Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Sayembara Cerpen Pulpen) Separuh Jiwa Nana Pergi

3 November 2023   21:33 Diperbarui: 3 November 2023   21:56 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Separuh Purnama (Kompas.com)

 

    Tubuh perempuan yang tak lagi remaja itu terhempas. Badannya mendadak terasa berat. Kakinya yang biasa ringan melangkah, seakan tak mampu menahan posisi tubuh agar tetap berdiri. Semua itu hanya karena hal sepele. Ternyata tak selamanya bintang akan bersanding dengan rembulan, justru matahari pagilah yang menjadi pemenang atas keadaan.

     Terlelap dalam waktu yang lama adalah cara mudah melupakan gundah. Berharap mampu mengembalikan rasa lega di hati dan fikiran yang terus saja berkecamuk. Terpanjat doa sebelum terlelap, ruang bawah sadar akan mempertemukan mereka melalui mimpi indah. Namun, akankah realita itu musnah?

      "Na, bangun Na, jangan banyak bermimpi di siang bolong," Mentari membangunkan sahabatnya yang tengah meringkuk di sudut kamar.

      Perempuan yang dipanggil Nana itu hanya tersenyum. Tak membiarkan logika liar temannya memupus rasa yang akan dia pertahankan. Dua Perempuan dengan  kepribadian, prinsip dan gaya hidup yang berbeda meski mereka kerap terlihat bersama.

        Sejurus, keduanya tampak tengah hang-out  di warung kopi kekinian. Letaknya tak seberapa jauh dari kamar yang Nana sewa secara bulanan selama dia berada di Ibukota.

 Asap yang berasal dari  alat elektrik berisi essence aneka rasa mengepul menghias paras cantik Mentari  Prameshwari. Perempuan sosialita dengan latar belakang karier yang luar biasa. Pernah tinggal di luar negeri membalut tampilannya sebagai perempuan modern yang acap kali memperlihatkan sikap dan pemikiran beberapa tingkat diatas posisi emansipasi itu sendiri.

Tawanya tergelak saat Nana bertanya kepadanya kapan dia terakhir jatuh cinta. Buru-buru dia mengangkat cangkir kopi, meneguk dan kembali tergelak.

        "Kamu lagi jatuh cinta?",  matanya menyelidik namun sedikit mengejek.

         Sementara Nana yang ditanya pura-pura sibuk mengabadikan aneka menu makanan yang mereka pesan dengan ponselnya. Bak tradisi gaya hidup zaman now, dimana doa  sebelum makan telah tergusur oleh jepretan lensa kamera.

         "manusiawi tho" cukup diplomatis Nana menjawab.

         "Bukannya dulu kamu yang mengajarkan aku untuk tidak mudah termakan cinta?",

        "Makan tuh cinta..." ledeknya sembali tergelak untuk yang kesekian kalinya.

       Kalau saja bukan Mentari yang mentraktirnya sore itu, ingin rasanya Nana angkat kaki , berlalu pergi meninggalkan aneka  makanan yang menggugah selera.

        Baper, terbawa perasaan dengan kalimat cibiran tak akan menyelesaikan masalah. Toh dia bertekad tidak  akan memberitahu apa yang tengah dia rasakan beberapa bulan terakhir. Beruntung, jiwa liar Mentari  lekas mengalihkan pembicaraan dari tema cinta menjadi gosip terhangat seputar cekcok rumah tangga kalangan sosialita.

        Nana mendengarkan cerita teman yang kerap memberinya traktiran  hanya sebatas masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Sembari mengunyah smoked salmon salad with peanut sauce yang rasanya lebih mirip gado-gado dengan tambahan irisan salmon yang tak seberapa banyak.

       Kalau saja hidup ini harus berkaca dari cerita para sosialita, apa jadinya dunia. Anggap saja kisah mereka itu layaknya drama ala layar kaca. Benar tidaknya kisah bukan hal yang patut dipikirkan apalagi ditiru dalam kehidupan nyata. Ditengah asyik membicarakan polah para sosialita, Tari mengeluarkan Ipad andalannya. Wajahnya mendadak serius sembari menghentikan cerita kelompok penikmat gaya hidup. Tangannya menyerahkan Ipad kepada Nana.

"Apa nih?" gesit tangan nana menyambar Ipad dan mengusap layarnya.

"Coba buka file foto, cocok gak sama aku?" suaranya datar.

Nana menduga, Mentari hanya ingin memperlihatkan aneka tas, baju , atau sepatu branded yang sedang ia incar untuk kemudian dibeli melalui online shop.

"Yang mana sih?" Tanya Nana sembari terus mengoperasikan benda kekinian dengan sentuhan jari di layarnya.

"Aku pernah ketemu dia sewaktu masih sama-sama di Eropa, dan beberapa waktu lalu aku ketemu dia"

"Umur kita sudah terlalu tua untuk jatuh cinta, tapi belum terlambat untuk saling mencinta. Suara Mentari terdengar serius.

Hal itu  membuat Nana mengindahkan sejenak foto yang sudah terpampang di layar Ipad. Ia menatap mimik wajah kawan terdekatnya. Berusaha meyakinkan diri bahwa perempuan itu sedang baik-baik saja

"Kamu gak salah makan nih?" Nana berusaha memancing tawa.

Nana meletakkan ipad di meja, urung melihat foto yang Mentari maksud. Ia mencecap cappucino dan membiarkan foam susu menempel di bibir. Sesaat dia menggerakkan kedua bibirnya untuk melenyapkan foam cappucino dengan sendirinya.

Saat tangannya menyentuh kembali Ipad, Mentari kembali berujar,

"kami akan hidup bersama Na, menurutmu bagaimana?"

"maksudmu akan hidup bersama? Kalian akan menikah, atau?" Nana balik bertanya.

