Tito membisu.
   "Jawab!" bentak Tante Tiar makin kencang.
   Tito menganggukkan kepalanya.
   "Lalu kenapa bisa sejelek ini rapormu! Ibu sekolahin kamu supaya pintar bukan malah jadi bodoh! Kalau nilai kamu seperti ini terus mau jadi apa kamu nanti!"
   "Kamu laki-laki Tito! Kelak punya tanggung jawab yang besar! Kamu mau berkeluarga cuma mengandalkan Titit! Di mana rasa malumu sebagai laki-laki!" tandas Tante Tiar.
   Tito tak sanggup menjawab. Lidahnya kelu. Ia hanya bisa diam saja seperti patung.
   "Kalau seperti ini terus nilaimu! Ibu tidak mau kuliahin kamu! Percuma!"
   Dengan langkah tegas Tante Tiar pergi. Hatinya masih dipenuhi amarah yang menyala-nyala pada anak semata wayangnya itu.
   Sementara Tito yang masih menunduk diam-diam menangis. Air matanya satu-persatu jatuh ke lantai.
                     ***
   Malam sudah larut, sudah tak terdengar lagi suara kendaraan atau manusia di luar sana. Tetapi Tito masih belum bisa tidur di kamarnya walaupun sedari tadi ia sudah membolak-balik badannya mencari posisi yang nyaman. Kata-kata ketus Tante Tiar terus berputar di pikirannya. Sampai kepalanya terasa ingin pecah.