Ku ingin dia adaÂ
Dikala duka laraÂ
Ku ingin dia hadir
Menjawab pertanyaan takdir
Hati ini sepi tak bertuan
Adakah pangeran yang datang tanpa diundang?
      Kumpulan domba awan putih berganti dengan domba kelabu yang membawa amarah besar. Terdengar halilintar dengan gegap gempita saling bertabrakan. Pecut kilat terlihat dari sebalik kaca raksasa lantai dua belas. Bukan hal yang biasa, pertunjukkan gratis ini menjadi pemancar informasi bahwa akan turun hujan dan menjadi berita kerabat sekitar. Perlahan domba hitam itu menangis melahirkan butiran air mata yang deras. Karyawan hilir mudik menuju dapur, terlihat segelas kopi tergenggam erat di tangan mereka. Virus putri tidur akan menyebar saat jatuhnya hujan dan menjadi wabah yang berbahaya bagi mereka yang mencari nafkah. Kopi satu-satunya sebagai obat penawar.
      Sania masih asyik dengan puisinya. Tidak menghiraukan penawaran dari beberapa teman kantornya untuk membuat segelas ramuan kantuk itu. Pemandangan Kota Jakarta tampak mempesona dari atas ketinggian gedung. Namun, sayangnya hari ini sedang hujan. Rumah padat penduduk terlihat berselimut kabut yang tebal. Cahaya-cahaya kecil saja yang terlihat dari sorotan lampu kendaraan, semuanya buram. Indahnya Monas terlihat buram dari dalam karena kumpulan air mata hujan memenuhi dan mengguyur kaca-kaca gedung. Gondola man tidak bersusah payah membersihkan kaca agar mengilap, rahmat Tuhan yang berupa air menjadi pembawa kabar gembira bagi mereka untuk mengusir debu yang menghuni kaca besar gedung.
      Suara dari bolpoin yang dibenturkan ke meja berdansa dengan suara mesin tik yang  berirama serentak. Sania memandang kosong wajahnya yang terpantul di kaca besar. Ruangan kerja yang sangat nyaman. Meja kerjanya berada di pojok sebelah kiri dekat kaca. Ruangan karyawan lantai dua belas tidak ada satu titik pun dinding yang melekat erat, yang terlihat semuanya hanyalah kaca. Gedung ini beraksen kaca yang kuat dan lebar. Kosong. Pikirannya entah kemana. Bolpoinnya kembali menari di atas tentara baris yang tertata rapi dan membentuk sajak cinta kesepian yang indah. Sania menghayati sajak yang tertidur di putihnya kertas, seakan-akan dia merasakan dialah sajak itu. Wajah kosongnya masih menatap dengan anggun ke arah luar kaca.
"Dorrr!" Ratna mengagetkan Sania yang tengah melamun.
      "Bikin kaget aja. Tuh lihat, jadi kecoretkan!" Sania menunjuk lembaran puisinya yang telah ternodai coretan bolpoin seperti benang kusut. Ratna tertawa melihat hasil kejahilannya kepada Sania. "Cengar-cengir. Nggak ada kerjaan lagi emang, selain mengacau hari indah gue?" Sania membenarkan posisi dan menutup buku puisinya. "Nah, lo ngapain kerjaannya nulis puisi terus?" Ratna bertanya balik. Ratna wanita berkacamata sudah menjadi sahabat karib Sania. Semenjak lulus dari sekolah menengah, kini mereka di pertemukan kembali dan bekerja di perusahaan yang sama. Sejak sekolah, Ratna memang terkenal dengan kejahilannya. Karena Sania gadis yang pendiam, sering kali menjadi sasaran empuk untuk bahan kejahilan Ratna.
      "Kenapa sih lo nulis puisi mulu? Kalo ada masalah, cerita dong ke gue. Jangan akrab sama buku, benda itu nggak bisa kasih lo solusi, Na." ucap Ratna yang melihat sahabatnya akhir-akhir ini termenung. Biasanya mereka saling bertukar cerita. Sania mulai membuka suara, cerita tayang diiringi derasnya hujan. pergulatan di antara keluarga membuatnya merasa lunglai. Perkataan mengancam yang dilontarkan dari ayahnya membuat dirinya tidak ingin kembali ke rumah. "Oh, coba lo bicara baik-baik sama orang tua, Na. Pasti mereka mau menerima keluh kesah lo." Ratna mencoba untuk menenangkan masalah yang dialami Sania. Terdengar suara ricuh di dalam ruangan. Karyawan terlihat panik dan membenarkan posisi semula dengan berpura-pura sedang mengerjakan sesuatu. Ratna menyadari kehadiran bos besar datang dengan tatapan beringas. "Semangat, lo pasti bisa, Na." Ratna menepuk bahu Sania dan berlari dengan cepat menuju meja kerja.
      Bos besar mondar-mandir melawan arah. Melihat kesana-kemari karyawan yang tengah bekerja. Sesekali dia memeriksa kinerja bawahannya dengan teliti. "Ini, cepat kamu perbaiki. Saya mau ada rapat hari ini dengan klien." bos besar menunjuk kesalahan di dokumen kepada karyawan berkacamata bernama Angga. Angga hanya mengganguk-angguk saja merespon kritik bos besar. Setelah mampir ke meja Angga, Bos besar itu kini berjalan menuju ke arah Sania. Sania bersiap memasang muka dingin. "Sania, kamu cantik sekali hari ini. Seperti bidadari yang terbang ke hatiku." rayuan gombal dari Bos besar tidak digubris Sania. Ia sibuk menatap layar komputer. Karyawan yang mendengar bos besar merayu Sania hanya tertawa kecil di balik sekat meja kerja. Sesekali ada yang mengintip sedikit dari celah meja. Ratna yang mendengar sahabatnya sedang dirayu, suara batuk yang dikeluarkan dengan sengaja mengema di ruangan. Melihat situasi mengombal yang tidak tepat, bos besar merapikan posisinya dengan tegak sambil membenarkan dasinya. Sebelum meluncur keluar, Bos besar itu memberi perintah kepada karyawannya dengan nada beribawa. Selang beberapa menit, ia meninggalkan ruangan dengan tersenyum kecil ke arah Sania. Namun, Sania tidak menghiraukannya.
      Sebagai anak semata wayang, Sania seperti berlian yang hadir di dalam keluarga. Dia anak satu-satunya perempuan. Dia tidak suka dengan sikap kedua orang tuanya yang terlalu mengekang hidupnya. Dia ingin mandiri. Melepas belenggu dari kekhawatiran orang tua. Perusahaan tempat dia bekerja adalah milik teman ayahnya yaitu Herman yang menjabat sebagai bos besar di kantor Sania. Di usia yang sudah menginjak tiga puluh tahun merupakan masa-masa dimana kehidupan sedang mengalami jutaan dilema. Belum lagi soal jodoh. Sania sering mendapat pertanyaan yang selalu saja mengarah tentang kapan dia akan menikah. Ingin rasanya menyumpal mulut manusia-manusia yang masih berkoar-koar menanyakan hal yang bukan urusannya.
      Joko mendidiknya dengan keras. Ia tidak akan memberikan kebebasan kepada anak semata wayangnya dalam hal memilih pasangan. Dia ingin menjodohkan Sania dengan temannya yang menjadi bos di perusahaan tempat Sania bekerja. Siapa lagi kalau bukan Herman. Joko dan Herman sudah lama menjadi teman karib di perusahaan. Sebelum Herman menjabat, Joko yang pertama kali menjadi bos besar di PT Maju berlantai dua puluh. Usia mereka selisih spuluh tahun. Sania sangat membenci ayahnya yang selalu mempromosikan Herman di matanya. Herman berusia empat puluh tahun dan dia seorang duda. Setelah istri mudanya meninggal karena terkena penyakit, inilah kesempatan emas untuk mencari teman hidupnya yang baru.
      Sania menatap kosong ke arah luar jendela kaca. Kesedihan hujan sudah reda. Terlihat keindahan kota Jakarta terpancar bercahaya. Cahaya mentari berwarna jingga menyembul di sebalik awan hitam. Beberapa rekan kerjanya sedang sibuk membenahi pekerjaannya. Pukul lima sore. Keramaian pun kembali terdengar dengan riuh. Ada yang sibuk dengan ponselnya, ada juga yang sibuk saling berpamitan. Sebuah pesan dari Deva muncul tanpa iklan di ponsel Sania. Wajah Sania memancarkan kebahagiaan. Pesan singkat itu berisi Deva menawarkan Sania untuk pulang bersama. "Ya. Tunggu gue di bawah." jari manisnya menari-nari di atas layar ponsel. Sania dengan sergap menghampiri meja Ratna.
