Darahmu mongering perlahan hingga jadi mayat.
   Cukup sudah. Nafsunya hilang. Hajakusuma muak mendengar suara-suara itu. Ia memutuskan untuk berendam, berharap suara-suara itu akan hilang setelah otaknya mulai rileks.
   Siapa sangka, begitu Hajakusuma memasuki kamar mandinya, ia disambut dengan tulisan tulisan berwarna merah darah di cermin. Terkesiap, Hajakusuma jatuh terduduk dengan bola mata membesar.
   Padi milik rakyat!
   Siapa berani merampas lumbung padi milik rakyat?!
   "Sore Pak Kepala Desa! Gimana bulan ini? Lancar tagihannya?" tanya senior Hajakusuma. "Alhamdulillah, lancar pak. Ini jatah bapak," ujar pimpinan desa sambil menyerahkan amplop coklat yang cukup tebal. "Wihhh, mantap." Senior Hajakusuma membalas sambil menghitung lembaran-lembaran yang berada di dalam amplop. "Nih, setengah buat kamu." Senior Hajakusuma menyodorkan beberapa lembar uang yang ia ambil dari amplop tadi kepada Hajakusuma.
   Hajakusuma tersedak teh yang sedang ia minum. "T-tapi b-bukannya ini hasil jual lumbung padi warga pak?" tanya Hajakusuma dengan mata bergetar. "Alah, gak usah sok polos kamu. Ambil aja, atau nama kamu yang nanti di tulis jadi penerima di laporan, bukan nama warga." Hajakusuma terpaksa menerima dengan tangan bergetar.Â
   Pajak dari rakyat!
   Siapa berani memakai uang pajak dari rakyat?!
   Pria di hadapan Hajakusuma duduk dengan gelisah. "Waduh, kalau angkanya segitu agak susah pak. Dikurangi sedikit bisa lah pak." Hajakusuma membalas, "Bukannya minggu lalu deadline pengumpulan pajak daerah ibu ya? Bulan ini wajib pajak sudah lebih keras 'kan? Pemasukkan ibu jelas bertambah dong. Angka segitu kecil 'kan bu?" "Aduh, itumah uang rakyat. Mana bisa saya ambil," jawab wanita dihadapannya, berpura-pura polos. "Ah, ibu enggak usah merendah gitu. Saya dengar tahun lalu sistem pajak daerah ibu di bajak sampai uangnya habis semua. Saya tahu kok, uang suap untuk hakim baru itu darimana," ujar Hajakusuma dengan senyum miring dan alis yang terangkat sebelah.
Â