"Aduh, kasihan sekali ya Sania."
"Iya, kasihan. Jangan-jangan calon suaminya penipu." wanita berkebaya merah menimpali perkataan dari temannya.
Sania menatap kosong ke arah luar jendela dari dalam kamar. Di hatinya ada rasa menyesal dan juga tidak menduga bahwa Ratna tega melakukan hal seperti itu. Dialah yang merencanakan semua ini. Boy adalah seorang buronan penipu yang sudah lama dicari oelh pihak kepolisian. Profesi Boy dengan senang digunakan oleh Ratna untuk menghancurkan hidup Sania. Hanya karena Ratna mencintai Deva, dia menghalalkan segala cara dan Sania ikut merasakan pengalaman pahit di dalam hidupnya. Persahabatan mereka menjadi roboh hanya karena ulah Ratna. Deva sesekali menghubungi Sania, namun Sania selalu menolak pesannya. Sania ingin merasakan kesendirian untuk beberapa hari untuk menetralkan kejadian buruk yang menimpanya. Ternyata Boy hanya memberikan cinta yang rekayasa.
Sania merasa bodoh. Kenapa dia tidak berpikir panjang dan matang-matang, pasti semuanya tidak akan terjadi. Atas perbuatan Ratna dan penipu itu, Sania harus membayar semua biaya pernikahannya. Bukan suatu perkara yang kecil, tapi dia harus menyelesaikan masalah sendiri. Suara pintu diketuk membuyarkan lamunan Sania. Dengan cepat, dia menghapus air matanya.
"Bunda." Sania terkejut melihat Bunda tersenyum lebar di depan pintu kamar.
"San, anak Bunda yang manis. Ayah sama Bunda ingin bicara sama kamu. Yuk, kita ke bawah. Ayah sudah menunggu di ruang keluarga.
Sania mengekor Sari menuruni anak tangga. Mata Ayahnya seperti lampu sorot panggung yang menerangi langkah demi langkah Sania. "Duduk samping Ayah." Sari memerintah anaknya untuk duduk di samping suaminya. Sania tampak ragu menuju Ayahnya dan tidak mau menatap matanya. "Ayo, sini duduk." Sari menuntun Sania duduk.
Sania merasa sedang berdampingan dengan malaikat maut. Dia memasang mental dan berpura-pura tidak peduli ketika Ayahnya akan menyerang dengan kata-kata yang hanya membuat hatinya hancur.
 "Tatap wajah Ayah."
Sania perlahan-lahan menaikkan wajahnya. Kini, kedua matanya bertemu dengan sorotan mata yang ganas. "Sebelumnya Ayah ingin meminta maaf. Selama ini Ayah terlalu keras mendidik kamu. Semua masalah tagihan biaya pernikahan kamu, sudah Ayah selesaikan dengan hukum. Jadi, kamu nggak usah khawatir." Joko mencoba berkata lembut dan perlahan di depan anak perempuannya. Sania kembali menunduk, air mata dengan perlahan turun membasahi pipinya.
"Maafin Sania juga, Yah. Selama ini Sania selalu melawan perkataan Ayah."