"Gue pulang bareng Deva ya, lu gimana?" tanya Sania.
"Ya, gue masih banyak kerjaan, nih. Duluan aja."
Sania meninggalkan Ratna yang sibuk dengan lembaran dokumen. Sania heran, setiap kali Ratna mendengar kalau dia ingin pulang bersama Deva, Ratna tidak tersenyum sedikit pun. Dia mencoba berpikir positif. Mungkin sahabatnya itu sedang sibuk menikmati masa lemburnya. Dengan cepat, kaki Sania melangkah ke dalam lift dan jari telunjuknya dengan cepat menekan tombol angka satu. Sania merasa nyaman di dekat Deva. Status Deva bukan siapa-siapa di mata Sania. Hanya sebatas sahabat. Selain Ratna yang menjadi tempat curhatnya, Deva sering mendengar keluh kesah dari Sania. Sifatnya yang ramah dan perhatian, membuat Deva ingin menjadi pangeran di hatinya.
Namun, sayangnya Deva sudah berjanji kepada Sania, dia hanya sebatas sahabat bukan yang lain. Walaupun begitu, Sania dan Deva tidak menjaga jarak. Mereka tetap menjaga hubungan baik dan saling melengkapi satu sama lain. Di depan gedung jas hujan berwarna biru terlihat dari repsesionis.
"Hujannya udah reda, masih pakai jas hujan?" candaan Sania dibalas dengan tawa kecil dari Deva. Gigi gingsulnya terlihat menempel indah di gusi merahnya. Membuat senyum Deva semakin manis.
"Ini helm-nya. Mau pakai jas hujan atau nggak? Takut hujan lagi nanti." tanya Deva.
"Nggak usah." jas hujan plastik berwarna hijau kembali dimasukkan ke dalam jok motor. Kota Jakarta tidak terlepas dari masalah padat kendaraan dan akan menimbulkan kemacetan. Perbincangan kecil hadir di antara mereka. Deva berbagi kisahnya tentang hari ini.
"Hari ini hujan, banyak yang order?"
"Alhamdulillah. Hujannya turun jam tiga. Sebelum hujan, banyak yang order." Deva menimpali pertanyaan Sania.
Deva berprofesi sebagai driver ojek online. Pekerjaannya tidak akan pernah terlewat dari sebuah masalah yang tiba-tiba datang. Belum lagi harus bersabar dengan keadaan cuaca dan kalau tidak ada yang pesanan yang masuk. Menjadi seorang ojek online tidaklah mudah. Namun, Deva sudah terbiasa. Deva adalah teman kecil Sania. Sebuah aplikasi ojek online yang mempertemukan mereka kembali. Bukan suatu yang disengaja, dulu Sania lebih sering menggunakan busway untuk berangkat ke kantor. Sekarang Jakarta sedang dilanda hujan lebat, yang terkadang membuatnya lelah berdiri di dalam bus karena ramai. Dia lebih memprioritaskan ojek online. Belum lagi penyakit macet menyerang di kala para pencari nafkah telah kembali ke rumah masing-masing. Membuat jalanan kota Jakarta dipenuhi berbagai jenis kendaraan. Kalau Deva tidak ada yang memesan jasa ojeknya, maka ia akan mengajak Sania untuk pulang bersamanya. Tetapi, Sania juga harus melihat kondisi Deva apabila dia sedang menarik penumpang, maka kesempatan gratis pun akan hilang. Dia rela berdiri lama di dalam bus dan berdesakan dengan orang lain.
"Biasanya kalau sore hari banyak yang order, Dev. Lumayan loh cari penumpang sore-sore kaya gini. Daripada lu nganterin gue, nggak bisa dapat ongkos jajan."
"Santai aja kali. Gue kan sahabat lu."
"Makasi ya, lu udah mau nganterin gue."
"Sama-sama. Gue duluan ya, udah mau azan magrib soalnya."
Lambaian tangan Sania mengiringi kepergian Deva. Hari ini Sania merasa bahagia. Satu per satu flatshoesnya dilepas. "Pulang dengan tukang ojek itu lagi?" suara berat ayahnya membuat Sania terkejut. "Iya, yah." Sania hanya bisa menunduk menjawab pertanyaan ayahnya. Dia berdoa di dalam hati, semoga ayahnya tidak memarahi seperti hari-hari sebelumnya karena pulang bersama Deva.
