasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Ketiga

25 April 2017   08:12 Diperbarui: 25 April 2017   18:00 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuncoro pun tak ingin kehilangan aku. Menurut pengakuannya, ia menikahi istrinya karena sebuah perjodohan. Ia tak pernah benar-benar mencintai perempuan itu. Maka aku adalah perempuan yang pertama mendapatkan cintanya. Kuncoro memilihku.

Kami melarikan diri dari kampung itu. Ia tinggalkan istrinya yang sedang mengandung. Kami pun merajut kebahagiaan dalam lautan cinta untuk meraih mimpi hidup bersama.

Namun beberapa hari setelah kami keluar dari kampung dan mulai menyusun rencana berdua di kota, sebuah kabar menggemparkan terpajang di harian ibu kota. Seorang perempuan hamil ditemukan tewas mengenaskan setelah menenggak racun. Perempuan itu Lastri, istri Kuncoro. Aku terkesiap. Aku memang menginginkan Kuncoro, namun aku tidak ingin istrinya mati dengan cara seperti itu. Ada sesuatu yang mengetuk-ngetuk nuraniku. Bagaimanakah rasanya sakit saat ditinggalkan suami dalam keadaan mengandung? Rasa bersalah mulai merasukiku.

Kuncoro pun mengaku bahwa ia sengaja menyuruh seseorang untuk melakukan itu pada istrinya. Mendengar itu, tubuhku serasa tak bertulang. Mengapa cinta membutakan logika? Aku seolah melihat iblis dalam diri lelaki itu, juga dalam diriku sendiri.

“Aku hanya ingin bersamamu Irna. Aku tak pernah mengingini Lastri seperti aku menginginkanmu. Karena itu aku membuatnya pergi.” jelasnya. Seketika aku seperti sedang ditarik  ke sebuah jurang yang mengerikan. Aku sedang menjalin cinta dengan seorang pembunuh!

“Tapi  bukan seperti ini yang kumau, Kun. Aku juga menginginkanmu, tapi tidak dengan membuatnya seperti itu. Apalagi dia sedang hamil,” kataku. Tak sadar leleran air mata membasahi pipiku. Iblis itu bernama Irna. Iblis itu bernama Kuncoro. Kami berdua adalaah iblis yang membunuh dua nyawa sekaligus.

“Apa bedanya? Kalau Lastri masih hidup, ia akan mencariku, begitupun anak yang dikandungnya. Kemana pun kita pergi mereka akan terus mengejar kita. Namun kalau dia sudah kulenyapkan tidak akan ada lagi yang mengganggu kita,” jelasnya lagi. Aku termangu. Terbayang bagaimana tulusnya Lastri mencintai Kuncoro, Tapi apa yang dilakukan Kuncoro? Hati kecilku  mulai berontak. Kalau Kuncoro tega menghabisi perempuan sebaik Lastri, bukankah ada kemungkinan ia juga bisa melenyapkanku?

Lalu suatu hari beberapa lelaki berseragam meringkusnya. Ia tak mampu berkelit bahwa dialah dalang pembunuhan istrinya. Saat itulah kuputuskan untuk pergi jauh. Aku memilih sebuah pulau terpencil untuk bersembunyi darinya.

Di pulau ini aku bekerja sebagai guru. Aku  menjadi diriku yang baru. Kubuang masa laluku. Kubuka awal yang baru bersama Hans, lelaki yang menerimaku apa adanya. Ia tak peduli masa laluku yang kelam.  Kami menikah dan menjalani kehidupan rumah tangga yang bahagia. Theo, bocah lelaki kecil telah hadir melengkapi  cinta kami. Hingga malam ini, semuanya berubah. Kedatangannya membuat hatiku rusuh tak terkira.

Malam ini, malam ketiga sejak kedatangannya. Hans belum pulang. Theo sudah lelap tidur. Aku tak bisa membendung keingintahuanku tentangnya. Kubuka sedikit korden jendela. Aku terperanjat karena sosoknya ada di teras rumahnya. Ia sedang berjongkok dengan kepala menunduk. Lampu terasnya temaram, membuat keadaan remang-remang. Namun kulihat tubuhnya bergoyang-goyang seirama suara gesekan sesuatu yang keras.  Beberapa menit kemudian  sinar bulan jatuh menimpa apa yang ada dalam genggamannya, sebilah belati. Untuk apa ia mengasah belati malam-malam? Tiba-tiba aku merasa ketakutan. Apalagi setelah tiba-tiba kepalanya menoleh ke arah jendelaku, seolah ia tahu aku sedang mengintipnya.

Deg!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun