"ahahaha, sudah jaman KKN dulu"
Di Halaman masjid desa, warga berbaju adat berbaris rapi. Kaum laki-laki membawa lodong, sementara kaum perempuan membawa nampan berisi aneka sesaji yang terdiri dari hasil bumi, buah-buahan dan ubo rampe lain. Perjalanan menuju tuk Sikopyah cukup membutuhkan tenaga. Berjarak sekitar 2,5 kilometer dari pusat kegiatan di desa melintas bukit dan jalan setapak.Â
Diawali dengan doa dari sesepuh desa, iring-iringan warga memulai perjalanan. 40 laki-laki pembawa lodong, 40 perempuan pembawa nampan aneka hasil bumi. Rombongan terdepan dipimpin oleh sesepuh dan perangkat desa , termasuk ulama setempat. kemudian lapis kedua adalah mereka yang membawa gunungan nasi baru disusul rombongan kaum laki-laki dan perempuan.
Sepanjang perjalanan menuju tuk Sikopyah, iring-iringan melantunkan salawat serta puji-pujian berbahasa jawa. Iring-iringan panjang tampak tertib dan sakral bagi mereka yang melihat dari pinggir jalan desa mengarah ke lereng gunung. Sesampainya di lokasi tuk Sikopyah, secara adat sesepuh desa memohon ijin  untuk mengambil air dari tuk Sikopyah dan berdoa sebelum memasukkannya kedalam lodong. Satu persatu bambu dengan diameter dan panjang sedang itu pun terisi air tuk Sikopyah. Siap dibawa oleh semua warga  baik laki-laki maupun perempuan menuju ke Desa Lembah Asri kembali.
Siapapun yang melihat kearifan lokal ruwat tuk Sikopyah pasti akan takjub. Adakalanya bulu kuduk meremang saat menyelami falsafah sumber mata air yang begitu jernih, sejuk dan mampu menjadi sumber kehidupan masyarakat. Air yang terus mengaliri ruang kehidupan sudah sepatutnya dirawat dan dijaga kemurniannya. Melalui kearifan lokal ruwat rawat tuk sikopyah yang diselenggarakan rutin setahun sekali inilah, warga yang bermukin di Kecamatan Karangreja berupaya agar harmoni alam baik  air, tanah, udara, tumbuhan , hewan dan manusia yang menghuni sekitar tuk Sikopyah senantiasa terjaga.
Ruwat atau yang biasanya dikenal dengan istilah ruwatan dimaksudkan untuk senantiasa memurnikan,menjaga kebersihan dan membuang sesuatu yang menutup kemurnian. Ruwat rawat SiKopyah ini merupakan warisan kearifan lokal yang sudah turun temurun dilaksanakan lintas generasi. Lima tahun terakhir pelaksanaan ruwat rawat tuk Sikopyah memang terkesan lebih meriah dan mampu menjadi daya tarik wisata untuk hadir dan menjadi bagian dari rangkaian acara. Hal itu tidak mengurangi sedikitpun kesakralan yang tetap dipertahankan.
Selepas lodong berisi air dari tuk Sikopyah dibawa kembali ke Lembah Asri. Air dalam lodong tersebut disemayamkan, didiamkan selama dua hari dua malam, pada hari terakhir rangkaian festival Gunung Slamet itulah akan dituang air-air dalam lodong ke wadah besar yang sudah disiapkan. Air tersebut kemudian dibagikan kepada warga ataupuan mereka yang datang. Konon air dari tuk Sikopyah yang sudah melalu proses ruwat memiliki berkah manfaat untuk pertanian, kesehatan hingga kecantikan yang mampu menjaga agar terlihat awet muda.
Siang datang tanpa membuat warga Karangreja terlihat lelah selepas melakukan perjalanan prosesi pengambilan air tuk Sikopyah. Rasa syukur dipanjatkan melalui lantunan doa selepas menyimpan lodong-lodong berisi air tuk Sikopyah. Sore hingga malam sebagian warga akan melakukan kenduren dan tirakatan mendoakan agar tuk Sikopyah mampu menjadi perantara berkah bagi warga.
Sementara besok pagi agenda dilanjutkan dengan penanaman pohon sepanjang lereng bukit menuju tuk Sikopyah. Selain untuk menjaga agar desa tetap sejuk dan asri, penanaman pohon juga sangat bermanfaat untuk menjaga resapan air tanah. Menjadi penyangga agar bukit tidak mudah longsor saat musim hujan tiba.
Wajah Mitha tampak terpukau melihat semua rangkaian acara. Dia membandingkan saat dulu dia KKN masih belum bisa berbuat banyak untuk masyarakat desa. Ada rasa bangga kepada mahasiswa KKN yang mengundangnya, mereka begitu membaur dalam menjalankan kearifan lokal tahuhan di Karangreja.