"Sudah ayah ingatkan berapa kali. Jangan berteman dengan tukang ojek itu lagi. Kamu itu sudah ayah dan bunda jodohkan dengan Herman. Herman itu lebih cocok sama kamu. Dia lebih dewasa, mapan, sukses. Daripada kerja luntang-lantung seperti tukang ojek teman kamu itu. Susah ya mendidik anak yang satu ini. Masuk!"
Sania hanya bisa menunduk. Dia pasrah perkataan ayahnya seperti halilintar yang mengetarkan hatinya. Ingin sekali dia membela Deva di mata ayah, namun dia tidak ingin menambah masalah dengan orang tuanya. Dia tidak ingin kehilangan salah satu orang tuanya. Keluarga adalah tempat yang terindah untuk pulang.
"Yah, kamu jangan terlalu keras mendidik Sania. Sania anak kita satu-satunya. Dia anak perempuan. Seharusnya kita mendidik dia dengan lembut. Sania juga sudah dewasa. Biarlah dia menyelesaikan masalahnya sendiri. Kita bebaskan dia untuk memilih segala hal." Sari mencoba bernegosiasi dengan suaminya.
"Bunda ini, ayah ingin Sania itu bahagia. Tapi, bahagia bukan berteman sama tukang ojek itu. Apalagi mereka sampai menuju pernikahan. Ayah tidak akan merestui sampai kapan pun."
Sania duduk di ruang tamu, mendengar kedua malaikatnya sedang bertengkar karenanya. Dia merasa bersalah. Tapi, di sisi lain, ia ingin merasakan sebuah kebebasan. Jemarinya kembali menorehkan sebuah puisi. Kali ini, ia akan membuat sebuah kiriman puisi di media sosial. Selain menulis puisi di dalam buku, puisinya sering dia posting ke dalam media sosial. Banyak netizen berkomentar yang positif, memuji keindahan sajak yang dibuatnya. Tetapi ada juga netizen yang menggunjing dan berkomentar pedas bahwa Sania masih kekanak-kanakan.
Sania merebahkan tubuhnya di kasur dengan keras. Nyaman, setelah seharian melepas penat bekerja. Kini, plafon putih yang mulus menjadi pemandangan pengantar tidurnya. Terdengar suara notifikasi kecil di ponsel yang tergeletak di meja bermotif mozaik. Secepat kilat, tangan Sania menyambar ponselnya dengan ganas. Terlihat akun @boy.trisakti berkomentar di cerita yang di posting Sania. Komentar yang positif membuat Sania terhipnotis. Selang beberapa menit, kini Sania dan akun tersebut semakin akrab. Betapa terkejutnya dia, akun tersebut meminta nomor whatsapp milik Sania. Tanpa berpikir panjang, nomor kontaknya pun kini milik akun tersebut.
"Oh, namanya si Boy. Keren juga. Dia juga hobinya menulis. Sama kaya gue." Sania terlihat bahagia dengan kehadiran Boy di dalam hidupnya. Ponsel dimatikan dan Sania tersenyum merekah.
Di kantor, Sania tidak melepaskan ponselnya. Pesan yang dikirimkan oleh Boy setiap hari menjadi lentera dalam kesepiannya. Ratna terlihat bingung memadang sahabatnya sering tertawa kecil sendiri sambil menggenggam ponsel di tangan. "Punya pacar baru, nih." candaan Ratna tidak sama sekali digubris Sania. Sania terlihat tertawa sendirian. Membuat Ratna hanya bisa menggaruk kepala yang tidak gatal melihat tingkah laku aneh dari Sania.
"Sania akhir-akhir ini kenapa ya? Lo tahu nggak dia kenapa. Masa gue chat, nggak dibalas." Deva bertanya keadaan Sania kepada Ratna.
Deva melihat wajah Ratna menjadi merah padam. Mendengar kekhawatiran Deva kepada Sania.
"Stop! Kenapa sih Dev. Lo itu selalu aja mikirin Sania. Gue aja nggak pernah lo tanyain keadaanya." Ratna bangkit dan memuntahkan kekesalannya kepada Deva. Deva merespon dengan raut wajah bingung. "Gue itu suka sama lo. Tapi lo nggak pernah nganggep gue ada di mata lo. Selalu aja Sania." Ratna kembali menggerutu. Tanpa berpikir panjang, Deva menyambar jaket hitam yang tersampir di bangku taman dan pergi meninggalkan Ratna yang sedang menggerutu.
"Dev, lo mau kemana?"
