"Gue Oman. Hidup itu tak semanis gula jawa yang ada di kue putu mayang. Tak juga sepahit kopi hitam. Hidup itu butuh pengorbanan tuk gapai keinginan. Sebagai ojol Batavia, gue harus hidup sebagai bunglon bukan sebuah balon. Bunglon bisa hidup karena mimikri yang menyelamatkannya dari pantauan mangsa. Sama seperti manusia, dimana tempat kita berada, harus selalu siap siaga kala dihantam masalah."
Bayangan hitam itu semakin lebar dan pekat. Bergerak perlahan-lahan memayungi hewan kecil di bawahnya. Hewan kecil itu tampak tenang menikmati aroma sambal terasi yang tumpah sedang disesapnya. Bayangan hitam itu terus mendekati hewan mungil itu. Plakk! Bunyi nyaring yang ditimbulkan alat tepokan lalat berbenturan dengan meja triplek melamin membuat hewan malang itu tewas. Tangan yang dipenuhi keriput halus dengan cepat menyingkirkan lalat yang telah mati. Rasa puas terlihat di wajah Mbok Rasmi yang sudah mulai kendur. Satu prajurit lalat telah gugur di medan makanan milik Si Mbok. Tak terima temannya telah mati, kini rombongan lalat menganggu raksasa yang sedang menggengam erat alat tepokan itu.
Bunyi berdengung dari kepakan sayap membuat Mbok Rasmi bergerak mengeluarkan jurus kungfu untuk mengusir lalat yang ingin mencicipi masakannya. Tepokan lalat dimainkan dengan mahir ke segala penjuru arah. Perilaku Mbok Rasmi mengherankan pembeli yang sedang menikmati makanan khas Jawa Tengah itu. Salah satu pembelinya yang sudah menjadi langganan, memberikan saran kepada Si Mbok agar membeli cairan penyemprot lalat. Namun, Si Mbok menolak. Dia lebih memilih bahan yang sederhana dan mudah dijangkau. Kantong plastik bening diisi air dan digantung dengan tali rafia hitam bergelayutan di sepanjang meja makan, tepatnya di atas etalase. Apabila datang angin dari luar, maka kantong plastik itu akan bergoyang kesana-kemari terlihat seperti orang yang kembung berjalan.
Kantong plastik yang berisi air akan membiaskan cahaya, lalat yang beterbangan akan mudah terhipnotis. Pembiasan cahaya dari kantong plastik itu akan mengusir lalat secara halus tanpa ada yang tewas. Namun, tetap saja lalat-lalat itu akan datang mengintai celah etalase yang terbuka untuk bisa disantap. Suasana hening hadir di antara para pembeli, yang terdengar hanya bunyi sendok dan garpu yang berulang kali meninju piring. Si Mbok terlihat sibuk hilir-mudik melayani pelanggan yang meminta tambahan lauk. Jam makan siang telah datang. Banyak orang yang datang dengan perut yang menyetel musik keroncongan ke Warteg Amanah milik Mbok Rasmi.
Warteg sangat terkenal di Jakarta. Tidak heran, jika sepanjang ruas jalan raya warung makan khas Daerah Tegal ini akan mudah dijumpai di kanan kiri jalan raya. Selain harganya yang bersahabat dengan dompet para pencari nafkah, warteg menyediakan beragam jenis masakan yang enak. Tak kalah enak dengan warteg yang bertetangga dengannya, Warteg Amanah jauh lebih banyak pembeli. Warteg Amanah tidak seluas restoran dan warteg ini sangat terkenal walaupun terletak di Gang sempit di Jalan Dermaga. Si Mbok tidak sendiri, dia dibantu oleh cucu semata wayangnya yang biasa disapa Ewok. Ewok terkenal sangat rajin, walaupun harus rela meninggalkan sekolah menengah pertama karena Mbok Rasmi tidak mampu membiayai sekolahnya.
Oman memperhatikan piring yang sudah tersedia di depannya. Kali ini menu makanan yang akan siap disetor ke tabung pembakar tenaga adalah telur dadar dan tumis toge. Tidak lupa, segelas es teh manis membuat pikirannya menjadi lebih harmonis. Makan siang hari ini ditemani dengan aplikasi bukan seorang kekasih. Embun-embun keringat terlihat di keningnya. Hari yang panas sedang melanda Kota Jakarta. Terlihat di sepanjang jalan raya, ribuan pasang mata menjadi menyipit karena teriknya cahaya matahari. Warteg Amanah adalah tempat makan favorit Oman. Jika mendapat penumpang di daerah Condet, maka dia akan mampir di warteg Mbok Rasmi untuk mengisi bahan bakar tenaganya atau hanya minum kopi.
 "Wok, ini semua jadi berapa?" teriak Oman.
"Sepuluh ribu, Mas." Ewok mencoba berteriak mengalahkan suara-suara pembeli yang kelaparan.
Oman dengan cepat merogoh uang yang ada di dompet lipat berwarna hitam. Uang berwarna hijau berhasil diambil dan diberikan kepada Ewok. Ewok menerima uang dengan senyum merekah. Terlihat gigi ginsul menyembul di balik bibirnya yang hitam. Kini, Tarian Gong asal Suku Dayak yang ada di selembar uang dua puluh ribu berganti dengan Tarian Pakarena yang berasal dari Sulawesi Selatan. Sayang sekali, di jam istirahat seperti ini, seharusnya Ewok menghabiskan waktunya untuk bergaul dengan teman-temannya dan beristirahat di sekolah impiannya. Namun, tidak ada kata lelah baginya setiap hari dia rela bangun sebelum fajar tiba demi membantu Neneknya memasak makanan yang akan disajikan keesokan hari. Ewok sangat menyayangi Si Mbok, ketika ada langganan wartegnya ingin mempekerjakan Ewok di salah satu proyek bangunan, Ewok menolak. Dia lebih memilih tetap bersama dengan Si Mbok. Ewok sudah menganggap Si Mbok menjadi sosok pengganti Ibunya yang bekerja di Negeri Dua Masjid Suci.
Aplikasi Yu-jek itu ditunggunya dengan sabar. Sebatang rokok filter dihisapnya untuk mengobati bibirnya yang panas akibat bumbu tumisan toge yang terlalu pedas. Kumpulan asap dari mulutnya keluar menyebar tersapu oleh angin yang datang. Duduk di atas jok motor yang terasa panas karena terlalu lama dijemur di bawah teriknya sang mentari. Oman melihat pemandangan lalu lintas Jakarta yang rumit. Satu batang rokok telah habis disesapnya. Keinginan menyesapnya lagi, pupus. Oman teringat bahwa harus hidup hemat, uang kost bulan ini belum sempat dibayar. Jika bulan ini menunggak, air di kamar kostnya pasti akan otomatis mati. Kehidupan di Kota Metropolitan menurutnya sangatlah keras. Mencari pekerjaan sangat sulit. Sulit bagi mereka yang tidak mempunyai keterampilan maupun ijazah.
Walaupun korban broken home, dia tidak sudi duduk di pinggir jalan sambil meminta-minta. Bekerja sebagai driver ojek online membuatnya cukup untuk memenuhi kebutuhan di sepanjang kisah hidupnya. Pergi dari rumah dan hidup tanpa ada semangat dari orang tua, Oman merasa lega. Tidak ada lagi kata-kata yang selalu menekannya. Dia perantau, sejak umur 15 tahun Ayahnya memboyong dirinya menuju kerasnya hidup di Ibukota. Oman dan Ratu telah lama menjadi piatu. Ibunya telah meninggal saat melahirkan Ratu sang adik ketika usia Oman genap delapan tahun. Ting! Aplikasinya berbunyi. Order-an membawa barang langsung diterima.
Tujuan Oman ke Jalan Mampang XI, dengan hati-hati sepeda motornya melaju di bawah naungan senja. Paket barang itu harus sampai sebelum pukul enam sore. Pengirim paket itu terlihat garang saat memberikan amanah kepada Oman. "Paket ini harus sampai sebelum pukul enam sore. Hati-hati jalannya, barang itu mudah pecah. Awas aja kamu, kalo sampai kenapa-kenapa sama ini barang, kamu yang ganti rugi." pria itu berkata dengan sorotan mata yang tajam dan bernada sedikit ngegas yang tidak beraturan. Kalau saja dia mengetahui pengirimnya sinis, pasti dia akan segera membatalkan order-an itu.
