Mohon tunggu...
Tazkia Kamila
Tazkia Kamila Mohon Tunggu... Penulis - Tami

Tazkia Kamila - XI MIPA 1 - 32 - SMAN 28 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Padi Milik Rakyat

30 November 2020   21:19 Diperbarui: 1 Desember 2020   12:44 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah cerita pendek yang berupa songfiction dari lagu Padi Milik Rakyat oleh .Feast.

     Bunyi ketukan sepatu mengiringi langkah pria yang tengah memasuki salah satu suite hotel mewah di ibukota. Pria itu berjalan berdampingan dengan seorang wanita yang membawa setumpuk dokumen. Pria lainnya yang sudah menunggu di dalam suite itu untuk waktu yang tidak sebentar akhirnya bisa bernapas lega, pelanggannya tidak lari meski ada kasus yang hampir mencemari namanya.

     "Selamat malam Pak Ramli, apa kabar Pak? Duduk Pak, duduk," ujar pria yang sedari tadi menunggu.

     "Baik, baik. Langsung aja ke bisnis, ndak usah basa-basi." Pria tua yang baru datang itu duduk di sofa dengan desahan frustasi. "Itu kok bisa, nama saya ikut ke seret di kasus tambang itu. Mana sampai bocor ke investor luar lagi. Rugi lumayan itu saya."

     "Wah, kalau kasus itu, kebocoran bukan dari pihak kami Pak. List pelanggan hanya dipegang yang di atas Pak, kemungkinan press dapat bocor dari yang atas-atas," jawab pria muda, mencoba meyakinkan.

     "Ah, mana mungkin. Press ndak punya koneksi ke atas. Di atas udah busuk semua." Pria tua itu kekeh. Merasa tercekik, pria tua itu melonggarkan dasinya.

     Pria muda itu terkekeh. "Bapak benar juga. Tapi yang jelas kebocoran itu bukan dari kami. Nama pelanggan selalu kami samarkan dan kami hapus setelah transaksi selesai."

     "Bapak bercaya, makannya Bapak balik lagi. Toh, selama ini kamu dan anak buahmu selalu ramai pelanggan, mereka ndak pernah kena bocor toh?" ujar pria tua sambal menepuk nepuk bahu si pria muda.

     Kekehan Kembali terdengar dari pria muda. "Baik Pak, kali ini kayak biasa 'kan? Peraturan baru tentang pertanian?"

     "Ah, tahu aja kamu." Si pria muda hanya tersenyum. "Kali ini yang bisa turunin upah minimum ya. Saya baru nambah 5000 pekerja jadi butuh cara buat ngurangin loss nih."

     "Baik pak. Transaksi seperti biasa ya." Pria muda itu menawarkan tangannya untuk berjabat tangan. "Oh, tentu, tentu." Dan uluran tangan itu di balas oleh pria tua. Mereka berdua berjabat sambil memberikan senyum bisnis andalan mereka.

     Nama pria muda itu Hajakusuma. Politikus muda yang sedang ramai diperbincangkan berita. Ia berhasil menduduki kursi tinggi di salah satu lembaga tinggi negara yang berfungsi sebagai wakil rakyat. Semua itu berkat harta, koneksi, dan kelihaiannya dalam berbicara. Hajakusuma bertahan di dunia politik dengan paras lugu yang mampu menipu lawan bicara, dan mulut yang terlatih membisikkan janji-janji manis, serta tangan yang terbiasa menerima suapan-suapan pihak-pihak yang membutuhkan otoritasnya.

***

     Setelah selesai bertransaksi dengan Pak Ramli, Hajakusuma hanya ingin segera pulang. Rasa lelah menyelimuti seluruh tubuhnya. Ah, rasanya ia ingin berendam dan segera tidur. Namun, dikarenakan proyek baru dari Pak Ramli, ia tahu ia tidak akan bisa tidur cepat malam ini.

