"Aku pernah ketemu dia sewaktu masih sama-sama di Eropa, dan beberapa waktu lalu aku ketemu dia"
"Umur kita sudah terlalu tua untuk jatuh cinta, tapi belum terlambat untuk saling mencinta. Suara Mentari terdengar serius.
Hal itu  membuat Nana mengindahkan sejenak foto yang sudah terpampang di layar Ipad. Ia menatap mimik wajah kawan terdekatnya. Berusaha meyakinkan diri bahwa perempuan itu sedang baik-baik saja
"Kamu gak salah makan nih?" Nana berusaha memancing tawa.
Nana meletakkan ipad di meja, urung melihat foto yang Mentari maksud. Ia mencecap cappucino dan membiarkan foam susu menempel di bibir. Sesaat dia menggerakkan kedua bibirnya untuk melenyapkan foam cappucino dengan sendirinya.
Saat tangannya menyentuh kembali Ipad, Mentari kembali berujar,
"kami akan hidup bersama Na, menurutmu bagaimana?"
"maksudmu akan hidup bersama? Kalian akan menikah, atau?" Nana balik bertanya.
Nana sedikit beringsut dari tempat duduknya. Perlahan menempelkan sebagian punggung di kursi vintage bergaya eropa. Tentu dengan wajah yang penuh tanda tanya.
Wajah Nana yang semula menatap Mentari, perlahan menunduk melihat kearah Ipad yang kini berada di pangkuannya. Tanganya bergegas mengusap  layar untuk memastikam, siapa lelaki yang sudah membuat Mentari menjadi  sedemikian rupa?.
Terkesiap,aliran darah terasa berhenti mengalir. Degup jantung tak menentu, nafas mendadak tersengal. Sekuat tenaga  Nana berusaha untuk tetap tenang.