Deva diam dan berjalan menuju parkiran tak menghiraukan Ratna yang berteriak memanggil namanya. Suara kesal dari Ratna mengundang perhatian manusia-manusia yang sedang bersantai dan berolahraga di taman. Sania, Deva, dan Ratna memang sahabat. Akan tetapi, Ratna menganggap bahwa persahabatan itu seperti cinta segitiga. Deva sangat dekat dengan Sania. Membuat api kecemburuan tertanam di hati Ratna. Ratna sudah lama memendam rasa cintanya kepada Deva. Namun, Deva tidak pernah merasa peka terhadap sinyal cinta dari Ratna.
Di malam yang sunyi, Sania menuruni anak tangga dengan perlahan. Kedua orang tuanya sedang duduk santai di depan televisi di ruang keluarga.
"Ayah, Bunda. Sania ingin berbicara sesuatu." Sania merasa gugup dan takut melihat sorotan tajam Ayahnya.
"Eh, kamu belum tidur ya. Kemari sayang, sini duduk dekat Bunda." Sari menarik tangan mungil anaknya mengarahkan untuk duduk di dekatnya.
"Apa yang mau kamu sampaikan kepada kami, sayang?" Sari mengelus rambut hitam Sania.
Sania menyampaikan bahwa Boy akan datang menemui Sania dan keluarga. Dan menyampaikan bahwa Boy akan segera melamarnya. "Apa! siapa Boy itu? Ketemu sama Ayah Bunda pun belum pernah. Berani-beraninya ingin melamar kamu. Tidak, Ayah tidak akan pernah setuju kamu menikah dengannya." Joko berdiri dengan geram dan melontarkan kata-kata yang menyayat hati anak semata wayangnya. Sari mencoba menenangkan suaminya dengan mengedipkan mata.
Ayahnya menghembuskan napas panjang. "Baik, Ayah akan restui pernikahan kamu dengan Boy. Tapi ingat. Jika ada masalah diantara kalian, jangan harap Ayah membantu menyelesaikan masalah kamu." Joko pergi meninggalkan Sania dan Sari. Sania memeluk erat Bunda. Kesedihannya tidak dapat dibendung lagi. Bendungan air mata pecah berisi partikel kesedihan dan kebahagian bercampur.
17 September 2017, bertepatan pada hari sabtu. Pernikahan Sania dan Boy akhirnya terlaksana. Pernikahan kedua pasangan bahagia ini bertepat di sebuah gedung. Acara  pernikahan sangatlah mewah. Sania terlihat cantik dengan gaun pernikahan berwarna putih. Dan Boy tampak tampan berjas warna hitam. Di muka panggung pengantin, terdapat kue pernikahan yang besar bertingkat tiga terpampang anggun di depan pengantin. Sekeliling ruangan terdapat deretan bunga tiruan yang dipasang rapi menghiasi hari bahagia mereka. Sama dengan hatinya yang sedang berbunga-bunga, Sania sekarang merasa bahwa dia akan hidup bahagia bersama Boy.
Pria yang baru dikenal selama seminggu itu ternyata tidak menyakitinya. Boy sangat perhatian kepada Sania. Boy adalah pribadi yang sangat ramah di mata Sania. Dia sangat bersyukur kepada Tuhan, telah mempertemukannya dengan pangeran yang terbaik. Semua tamu undangan hadir memenuhi ruangan resepsi. Deva dan Ratna pun hadir, mereka tidak menyangka bahwa Sania akan menikah dengan cepat. Sania optimis dengan keputusannya. Deva terlihat tidak bergairah menatap wajah Sania. Dia berharap semoga Sania bahagia bersama pasangannya. Acara pernikahan dihadiri oleh kerabat terdekat. Tema-teman dari kantor banyak yang hadir. Teman-teman mempelai pria terlihat berbondong-bondong datang dengan antusias menyalami kedua mempelai.
Pintu masuk gedung mengeluarkan beberapa orang berpakaian serba hitam dan terlihat beringas. Sania dan tamu undangan memperhatikan gerak mereka yang semakin cepat menuju panggung pengantin. Tangan kekar dan wajah beringas menyambar dan membekuk kedua tangan Boy. Boy meronta-ronta. Sania terlihat panik dan ingin merebut suaminya dari genggaman polisi.
