Mohon tunggu...
Kebijakan Pilihan

Peluang Chairul Tanjung, Cawapres Jagoan Denny Siregar (2)

9 Juni 2018   23:04 Diperbarui: 9 Juni 2018   23:18 1612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa sebenarnya kelemahan utama Jokowi selama periode pertama kepemimpinannya bersama Jusuf Kalla?

Yang menonjol tentu saja ekonomi dan keamanan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2014 hanya 5,01 persen, tahun 2015 sebesar 4,88 persen, tahun 2016 sebesar 5,03 persen, dan tahun 2017 sebesar 5,07 persen. Artinya, Jokowi-JK belum pernah mencapai target pertumbuhan ekonomi yang mereka kehendaki, yakni sebesar 7 persen. Dari sektor keamanan, masih ada PR besar untuk memberantas terorisme. Secara politik, nyaris tak ada gonjang-ganjing sekelas kasus Bank Century, kecuali Aksi Bela Islam.

Jadi, masuk akal bahwa Jokowi akan lebih memilih wakil presiden yang paham dan bisa membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia sesuai target. Lagi-lagi, Chairul Tanjung termasuk menonjol dari sudut pandang ini. Dia berpengalaman sebagai pengusaha, juga selaku Menko Perekonomian.

Dibanding, misalnya, dengan Gatot Nurmantyo, Chairul jauh lebih unggul dari sisi apa pun, kecuali popularitas. Namun, mengingat popularitas Jokowi sudah cukup tinggi, dia sebenarnya tak memerlukan wakil yang punya popularitas tinggi. Tak seperti Gatot yang memainkan isu agama, Chairul jauh dari sikap kontroversial.

Persoalan ekonomi memang sangat vital perannya dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) di Indonesia. Nurdien Aji dan Teguh Dartanto, dalam artikel bertajuk "Behind the Jokowi's victory: did economic voting matter in the 2014 Indonesian presidential election?" yang dimuat Asia-Pacific Journal of Regional Science menuliskan, rakyat Indonesia menilai keberhasilan pemerintah berdasarkan kondisi ekonomi yang mereka rasakan.

Karena itu, daerah yang pertumbuhan ekonominya baik akan cenderung memilih partai/pemimpin yang berkuasa. Demikian sebaliknya, mereka yang merasa kondisi ekonomi memburuk akan memilih lawan petahana.

Dari data ini, kita jadi sangat mafhum genderang politik yang dimainkan kubu oposisi melalui lagu #2019GantiPresiden. Mereka juga bicara ekonomi yang diklaim tambah buruk, seperti lirik di bawah ini:

Dulu kami hidup tak susah. Mencari kerja sangat mudah

Tetapi kini, pengangguran, semakin banyak gak karuan

10 juta lapangan kerja. Tetapi bukan untuk kita

Kerja, kerja, kerja, buruh asing yang kerja

Anak-anak bangsa tetep nganggur aja

Di sana sini orang menjerit. Harga-harga selangit hidup yang sulit,

Sembako naik, listrik naik

Di malam buta, BBM ikut naik (buset)

Pertanyaanya, bagaimana mengukur kondisi ekonomi di daerah atau di desa-desa? Kita bisa mengukurnya berdasarkan variabel berikut; keberadaan bank, pasar, dan kondisi jalan (infrastruktur).

Hasil studi Nurdien dan Teguh menunjukkan bahwa fasilitas desa seperti bank, pasar, dan kondisi infrastuktur berperan penting sebagai pertimbangan rakyat ketika memilih presiden. Peluang Jokowi untuk meraih suara lebih dari 50 persen naik hampir 2 persen di desa yang infrastukturnya bagus. Rakyat desa memang seringkali berharap terlalu besar kepada pemerintah pusat. Akibatya, saat kondisi jalan di desa mereka bagus, mereka cenderung berterima kasih kepada presiden.

Gejala semacam ini sudah kita lihat di era Jokowi. Di banyak tempat, seperti di Sumatera Utara, masyarakat lokal sudah akrab dengan nama "Jalan Jokowi" atau "Tol Jokowi" karena pembangunannya terjadi di era Jokowi.

Pada Pilpres 2014, penelitian menunjukkan bahwa daerah yang memiliki kelas menengah cukup besar ternyata memilih Jokowi, sedangkan buruh tani desa cenderuh memilih Prabowo. Mirip dengan Donald Trump, Prabowo yang sebenarnya tak pernah hidup susah sepanjang hidupnya, berhasil memainkan politik populis seolah-olah dialah harapan petani kecil, nelayan melarat, dan rakyat jelata lainnya.

Selain faktor ekonomi, kontrol atas media juga berpengaruh besar dalam Pilpres. Pada Pilpres 2014, misalnya, orang desa yang punya televisi dan sinyalnya bagus cenderung memilih Prabowo. Sebab, pemberitaan media cenderung bias, tergantung sikap politik pemiliknya. Selain media tradisional, media online juga berpengaruh besar dalam mempengaruh opini publik.

Faktor ketiga yang tak kalah penting adalah agama. Yes, masyarakat kita masih sangat sensitif terhadap isu agama, dan politikus yang mengetahui hal ini betul-betul akan mengeksploitasinya pada Pilpres 2019. Sebagai perbandingan, hasil penelitian menunjukkan bahwa peluang Jokowi meraup suara lebih dari 50 persen turun sebesar 38,3 persen di desa yang mayoritas beragama Islam.

Penelitian terhadap Pilpres 2014 juga menunjukkan hasil mengejutkan lainnya. Ternyata, desa yang tak punya akses media cenderung memilih Jokowi. Mereka mendapatkan informasi soal Jokowi dari kader partai, simpatisan, atau relawan.

Sesudah agama, faktor berikutnya adalah etnis. Desa yang dihuni mayoritas Jawa cenderung memilih Jokowi. Dia dianggap lebih merepresentasikan Jawa ketimbang Prabowo yang sebenarnya juga punya darah Jawa.

Nah, dari semua faktor tadi, Chairul Tanjung memang terlihat cocok dengan Jokowi. Kedekatannya dengan PKS, Demokrat, menurut saya bukan kelemahan. Justru itu bisa menjadi modal agar kalaupun bersaing di Pilpres nanti, tidak ada kader PKS yang membabi buta menyerang pribadi Chairul. Misalnya, mempertanyakan agamanya, garis keturunannya, atau keterlibatannya dalam organisasi terlarang semacam PKI.

Kendalanya justru bukan di situ. Tetapi, mencari kompromi yang pas di antara partai-partai koalisi pendukung pemerintah. Begitu kira-kira pandangan saya. Gimana menurut teman-teman sekalian?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun