Suatu malam setelah terjadi pertengkaran sengit antara kedua orang tuanya, dia mendekatiku yang sedang menyeka air mataku yang berderai tak terbendung lagi dikarenakan kelakuan suamiku yang semakin menjadi-jadi. Belakangan ini dia malah sering tidak pulang lagi ke rumah tanpa alasan yang jelas. Dan yang tak bisa dipungkiri, aku sungguh-sungguh tak bisa lagi menoleransi kelakuannya yang lebih mementingkan egonya daripada keluarganya.
   "Ma, buatlah keputusan yang paling tepat demi kebahagiaan Mama. Aku akan mengikuti Mama ke mana pun Mama pergi karena aku tahu siapa yang benar-benar menyayangiku. Takkan kubiarkan Mama menangis lagi. Aku akan berusaha membuat Mama selalu tersenyum, dan kalau bisa tertawa terpingkal-pingkal, hahaha...."
   Dijulurkannya lidahnya dan kedua matanya dipaksa buka dengan kedua jarinya, jempol dan telunjuk, kiri dan kanan.
   Air mataku jatuh berderai karena terharu mendengar ucapannya yang sepertinya tidak biasanya diucapkan oleh anak-anak seusianya, tetapi aku juga tak bisa menahan tawaku melihat mimik wajahnya yang lucu itu. Suka dan duka datang hampir bersamaan.
   "Maafkan Mama karena telah membuatmu hidup dalam ketidak-tenangan. Semoga keputusan apapun yang Mama ambil nantinya juga merupakan keputusan yang terbaik untukmu, Nak."
   Malam itu aku memikirkan solusi terbaik demi kebahagiaan bersama. Namun aku sadar bahwa apapun keputusan itu, pasti akan membawa dampak, baik yang positif maupun yang negatif, bagi keluarga kami.
   Yang penting kuperhatikan adalah dampak negatifnya yang bisa saja mengganggu kesehatan mentalku.
   Tiba-tiba teringat aku akan cerita kawanku yang pernah mengalami depresi dan akhirnya membaik setelah mengikuti kegiatan meditasi untuk melatih kesadaran.
   Kami bertemu tanpa sengaja di sebuah acara pesta pernikahan anak teman saya, yang menjadi mempelai laki-laki, dengan anak perempuan teman dia yang menjadi mempelai perempuannya.
   "Halo, kamu Yani kan?" sapanya tanpa basa-basi. Kalau boleh berbangga hati, ini membuktikan bahwa diriku masih awet muda kan?
   "Hai, maaf ya, kalau tidak salah kenal, kamu Anita, teman sekelasku dulu waktu di SMA, benar?"