     Hajakusuma menatap pemandangan di luar dari kursi penumpang mobilnya. Tanpa sadar salah satu ujung bibirnya terangkat, membentuk senyum miring. Hajakusuma teringat pertama kalinya ia melakukan bisnis ini.

***

     Hujan deras mengguyur desa itu. Beruntung, Hajakusuma dan seniornya sampai sebelum hujan bertambah deras. Senior Hajakusuma mengajaknya untuk bertemu dengan pimpinan desa-desa yang ada di bawah otoritasnya. 

     Pada saat itu, Hajakusuma dengan lugu bertanya, "Pak, untuk apa kita kita ke desa-desa ini? Untuk survey?" Senior Hajakusuma tertawa terbahak-bahak dan menjawab, "Kamu kelihatan sekali masih tanduk hijau, Hajakusuma. Lihat dan pelajari yang saya lakukan nanti."

     Hajakusuma yang saat itu baru terjun ke dunia politik tidak tahu bahwa yang ia lihat nantinya akan sangat merubah hidupnya.

***


  Hajakusuma menyugar rambutnya , antara ingin menangisi atau menertawai dirinya dulu. Mau bagaimanapun perasaannya sekarang, waktu tidak bisa diputar. Biarlah, sekarang ia akan menikmati keputusannya di masa lalu.

     Hujan deras kembali mengguyur ibukota. Tidak ingin terjebak kemacetan dan ingin segera pulang, Hajakusuma memaksa supirnya untuk melewati jalan tikus dengan kecepatan tinggi. Hajakusuma merasa telinganya berdengung. Tak lama, dengungan itu hilang, digantikan bisikan-bisikan yang tidak bisa ia pahami. Namun bisikan-bisikan itu terdengar semakin keras dan mulai terdengar seperti teriakan.

     Padi milik rakyat!

     Padi milik rakyat!

     Siapa berani merampas lumbung padi milik rakyat?!

     Badan jadi mayat!

     Badan jadi mayat!

     Suara benda keras yang bertabrakan dan mobil yang berhenti tiba- tiba menyadarkan Hajakusuma dari suara-suara yang ada di kepalanya. Matanya membesar, jantungnya berdegup tak karuan.

     Supirnya menoleh ke arah Hajakusuma. "P-pak...? Sepertinya saya nabrak anjing." Tak hanya suaranya yang terguncang, seluruh badannya juga bergetar.

     "Urus itu," ujar Hajakusuma dengan dingin.

     Hajakusuma masih belum terbangun dari keterkejutannya. Batinnya menyerukan beribu-ribu pertanyaan mengenai yang baru saja ia alami. Tak lama, supir Hajakusuma kembali dan menyalakan mesin mobil. Hajakusuma menarik napas dan mencoba menenangkan diri. Ia pikir, mungkin itu hanya otaknya yang terlalu lelah.

***

     Teriakan itu kembali lagi saat mobil Hajakusuma memasuki area mansionnya.

     Pajak dari rakyat!

     Pajak dari rakyat!

     Setengah alamat rumahmu mungkin milik rakyat!

     Hajakusuma mengernyitkan dahinya, ia mencoba menghilangkan teriakan-teriakan itu dari kepalanya. Teriakan itu baru hilang saat supir Hajakusuma menepuk pelan pundaknya.

     "Bapak enggak kenapa-kenapa?" tanya supirnya, khawatir.

     Hajakusuma hanya menjawab dengan gelengan dan bergegas masuk ke dalam rumahnya.

     Hujan masih menyiram ibukota. Kali ini disertai sambaran-sambaran petir dan kilat. Di tengah cuaca dingin ini, Hajakusuma ingin menyantap hidangan yang hangat. Hajakusuma memerintahkan pembantunya untuk memasak makanan dan mengantarkan hidangan-hidangan itu ke kamarnya.

     Setelah semua makanan dihidangkan, Hajakusuma bersiap untuk menyantap makanannya. Namun teriakan itu kembali lagi. Kali ini terdengar lebih lirih.