"Maaf, Ibu. Silakan datang ke kantor polisi untuk informasi lebih lanjut." perintah polisi yang berambut gondrong. Tidak jauh dari pemandangan penangkapan Boy. Polisi juga meringkus Ratna. Sania sangat terkejut. Dia tidak habis pikir, di hari sakralnya akan berakhir seperti ini. Sania lunglai dan jatuh terduduk. Sari yang mengetahui anaknya sedang berduka, langsung memeluknya. Deva melihat sahabatnya yang sedang sedih, mencoba untuk menenangkannya.
"Maafin Sania, Bun. Kenapa semuanya jadi seperti ini. Lalu, siapa yang akan membayar semuanya ini, Bunda." Suaranya terdengar serak karena isakan tangis. Bukan jumlah yang biasa, pernikahan mereka menghabiskan dana sampai miliaran. Hati Sania sangat hancur. Kekacauan di hari bahagianya sama sekali dia tidak harapkan. Para tamu undangan terlihat bingung seperti menonton drama secara langsung. Beberapa teman kantor Sania, diam-diam membicarakannya.
"Aduh, kasihan sekali ya Sania."
"Iya, kasihan. Jangan-jangan calon suaminya penipu." wanita berkebaya merah menimpali perkataan dari temannya.
Sania menatap kosong ke arah luar jendela dari dalam kamar. Di hatinya ada rasa menyesal dan juga tidak menduga bahwa Ratna tega melakukan hal seperti itu. Dialah yang merencanakan semua ini. Boy adalah seorang buronan penipu yang sudah lama dicari oelh pihak kepolisian. Profesi Boy dengan senang digunakan oleh Ratna untuk menghancurkan hidup Sania. Hanya karena Ratna mencintai Deva, dia menghalalkan segala cara dan Sania ikut merasakan pengalaman pahit di dalam hidupnya. Persahabatan mereka menjadi roboh hanya karena ulah Ratna. Deva sesekali menghubungi Sania, namun Sania selalu menolak pesannya. Sania ingin merasakan kesendirian untuk beberapa hari untuk menetralkan kejadian buruk yang menimpanya. Ternyata Boy hanya memberikan cinta yang rekayasa.
Sania merasa bodoh. Kenapa dia tidak berpikir panjang dan matang-matang, pasti semuanya tidak akan terjadi. Atas perbuatan Ratna dan penipu itu, Sania harus membayar semua biaya pernikahannya. Bukan suatu perkara yang kecil, tapi dia harus menyelesaikan masalah sendiri. Suara pintu diketuk membuyarkan lamunan Sania. Dengan cepat, dia menghapus air matanya.
"Bunda." Sania terkejut melihat Bunda tersenyum lebar di depan pintu kamar.
"San, anak Bunda yang manis. Ayah sama Bunda ingin bicara sama kamu. Yuk, kita ke bawah. Ayah sudah menunggu di ruang keluarga.
Sania mengekor Sari menuruni anak tangga. Mata Ayahnya seperti lampu sorot panggung yang menerangi langkah demi langkah Sania. "Duduk samping Ayah." Sari memerintah anaknya untuk duduk di samping suaminya. Sania tampak ragu menuju Ayahnya dan tidak mau menatap matanya. "Ayo, sini duduk." Sari menuntun Sania duduk.
Sania merasa sedang berdampingan dengan malaikat maut. Dia memasang mental dan berpura-pura tidak peduli ketika Ayahnya akan menyerang dengan kata-kata yang hanya membuat hatinya hancur.
 "Tatap wajah Ayah."
Sania perlahan-lahan menaikkan wajahnya. Kini, kedua matanya bertemu dengan sorotan mata yang ganas. "Sebelumnya Ayah ingin meminta maaf. Selama ini Ayah terlalu keras mendidik kamu. Semua masalah tagihan biaya pernikahan kamu, sudah Ayah selesaikan dengan hukum. Jadi, kamu nggak usah khawatir." Joko mencoba berkata lembut dan perlahan di depan anak perempuannya. Sania kembali menunduk, air mata dengan perlahan turun membasahi pipinya.
"Maafin Sania juga, Yah. Selama ini Sania selalu melawan perkataan Ayah."
Joko merasa bersalah dan meraup tubuh anaknya dengan erat. Tubuh Sania limbung di dalam dekapan hangat sang Ayah. Sania menangis dengan deras. Dia tidak menyangka bahwa Ayahnya yang selama ini selalu mengekangnya, ada rasa kasih sayang yang dalam di  hati sang Ayah.
----Tamat---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H