Nana sedikit beringsut dari tempat duduknya. Perlahan menempelkan sebagian punggung di kursi vintage bergaya eropa. Tentu dengan wajah yang penuh tanda tanya.

Wajah Nana yang semula menatap Mentari, perlahan menunduk melihat kearah Ipad yang kini berada di pangkuannya. Tanganya bergegas mengusap  layar untuk memastikam, siapa lelaki yang sudah membuat Mentari menjadi  sedemikian rupa?.

Terkesiap,aliran darah terasa berhenti mengalir. Degup jantung tak menentu, nafas mendadak tersengal. Sekuat tenaga  Nana berusaha untuk tetap tenang.

"Kalian sudah berkomitmenkah?" Nana  mengeluarkan kalimat agar kembali menguasai keadaan. Perlahan ia biarkan layar Ipad memudarkan foto sosok lelaki itu. Dan menghilang dari pandangan matanya dalam sepersekian menit.

Nana berdehem, menghilangkan suaranya yang tercekat sedari melihat foto lelaki dengan balutan gaya casual, berkacamata, dan dah ahhhh, Ia sengaja merusak konsentrasinya terhadap sosok lelaki yang ia kenal dengan nama Bintang Anugerah. Lelaki dalam foto yang tersimpan secara digital di Ipad Mentari.

Hatinya merutuk, namun mulutnya mengeluarkan helaan nafas sembari  mengembalikan Ipad pada sang pemilik.

"Ganteng...seleramu banget" suara Nana terdengar lebih berat dari biasanya, memberi komentar tanpa berani menatap perempuan yang berhadapan dengannya.

"aku ke toilet sebentar ya Ri...", pamit Nana lekas menghalau sudut matanya yang mulai basah.

Beruntung, toilet sepi hingga tangis Nana kian menjadi. Bagaimana mungkin ia jatuh hati pada lelaki yang sama. Ia tak seberani Mentari, terlebih kepada Bintang  yang selama ini terbentang jarak dengannya.

Puas menumpahkan air mata, Nana membasuh wajah dengan air dari wastafel. Mengelapnya dengan tissue dan mendongakkan kepala menatap langit-langit toilet yang dikelilingi oleh kaca.

     Padahal kali pertama Nana bertemu Bintang, ada puisi yang kerap membayang. Dan setelah pertemuan itu Purnama dan Bintang sesekali saling menyapa melalui pesan singkat.  Tak jarang Purnama iseng menghujani Bintang dengan untaian kata yang menurutnya sempurna untuk sebuah rasa.

      Kini  realita berkata lain, Nana harus kembali mereguk sisi lain dari makna cinta . Pantas saja, sudah lebih dari 13 Purnama, Bintang terkesan enggan membalas sapa darinya. Seiring hadirnya Mentarikah?

     Setelah hati dan perasaannya tenang, Nana melangkah keluar kembali menemui Mentari. Belum sempat Nana duduk di kursi yang ia tinggal tadi, tangan Mentari melambai sembari memanggil sebutan mas. Nana refleks memutar posisi badannya. Sosok itu muncul, menyibak kerinduan akan tegur sapa meski tak harus bertemu raga.

    Terlambat Nana untuk menghindari tragedi hati. Mentari menyambut kekasih hati dengan sebuah pelukan dan gelayut manja. Sementara Nana meyakinkan diri agar tetap sadarkan diri, menggerakkan kaki. Tangannya berpegang pada sudut meja, mengatupkan bibir rapat-rapat, menghalau gemuruh jiwa.

"Na, kenalkan, ini mas Bintang" suara mentari terdengar lembut di depan Sang Bintang hatinya.

Ada rasa kaget yang  ditepis lelaki kharismatik dengan tatap mata yang membuat Nana terkenang saat kali pertama bertemu.

"Purnama", lirih suara Nana menyebut nama lengkapnya, disertai uluran tangan dengan penuh keberanian.

Seper sekian menit, gesit Nana berdalih tak ingin mengganggu kebersamaan mereka, berpamitan kepada Mentari. Badai rasa sesaat  berlalu dan Nana memilih kembali ke sebuah ruang waktu.

Kakinya melangkah dengan begitu cepat meinggalkan Mentari dan Bintang. Saat kembali berada di kamarnya, Nana meraih ponsel.

Mencari kontak yang  ia  simpan dengan nama The Eagle Eyes, memberanikan diri mengirimi pesan setelah sekian lama keinginan itu ia tepiskan.

Jadikan Mentari sebagai Partner  hati untuk mencinta,bukan semata partner dalam bercinta 

Begitupun sebaliknya, Nana mengirimkan pesan kepada Mentari,

"Jadikan Mas Bintangmu sebagai tempat hati mencinta, bukan semata partner bercinta"

Tanpa air mata, Purnama merelakan Mentari dan Bintang untuk bersatu. 

Tak berselang lama, ponsel Nana bergetar, sebuah penanda notifikasi pesan masuk. Ada senyum lega saat membaca balasan Mentari atas pintanya,

Ahsiyappp!!!

Sementara, pesan yang ia kirimkan ke nomor Bintang tak mendapatkan respon seperti yang selama ini sudah menjadi kebiasaan. Pesan tak berbalas. Ia merelakan separuh kelana jiwanya pergi, terbang membawa jejak puisi tentang si mata elang.

Purnama memandang langit melalui daun jendela, ia berbisik kepada semesta bahwa ini semua adalah kado terindah saat  bertambahnya usia. Doa terbaik mengantarkan mereka untuk senantiasa berbahagia.

Seberang pojok Sudirman, September 2022

Tamitha, Perempuan  biasa yang senang belajar, membaca dan sesekali menulis.

saat ini berdomisili di Denpasar Bali

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun