Sejak SD, SMP, SMA, hingga di bangku kuliah Vina selalu memilih tempat menuntut ilmu yang sama. Entah ini kebetulan atau unsur kesengajaan, yang kutahu banyak pilihan di luar sana.
Lagi, lagi, dan lagi, selalu kutemui Vina di setiap sudut sekolah sampai kampus ini. Jemu? Tentu tidak. Sebab Vina selalu punya cara membuatku bahagia. Sejujurnya aku nyaman bersamanya, meski tak lebih hanya sekadar sahabat.Â
"Halo, Lang. Kamu sudah makan? Aku bawakan cheese burger untukmu," sapa Vina.Â
"Terima kasih, Vin. Aku belum lapar."Â
"Jangan gitu, Lang. Nanti kamu sakit! Aku tak ingin terjadi apa-apa denganmu. Sebab ...." Vina tak melanjutkan kata-katanya. Berharap aku meresponnya. Nyatanya aku lebih memilih diam.Â
Untuk apa menanyakan sesuatu yang sebenarnya kutahu jawabannya? Aku tak ingin membuat Vina terluka, jika mendengar kejujuranku yang amat pahit.Â
Aku ingin merawat persahabatan ini dengan tulus tanpa harus ada kata cinta, yang pada akhirnya membawa pada jurang kelukaan. Sebab cinta teramat bulus ketika tak berjalan mulus. Terkadang benci semakin dalam menghunus.
"Cukup tahu saja, Vin. Hadirmu adalah pelengkap hidupku. Aku ingin bersamamu hingga maut memisahkan. Bahkan ketika kita telah menua bersama pilihan masing-masing. Percayalah persahabatan kita lebih dari segalanya," ucap batinku.Â
***
Hari sudah siang, terik mentari menguliti kepala. Namun panasnya belum mampu mengalahkan hatiku yang masih meradang. Akibat terbakar api cemburu mendengar cerita Vina, bahwa Jingga sudah memiliki kekasih.Â
Bagai menelan pil pahit, aku harus kuat menerima kenyataan. Namun perubahan yang ada pada diriku tak bisa disembunyikan. Aku yang dulu riang kini lebih banyak murung. Mahasiswa yang dulu sangat aktif mengikuti kegiatan kampus kini hanya menjadi penonton. "Ah, derita cinta tiada akhir," keluhku.Â