     Padi milik rakyat.

     Padi milik rakyat.

     Lauk di atas piringmu setengah porsi rakyat.

     Padi milik rakyat.

     Padi milik rakyat.

     Darahmu mongering perlahan hingga jadi mayat.

     Cukup sudah. Nafsunya hilang. Hajakusuma muak mendengar suara-suara itu. Ia memutuskan untuk berendam, berharap suara-suara itu akan hilang setelah otaknya mulai rileks.

     Siapa sangka, begitu Hajakusuma memasuki kamar mandinya, ia disambut dengan tulisan tulisan berwarna merah darah di cermin. Terkesiap, Hajakusuma jatuh terduduk dengan bola mata membesar.

     Padi milik rakyat!

     Siapa berani merampas lumbung padi milik rakyat?!

     "Sore Pak Kepala Desa! Gimana bulan ini? Lancar tagihannya?" tanya senior Hajakusuma. "Alhamdulillah, lancar pak. Ini jatah bapak," ujar pimpinan desa sambil menyerahkan amplop coklat yang cukup tebal. "Wihhh, mantap." Senior Hajakusuma membalas sambil menghitung lembaran-lembaran yang berada di dalam amplop. "Nih, setengah buat kamu." Senior Hajakusuma menyodorkan beberapa lembar uang yang ia ambil dari amplop tadi kepada Hajakusuma.

     Hajakusuma tersedak teh yang sedang ia minum. "T-tapi b-bukannya ini hasil jual lumbung padi warga pak?" tanya Hajakusuma dengan mata bergetar. "Alah, gak usah sok polos kamu. Ambil aja, atau nama kamu yang nanti di tulis jadi penerima di laporan, bukan nama warga." Hajakusuma terpaksa menerima dengan tangan bergetar. 

     Pajak dari rakyat!

     Siapa berani memakai uang pajak dari rakyat?!

      Pria di hadapan Hajakusuma duduk dengan gelisah. "Waduh, kalau angkanya segitu agak susah pak. Dikurangi sedikit bisa lah pak." Hajakusuma membalas, "Bukannya minggu lalu deadline pengumpulan pajak daerah ibu ya? Bulan ini wajib pajak sudah lebih keras 'kan? Pemasukkan ibu jelas bertambah dong. Angka segitu kecil 'kan bu?" "Aduh, itumah uang rakyat. Mana bisa saya ambil," jawab wanita dihadapannya, berpura-pura polos. "Ah, ibu enggak usah merendah gitu. Saya dengar tahun lalu sistem pajak daerah ibu di bajak sampai uangnya habis semua. Saya tahu kok, uang suap untuk hakim baru itu darimana," ujar Hajakusuma dengan senyum miring dan alis yang terangkat sebelah.

 

     Atas nama rakyat!

     Siapa berani berbohong atas nama rakyat?!

      "Warga jelas butuh fasilitas ini, betul 'kan, Pak Hajakusuma?" tanya seorang pria. "Betul sekali. Dananya memang cukup besar, tapi fasilitas ini akan meningkatkan produktifitas warga," ujar Hajakusuma. Setelah Hajakusuma dan pria itu keluar dari ruangan tadi, mereka menuju salah satu restoran mewah untuk merayakan keberhasilan mereka bersama pejabat dan politikus lainnya. Sambil menunggu hidangan datang pria tadi mengajak Hajakusuma berbicara. "Bagus sekali tadi presentasi Pak Hajakusuma. Berkat gol nya proyek fasilitas baru, kita bisa ambil lebih dari setengah dananya." Ucapan pria itu dibahas oleh gelak tawa dari tamu di meja itu.

 

      Badan jadi mayat!

      Siapa hidup mewah hingga lupa badan jadi mayat?!

     Keesokan harinya, mayat Hajakusuma ditemukan di bak mandi mansionnya. Menggenggam gelang dengan simpul tak berujung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun