***
Hari ini betapa terpukulnya diri, berat menerima kenyataan, meski berkali-kali sering mengungkapkan yang sama. Pamit dan pamit. Ini memang bukan senja pertama hadirkan luka, berkali-kali drama pulang pergi mewarnai kisah kami. Mungkin aku dan Kak Fitrah tokoh labil yang memainkan peran paling konyol. Walau ini bukan drama, tapi kenyataan yang harus diterima.Â
Aku berusaha menyembunyikan sedih, sebesar apa pun hati ingin menangis dan menolak takdir perpisahan ini. Aku berusaha kuat di depan anak-anak didikku yang menjadi pelipur laraku. Selama ini memberikan semangat agar aku tetap menjadi sosok yang hebat bagi dunia kecil mereka. Kubuka layar HP, membaca ulang pesan-pesan yang begitu menyayat hati dan mengingat apa yang terjadi. Tak terasa air mataku bercucuran, menyisakan sembab yang tak biasa di rona wajah dan mataku. Sehingga menjadi pertanyaan mereka yang sejak tadi memperhatikan.Â
"Ibu kenapa menangis. Ada masalah?" tanya Kalya yang duduk persis di depanku.Â
"Eh, tidak kok. Ibu baik-baik saja. Tadi ibu habis baca-baca puisi yang ibu tulis. Mungkin karena terlalu menghayati, jadi menangis," kilahku sambil melempar senyum dibalut raut sedih yang tak bisa kusembunyikan.
Bukan cuma anak-anak yang menanyakan itu. Tapi juga teman-teman sejawat dibuat kepo melihat mataku yang masih melukiskan wajah sembab. Aku berusaha menutupi dengan pura-pura menyibukkan diri. Agar tak banyak pertanyaan yang mereka lontarkan. Tapi akhirnya ada juga yang ingin tahu apa yang terjadi.Â
"Bu Zahirah kenapa? Kek habis nangis?" tanya satu di antara mereka.Â
Kali ini aku berusaha jujur. Kendati aku pura-pura baik-baik saja. Mereka mungkin tak percaya.
"Teman yang sudah aku anggap saudara di literasi telah pergi selamanya,"Â
"Innalillahi wa innailaihi rajiun. Meninggal?" ucapnya kaget.Â
"Bukan ... bukan, Ibu. Jangan gitu ihh. Maksud aku pergi pamit dari CF rumah literasi kami." Aku mengusap air mata yang masih mengembun di pelupuk.Â