Oman melaju dengan kecepatan rendah. Jarum speedometer-nya tidak sampai melewati angka 20. Dia sangat takut apabila barang yang sedang dibawanya akan bermasalah dan terkena sanksi berupa ganti rugi. Aspal yang hitam kini berganti menjadi gang-gang yang sempit. Klakson tidak pernah luput dari setiap belokan gang yang curam dan sempit. Sampailah dia di perumahan yang bentuk dan catnya kembar semua. sulit bagi Oman untuk membedakan warna rumah tujuannya.
"Stoppppp!!!" Tiba-tiba motornya berhenti mendadak mendengar suara yang membuatnya terkejut. Terlihat di depan seorang pria berambut ikal berhenti di depan motor Oman, tangan kanannya menempel di kepala motor. Karena terkejut dan takut barang yang dibawanya kenapa-kenapa, dengan cepat kaki kiri mendorong standar motor dan melesat melihat keadaan barang yang masih terbungkus dengan kardus.
"Woi, Mas. Mas! Mas!" beberapa kali pria itu memanggil, namun Oman tidak merespon. Dia tetap sibuk memeriksa kondisi barang dari celah atas kardus. Pundaknya berhasil ditepuk, membuat Oman terperanjat.
"Maaf, Bang. Saya nggak denger. Ada apa ya, Bang?" Oman penasaran dengan pria yang memanggil-manggil namanya tadi.
"Lo tau ini daerah mana?" nada pria itu semakin terdengar sangar.
"Mampang, Bang." sahut Oman dengan nada polos.
"Bukan! Ini daerah kekuasaan gue, tau nggak sih lo? Lihat ke kanan! Motor lo berhenti tepat di depan markas gue." nada pria itu semakin naik temponya.
Oman dengan cepat melirik ke arah kanan. Terlihat gubuk kecil yang terbuat dari bambu yang disusun dan menjadi bahan utama dari gubuk itu. Papan triplek berwarna cokelat dan terukir nama Pangkalan Ojek Gang Bawang yang ditulis menggunakan cat tembok berwarna hitam. Gubuk itu terlihat antik. Atapnya berbeda dengan pangkalan ojek lainnya. Gubuk kecil itu beratap daun kelapa yang sudah mengering. Di sebelah kanan gubuk itu dibiarkan terbuka agar suasana di gubuk semakin sejuk. Tirai bambu atau biasa orang betawi kenal dengan sebutan kerey terpasang di sebelah kanan gubuk tersebut.
"Woi! Malah asyik ngeliatin. Ngapain lo ke sini-sini, ini daerah kekuasaan gue!"
"Ya maaf, Bang. Saya nggak tahu. Saya mau nganter barang ini ke rumah Bunda Irene."
"Oh, lo lurus aja dari sini, rumahnya ada di pojok sebelah kiri. Rumah Bunda ada banyak pot bunga mawarnya." pria berambut ikal itu tiba-tiba menjadi baik.
"Ok, Makasih Bang."
"Eeeettt, tunggu bentar. Ojol itu nggak boleh lewat sini. Ngerti nggak lo." ketika ingin melesat pergi, pria itu menutupi lagi jalan Oman.
"Bukannya Abang juga ojol ya?" Oman melontarkan pertanyaan teka-teki.
"Ojol? Masa sih? Gue-kan mangkal, sedangkan lo pake aplikasi. Aneh banget pertanyaan lo." pria itu tampak bingung mencerna pertanyaan yang menjebaknya.
"Saya ojol, ojek online. Â Abang juga ojol, ojek offline." Oman menunjuk dirinya dan memberitahu jawaban teka-teki kepada pria itu dengan senyum meledek. Tangan kiri pria itu masih berada di dagunya. Kedua matanya melirik ke atas. Benaknya mencoba mencerna pernyataan dari Oman.
"Oh iya, bener juga lo. Ya udah dah, jalan sono." pria itu mempersilakan Oman pergi. Posisi pria itu masih sama seperti tadi. Terus-terusan menggosok dagunya yang tidak gatal.
      Kumpulan tanaman bunga mawar terlihat indah di halaman depan rumah. Bunga mawar itu berjajar dengan rapi. Mereka hidup sendiri-sendiri di dalam pot yang terbuat dari tanah liat berwarna cokelat. Tak hanya tanaman bunga mawar yang berwarna merah, di sisi kiri terdapat tanaman bunga matahari dan tanaman bunga asoka. Sepertinya Bunda Irene sangat menyukai tanaman bunga yang cantik. Rumahnya berbeda dengan rumah tetangganya. Hanya halaman depan rumah Bunda yang seperti taman surga. Tidak ada satu pun rumput liar yang singgah di halaman depannya. Berbeda dengan tetangga sebelah yang senang memelihara rumput liar sampai gemuk.
      "Permisi, Yu-jek... paket... Yu-jek... Sore...." suara Oman melengking memanggil tuan rumah.
      "Iyaa..." wanita itu keluar rumah dengan mukena yang masih membalut tubuhnya.
      "Dengan Bunda Irene?" tanya Oman memastikan.
      Wanita itu hanya mengangguk. Kardus itu kini tiba di pangkuan penerima. Bunda Irene meletakkan kardus itu di dekat tanaman bunga mawar dengan kasar. Jantung Oman terasa ingin copot ketika kardus itu dibanting dengan kasar, kelihatannya Bunda keberatan memengang kardus itu. Perlahan, Bunda membuka tutup kardus itu menggunakan cutter. Kepala Oman melongok agar matanya dapat mengetahui barang apa yang membuat dirinya merasa stres dan panik berlebihan. Bunda Irene yang mengetahui gelagat aneh Oman, langsung bertanya.
      "Kenapa ya Mas?"
      "Nnggak Bu, saya penasaran aja sama kardus itu isinya apa? Hehehe."
      "Ini pupuk tanaman, Mas." Bunda Irene menunjukkan sekantong plastik yang berisi pupuk berwarna hitam. Oman benar-benar kaget. Mengingat pengirim barang itu memiliki sikap seperti ayam yang baru menetaskan anak-anaknya, galaknya minta ampun. Tapi, di dalam hatinya merasa lega. Amanah itu sudah dia laksanakan dengan baik. Selembar uang tip lima puluh ribu diberikan kepada Oman. Alhamdulillah, tidak sia-sia perjuangan menyampaikan sebuah amanah telah usai dilaksanakan. Baginya, mendapatkan konsumen yang baik hati dan tidak sombong bukanlah kehendaknya, itu semua sudah ada yang berkuasa. Beragam orang di luar sana membuatnya semakin hati-hati dalam bersikap.
      Ada suatu kejadian di luar nalar yang pernah Oman alami. Dia tidak percaya kalau teman-temannya sering bercerita tentang penumpang gaib. Dan uang yang diberikan oleh penumpang itu akan berubah menjadi selembar daun yang hijau. Setelah singgah dan mengantarkan amanah yang telah usai, kini dia berhenti di salah satu masjid untuk menunaikan ibadah sholat isya. Menarik penumpang ketika malam hari sudah biasa dilakukannya hingga larut. Namun, dia merasa kapok setelah tidak percaya dengan cerita dari teman-temannya. Suatu malam di luar dugaannya mendapat hal yang tak masuk di akal. Ingin dia pulang setelah sholat isya, namun hatinya yang rakus mendorongnya untuk menambah satu order-an lagi.
      Dia mengikuti keinginan kata hatinya. Orang-orang terlihat sibuk memakai sepatu dan banyak yang memesan ojol. Aplikasinya sudah ready, namun tidak ada satu pun order-an yang masuk ke dalam aplikasinya. Oman beranjak dari masjid, mengendarai motornya menembus keramaian kota di malam hari. Setelah dua jam mengelilingi Kota Hujan, tak ada satu pun order-an yang singgah di ponselnya. Ketika ingin berbalik arah, ponselnya berbunyi. Satu order-an penumpang masuk. Yuni, terlihat nama itu tertidur di baris nama pemesan. Niatnya ingin membatalkan order-an itu, karena pukul sebelas malam terpancar di sudut kanan layar ponselnya.
