"Kenapa sih lo nulis puisi mulu? Kalo ada masalah, cerita dong ke gue. Jangan akrab sama buku, benda itu nggak bisa kasih lo solusi, Na." ucap Ratna yang melihat sahabatnya akhir-akhir ini termenung. Biasanya mereka saling bertukar cerita. Sania mulai membuka suara, cerita tayang diiringi derasnya hujan. pergulatan di antara keluarga membuatnya merasa lunglai. Perkataan mengancam yang dilontarkan dari ayahnya membuat dirinya tidak ingin kembali ke rumah. "Oh, coba lo bicara baik-baik sama orang tua, Na. Pasti mereka mau menerima keluh kesah lo." Ratna mencoba untuk menenangkan masalah yang dialami Sania. Terdengar suara ricuh di dalam ruangan. Karyawan terlihat panik dan membenarkan posisi semula dengan berpura-pura sedang mengerjakan sesuatu. Ratna menyadari kehadiran bos besar datang dengan tatapan beringas. "Semangat, lo pasti bisa, Na." Ratna menepuk bahu Sania dan berlari dengan cepat menuju meja kerja.
      Bos besar mondar-mandir melawan arah. Melihat kesana-kemari karyawan yang tengah bekerja. Sesekali dia memeriksa kinerja bawahannya dengan teliti. "Ini, cepat kamu perbaiki. Saya mau ada rapat hari ini dengan klien." bos besar menunjuk kesalahan di dokumen kepada karyawan berkacamata bernama Angga. Angga hanya mengganguk-angguk saja merespon kritik bos besar. Setelah mampir ke meja Angga, Bos besar itu kini berjalan menuju ke arah Sania. Sania bersiap memasang muka dingin. "Sania, kamu cantik sekali hari ini. Seperti bidadari yang terbang ke hatiku." rayuan gombal dari Bos besar tidak digubris Sania. Ia sibuk menatap layar komputer. Karyawan yang mendengar bos besar merayu Sania hanya tertawa kecil di balik sekat meja kerja. Sesekali ada yang mengintip sedikit dari celah meja. Ratna yang mendengar sahabatnya sedang dirayu, suara batuk yang dikeluarkan dengan sengaja mengema di ruangan. Melihat situasi mengombal yang tidak tepat, bos besar merapikan posisinya dengan tegak sambil membenarkan dasinya. Sebelum meluncur keluar, Bos besar itu memberi perintah kepada karyawannya dengan nada beribawa. Selang beberapa menit, ia meninggalkan ruangan dengan tersenyum kecil ke arah Sania. Namun, Sania tidak menghiraukannya.
      Sebagai anak semata wayang, Sania seperti berlian yang hadir di dalam keluarga. Dia anak satu-satunya perempuan. Dia tidak suka dengan sikap kedua orang tuanya yang terlalu mengekang hidupnya. Dia ingin mandiri. Melepas belenggu dari kekhawatiran orang tua. Perusahaan tempat dia bekerja adalah milik teman ayahnya yaitu Herman yang menjabat sebagai bos besar di kantor Sania. Di usia yang sudah menginjak tiga puluh tahun merupakan masa-masa dimana kehidupan sedang mengalami jutaan dilema. Belum lagi soal jodoh. Sania sering mendapat pertanyaan yang selalu saja mengarah tentang kapan dia akan menikah. Ingin rasanya menyumpal mulut manusia-manusia yang masih berkoar-koar menanyakan hal yang bukan urusannya.
      Joko mendidiknya dengan keras. Ia tidak akan memberikan kebebasan kepada anak semata wayangnya dalam hal memilih pasangan. Dia ingin menjodohkan Sania dengan temannya yang menjadi bos di perusahaan tempat Sania bekerja. Siapa lagi kalau bukan Herman. Joko dan Herman sudah lama menjadi teman karib di perusahaan. Sebelum Herman menjabat, Joko yang pertama kali menjadi bos besar di PT Maju berlantai dua puluh. Usia mereka selisih spuluh tahun. Sania sangat membenci ayahnya yang selalu mempromosikan Herman di matanya. Herman berusia empat puluh tahun dan dia seorang duda. Setelah istri mudanya meninggal karena terkena penyakit, inilah kesempatan emas untuk mencari teman hidupnya yang baru.
      Sania menatap kosong ke arah luar jendela kaca. Kesedihan hujan sudah reda. Terlihat keindahan kota Jakarta terpancar bercahaya. Cahaya mentari berwarna jingga menyembul di sebalik awan hitam. Beberapa rekan kerjanya sedang sibuk membenahi pekerjaannya. Pukul lima sore. Keramaian pun kembali terdengar dengan riuh. Ada yang sibuk dengan ponselnya, ada juga yang sibuk saling berpamitan. Sebuah pesan dari Deva muncul tanpa iklan di ponsel Sania. Wajah Sania memancarkan kebahagiaan. Pesan singkat itu berisi Deva menawarkan Sania untuk pulang bersama. "Ya. Tunggu gue di bawah." jari manisnya menari-nari di atas layar ponsel. Sania dengan sergap menghampiri meja Ratna.
"Gue pulang bareng Deva ya, lu gimana?" tanya Sania.
"Ya, gue masih banyak kerjaan, nih. Duluan aja."
Sania meninggalkan Ratna yang sibuk dengan lembaran dokumen. Sania heran, setiap kali Ratna mendengar kalau dia ingin pulang bersama Deva, Ratna tidak tersenyum sedikit pun. Dia mencoba berpikir positif. Mungkin sahabatnya itu sedang sibuk menikmati masa lemburnya. Dengan cepat, kaki Sania melangkah ke dalam lift dan jari telunjuknya dengan cepat menekan tombol angka satu. Sania merasa nyaman di dekat Deva. Status Deva bukan siapa-siapa di mata Sania. Hanya sebatas sahabat. Selain Ratna yang menjadi tempat curhatnya, Deva sering mendengar keluh kesah dari Sania. Sifatnya yang ramah dan perhatian, membuat Deva ingin menjadi pangeran di hatinya.
Namun, sayangnya Deva sudah berjanji kepada Sania, dia hanya sebatas sahabat bukan yang lain. Walaupun begitu, Sania dan Deva tidak menjaga jarak. Mereka tetap menjaga hubungan baik dan saling melengkapi satu sama lain. Di depan gedung jas hujan berwarna biru terlihat dari repsesionis.
"Hujannya udah reda, masih pakai jas hujan?" candaan Sania dibalas dengan tawa kecil dari Deva. Gigi gingsulnya terlihat menempel indah di gusi merahnya. Membuat senyum Deva semakin manis.
"Ini helm-nya. Mau pakai jas hujan atau nggak? Takut hujan lagi nanti." tanya Deva.