"Yah, kamu jangan terlalu keras mendidik Sania. Sania anak kita satu-satunya. Dia anak perempuan. Seharusnya kita mendidik dia dengan lembut. Sania juga sudah dewasa. Biarlah dia menyelesaikan masalahnya sendiri. Kita bebaskan dia untuk memilih segala hal." Sari mencoba bernegosiasi dengan suaminya.
"Bunda ini, ayah ingin Sania itu bahagia. Tapi, bahagia bukan berteman sama tukang ojek itu. Apalagi mereka sampai menuju pernikahan. Ayah tidak akan merestui sampai kapan pun."
Sania duduk di ruang tamu, mendengar kedua malaikatnya sedang bertengkar karenanya. Dia merasa bersalah. Tapi, di sisi lain, ia ingin merasakan sebuah kebebasan. Jemarinya kembali menorehkan sebuah puisi. Kali ini, ia akan membuat sebuah kiriman puisi di media sosial. Selain menulis puisi di dalam buku, puisinya sering dia posting ke dalam media sosial. Banyak netizen berkomentar yang positif, memuji keindahan sajak yang dibuatnya. Tetapi ada juga netizen yang menggunjing dan berkomentar pedas bahwa Sania masih kekanak-kanakan.
Sania merebahkan tubuhnya di kasur dengan keras. Nyaman, setelah seharian melepas penat bekerja. Kini, plafon putih yang mulus menjadi pemandangan pengantar tidurnya. Terdengar suara notifikasi kecil di ponsel yang tergeletak di meja bermotif mozaik. Secepat kilat, tangan Sania menyambar ponselnya dengan ganas. Terlihat akun @boy.trisakti berkomentar di cerita yang di posting Sania. Komentar yang positif membuat Sania terhipnotis. Selang beberapa menit, kini Sania dan akun tersebut semakin akrab. Betapa terkejutnya dia, akun tersebut meminta nomor whatsapp milik Sania. Tanpa berpikir panjang, nomor kontaknya pun kini milik akun tersebut.
"Oh, namanya si Boy. Keren juga. Dia juga hobinya menulis. Sama kaya gue." Sania terlihat bahagia dengan kehadiran Boy di dalam hidupnya. Ponsel dimatikan dan Sania tersenyum merekah.
Di kantor, Sania tidak melepaskan ponselnya. Pesan yang dikirimkan oleh Boy setiap hari menjadi lentera dalam kesepiannya. Ratna terlihat bingung memadang sahabatnya sering tertawa kecil sendiri sambil menggenggam ponsel di tangan. "Punya pacar baru, nih." candaan Ratna tidak sama sekali digubris Sania. Sania terlihat tertawa sendirian. Membuat Ratna hanya bisa menggaruk kepala yang tidak gatal melihat tingkah laku aneh dari Sania.
"Sania akhir-akhir ini kenapa ya? Lo tahu nggak dia kenapa. Masa gue chat, nggak dibalas." Deva bertanya keadaan Sania kepada Ratna.
Deva melihat wajah Ratna menjadi merah padam. Mendengar kekhawatiran Deva kepada Sania.
"Stop! Kenapa sih Dev. Lo itu selalu aja mikirin Sania. Gue aja nggak pernah lo tanyain keadaanya." Ratna bangkit dan memuntahkan kekesalannya kepada Deva. Deva merespon dengan raut wajah bingung. "Gue itu suka sama lo. Tapi lo nggak pernah nganggep gue ada di mata lo. Selalu aja Sania." Ratna kembali menggerutu. Tanpa berpikir panjang, Deva menyambar jaket hitam yang tersampir di bangku taman dan pergi meninggalkan Ratna yang sedang menggerutu.
"Dev, lo mau kemana?"
Deva diam dan berjalan menuju parkiran tak menghiraukan Ratna yang berteriak memanggil namanya. Suara kesal dari Ratna mengundang perhatian manusia-manusia yang sedang bersantai dan berolahraga di taman. Sania, Deva, dan Ratna memang sahabat. Akan tetapi, Ratna menganggap bahwa persahabatan itu seperti cinta segitiga. Deva sangat dekat dengan Sania. Membuat api kecemburuan tertanam di hati Ratna. Ratna sudah lama memendam rasa cintanya kepada Deva. Namun, Deva tidak pernah merasa peka terhadap sinyal cinta dari Ratna.