      Tujuan wanita itu satu arah dengan jalan pulang Oman. Oman segera melesat pergi. Ada perasaan tidak enak yang menganjal di hatinya. Namun, apalah daya pesanan itu sudah diterimanya. Mau tidak mau, dia harus menjemput wanita itu. Sampailah dia di depan ruko di pinggir jalan raya. Wanita yang bernama Yuni itu sudah menunggu dengan posisi mematung, dan ekspresi datar terlihat dari wajahnya yang pucat melebihi pupur mayat. Â
      "Yu-jek.... dengan Mbak Yuni, ya?" Oman bertanya dan memberikan helm kepadanya. Namun, penumpang yang bernama Yuni itu hanya diam saja. Seumur hidupnya di Yu-jek, tidak pernah dia mendapatkan penumpang yang diam seribu bahasa, baru kali ini. Sering kali dia berjumpa dengan penumpang yang selalu ngoceh bertanya tentang kabar Oman atau hanya basa-basi. "Jalan Mas" hanya dua kata yang keluar dari bibir pucatnya. Oman mencoba melirik ke kaca spion sebelah kiri, terlihat wajah datar yang menatap kosong sekitar. Oman tak ingin berlama-lama melirik wanita yang bernama Yuni itu. Di dalam benaknya, takut wajah wanita itu tiba-tiba cilukba ke arah kaca spionnya.
      Ketakutan menyerang bulu kuduknya. Ditambah suasana jalan yang sangat jarang kendaraan lain melintas. Sepeda motornya masuk ke dalam gang sempit. Gang itu hanya memiliki satu lampu di bawah tiang listrik. Ke depannya tidak ada lagi secuil cahaya, semuanya gelap gulita. Cahaya dari lampu depan motornya yang kini menjadi penerang tujuan. Keheningan masih menyelimutinya. Tampak dari kejauhan banyak sekali bangunan-bangunan kecil yang dilapisi keramik. Ternyata Oman sedang melintasi hotel peristirahatan manusia abadi. Kepalanya mondar-mandir ke kanan dan ke kiri. Takut ada sesuatu yang mengejutkannya.
      "Stop, di sini. Mas" wanita itu membuka suaranya lagi.
      Tanpa berkata-kata lagi, wanita itu memberikan sejumlah uang lembaran lima ribuan dan menghilang ke arah kuburan ditelan gelapnya malam. Di kursi yang terbuat dari kayu yang disusun, Oman duduk di bawah pohon jambu. Sampai-sampai wajahnya terlihat menjadi belang sebelah. Satu batang rokok filter kesukaannya sedang diapit di antara dua jari. Tidak biasanya, pangkalan hari ini sepi. Hanya dia dan Bejo yang sedang di pangkalan. Semua teman sepangkalannya sudah berkeluarga, hanya Oman yang belum. Padahal, usianya sudah berkepala tiga. "Man, kemarin sore ngapa nggak ke sini? Narik kemana lo?" tanya Bejo sambil menyalakan sebatang rokok yang digenggamnya.
      "Gue kemarin abis narik dari Bogor, Eh tau-tau pulangnya ketemu setan."
      "Seriusan lo? Coba ceritain. Seru nih pasti." Bejo tertarik dengan ucapan Oman. Cerita diakhiri dengan nasihat dari Bejo agar Oman percaya dengan cerita teman-temannya minggu lalu. Bejo penasaran dengan uang yang diterima Oman. Oman pun sama penasarannya dengan Bejo. Diraba-raba kantong depan jaket Yu-jeknya, tangannya dengan perlahan-lahan mengeluarkan isi dari kantong jaketnya. Di dalam pikirannya tayang pertanyaan-pertanyaan yang tak masuk akal, jangan-jangan uang tersebut sudah menjadi daun semalam. Perlahan-lahan sudut benda itu muncul, dan ditarik paksa dengan rasa penasarannya yang semakin tinggi. Kedua terkejut, ditatap lama sesuatu yang baru saja keluar dari saku jaket Oman. "Apaan, masih duit itu, penumpang lo lagi sakit gigi kali. Makanya diem kek patung." Bejo tidak melihat tanda-tanda yang aneh yang terjadi di uang itu. Keduanya tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba Bejo berhenti tertawa. Mata dan moncong bibirnya mengisyaratkan Oman agar menoleh ke belakang.
      Sinyal isyarat itu menghipnotis Oman, seketika Oman menoleh ke belakang. Terlihat Tante Siska, janda komplek sedang menuntun anak laki-lakinya membeli sate ayam. Wajah Bejo terlihat meledek. "Nggak usah ngeledek, Jo." Oman merasa jijik dengan wajah Bejo yang tidak karuan meledek dirinya. "Wihh, rame nih. Ada apaan-apaan?" Tomi datang dengan raut wajah yang lebih kuat membuat Oman kesal. Oman hanya diam melihat tingkah laku teman-temannya yang kerap meledek dan menjodohkannya dengan janda-janda di komplek pangkalannya. "Dari mana lo, Tom?" Oman penasaran melihat celana bahan hitam Tomi penuh dengan cipratan tanah merah. "Nganterin bini tadi ke pasar, mana lagi becek banget." wajah Tomi terlihat kesal melihat noda yang ada di ujung celananya.
      Oman tidak membuang kesempatannya untuk bertanya mengenai keadaan berumah tangga kepada teman-temannya. Terkadang, asam yang sering dia dengar, namun ada juga warna-warni berumah tangga menempel di telinganya. Bahkan ada yang baik hati menasihatinya, bahwa hidup memang berteman dengan masalah. Kesempatan itu dia simpan di dalam daftar pengalamannya, agar saat berumah tangga dengan Marwah menjadi indah saat jatuh tempo nanti. Senja yang menawan, bulatan mentari seperti kuning telur setengah matang menempel di kanvas awan putih yang indah. Cahaya senja menyoroti bidadari cantik berjilbab warna hitam sedang menyiram tanaman. Oman tidak henti-hentinya memalingkan wajah dari gadis yang disukainya diam-diam.
      Oman tidak punya nyali untuk melihat dengan dekat kecantikan yang terpancar dari wajah Marwah. Jaraknya agak menjauh dan berpura-pura sedang menunggu order-an itu taktik yang dipakainya. Namun, kecantikan Marwah hilang ketika Ayahnya memanggilnya tuk masuk ke dalam. Oman ngeri melihat kumis hitam yang menempel lekat milik Ayah Marwah. Terkadang, dia merasa pesimis mendekatinya, karena Marwah anak orang kaya. Oman sedang mengumpulkan uang untuk melamar Marwah dan mengejutkan orang tuanya, bahwa seorang ojol bisa melamar anak orang kaya yang selama ini diintainya.
      Sepatu pantofel hitam itu berdansa dengan merahnya trotoar. Membuat bunyi seperti sepatu kuda yang berlari di malam hari. Ratu terus berjalan menunduk dan menyeret tas selempangnya. Malam kamis yang tak begitu manis baginya. Ingin dia membela diri agar tidak dipecat dari perusahaannya bekerja. Namun, Pak Arman tidak mau mendengar dia berdalih yang ke sekian kalinya. Ratu tidak berdalih, tapi memang kenyataan. Sekarang, Ayahnya sering sakit-sakitan. Dia takut akan hal yang tidak diinginkan terjadi pada Ayahnya. Selama Oman pergi dari rumah, Ayahnya sering meracau meminta maaf pada Oman. Dia harus cepat-cepat sampai rumah, Ayahnya sedang menunggu kabar baik anaknya.
