“To!” suara si Bos Besar terdengar lagi. Kali ini dia bertanya dengan intonasi yang lebih tegas. “Kapan lagi kamu akan mendapat bayaran sebesar ini?!”
Tito menelan ludahnya. Lalu menarik napas, dalam, berusaha mengokohkan kembali tekadnya yang tadi sempat kendur. “Maap, Bos. Saya tidak bisa menerima tawaran, Bos. Saya benar-benar ingin berhenti,”
“Ah, persetan dengan niatmu itu, To! Lihat saja nanti! Kamu pasti menyesal!”
Telepon langsung terputus.
Tito menarik napas lagi, panjang, lalu menaruh kembali ponsel itu di meja. Sejurus kemudian Tuti berlari-lari kecil datang padanya dengan wajah yang pucat dan cemas.
"Pak,"
“Ya, bu?”
“Bu Sutrisna datang. Marah-marah,"
“Kenapa?”
“Kita sudah tiga bulan belum bayar uang kontrakan, pak. Kalau sampai besok belum bayar, kita disuruh pindah,”
“Masak dia tidak punya pengertian sama sekali, sih! Kan bukan maksudku tidak mau bayar! Kan dia tahu aku baru sembuh! Tabungan kita habis buat berobat dan tiga bulan ini aku belum bisa bekerja karena sakit!” dada Tito kembang-kempis menahan emosi. “Bilang padanya akan kubayar besok!”