Malam yang sunyi, nyanyian jangkrik dan hewan lainnya menemani malam Oman yang sepi. Tubuhnya menyatu dengan lantai yang dingin. Memandangi plafon kamar yang sudah mulai menguning akibat air hujan yang berusaha menjadi maling ke dalam kamarnya. Dia merasa ada hal yang sedang dirindunya. "Siapa dia? Apakah Marwah" gumamnya dalam hati. Dia beranjak mengambil sesuatu di sudut kamar. Celengan biru itu ditatapnya dengan penuh rasa berharap. Celengan yang penuh dipeluknya dengan erat, benaknya sedang menayangkan masa depan bersama Marwah yang bahagia. Dering ponsel memecahkan imajinasinya.
Telepon dari Ratu, sang adik. Nada suaranya terdengar parau. Kabar dari Ratu membuatnya terkejut, namun batinnya tidak mengizinkan untuk pergi. Dia mencoba membuang jauh-jauh pikiran negatif dan melesat pergi ke rumah sakit, adiknya sedang menangis di sana. Di koridor, Ratu sedang menangis di bangku panjang. Wajahnya ditutupi dengan kedua tangannya. Tangis sang adik pecah dipelukan sang kakak. Dia bercerita bahwa Ayah mereka di diagnosa kanker hati. Ratu tidak punya biaya lagi untuk membantu operasi sang Ayah. Oman merasa berat hati, dendam yang dulu membakar kepalanya. Dia beranjak dari tempat duduk. Menatap Ayahnya yang berbaring lemah dikerubungi selang-selang pengantar kesembuhan.
Ingatan masa lalu kembali berputar, dia ingat sosok Ayah yang selalu melesatkan anak panah kepadanya. Ayahnya selalu menekan dan memaki dirinya yang bermental seperti keong. Sang adiklah yang menjadi bahan perbandingan dengan dirinya dulu. Telinga sudah merasa bebal dan panas, setiap hari lagu yang diputar hanya lagu mematahkan asa bukan menguatkan. Napasnya naik turun, dengan langkah tergesa-gesa dia pergi meninggalkan Ratu yang tengah duduk meratapi kesedihan. Adiknya mencoba bertanya dan menghentikan langkah Oman, namun tenaganya lebih kuat dari kaum hawa yang tunggal.
Di dalam hatinya yang kacau, ada keinginan yang ingin dia lakukan. Yakni, melamar Marwah. Kecepatan motornya kini melebihi batas peraturan lalu lintas. Pintu kamar kostnya dibuka dengan kasar, kedua tangan mengacak-ngacak segala benda yang menghalangi hawa nafsunya demi mencari celengan tabung berwarna biru. Celengan biru itu berhasil didapatkan. Dengan cepat, dia melesat menuju rumah Marwah. Tidak peduli pukul berapa sekarang dan tidak peduli pakaian apa yang dia pakai, yang ada di isi kepalanya hanya keinginan melamar gadis pujaan hatinya. Oman mengucapkan salam dengan nada berapi-api dan terus menekan bel, serta mondar-mandir agar tubuhnya stabil ketika berbicara nanti. Suara seseorang membuka kunci gerbang membuatnya merasa tenang, namun bukan Marwah atau anggota keluarganya yang menyambut Oman, tetapi yang dihadapannya seorang asisten rumah tangga keluarga Marwah.
Asisten itu berkata bahwa Marwah dan keluarganya sudah pindah ke Bandung. Dia tidak percaya dengan perkataan orang itu, dipanggilnya dengan keras nama Marwah tapi tidak ada angin yang membawa suara jawaban dari panggilannya. Kakinya lemas dan hatinya tidak karuan. Dia sudah berharap rencananya akan mulus, namun yang dirasa ialah harapan yang pupus. Perasaan sedih yang menyerang, mendorongnya untuk memberontak kepada benda-benda mati di sekitar. Tetapi, dia tidak ingin dicap sebagai orang gila karena akal sehatnya masih tertanam di tempurung kepala. Ponsel hitam kembali berdering, Ratu mengatakan bahwa Oman harus segera ke rumah sakit, suaranya terdengar seperti radio yang tidak ada antena. Ratu kembali memeluk erat Oman. Adiknya menangis tersedu-sedu mendengar kabar duka, yang menimpa Ayah mereka. Oman hanya bisa berdiam diri mendengar kabar itu. Setetes embun sendu keluar dari celah matanya yang merah. Sang Ayah telah tiada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H