Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Sakit Lidah

2 Januari 2017   11:53 Diperbarui: 3 Januari 2017   08:39 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: dailyimage.net

Tito mengangguk, meng-iya-kan apa yang dikatakan Tuti.

Sebelum menyambung pembicaraan, Eyang Jumiwon melahap sirih yang baru selesai dipilinnya dan telah dicampurnya dengan kapur, gambir, pinang, dan tembakau. Lantas bibirnya yang keriput dan merah kehitaman itu mengatup dan menginang (bersirih).

“Tadi sampean bilang lidah suami sampean panas kayak api?”

Tuti mengangguk. Eyang Jumiwon lalu meminta Tito memelet. Begitu lidahnya dijulurkan Tito, Eyang Jumiwon menyentuhnya dan langsung tergeragap. Benar, lidah itu seperti menyulut telunjuknya laiknya api.

“Betul, kan, Eyang,” tandas Tuti. Eyang Jumiwon tak menanggapi. Pikirannya tengah terheran-heran pada lidah yang teramat panas itu. Hanya saja ekspresi tersebut tak tersirat di wajah keriput Eyang Jumiwon yang memang selalu datar dan serius. Senyum dan keceriaan seakan telah lama punah di belantara ubannya. “Apa suami saya diguna-gunai orang, Eyang?”

“Saya tidak bisa sembarangan menyimpulkan seperti itu, nanti kalau keliru malah jadi fitnah," tandas Eyang Jumiwon. "Suami sampean ada pakai jimat, susuk, atau suka ke tempat-tempat persugihan?”

“Astaga, Eyang. Kami tidak percaya dengan hal-hal mistis seperti itu,”

“Ul, Yang!” kali ini Tito sampai ikut angkat bicara. Maksud Tito ‘Betul, Eyang’. Tapi karena lidahnya yang kaku artikulasi yang keluar dari mulutnya jadi tak sempurna.

Eyang Jumiwon melirik Tito dan Tuti secara bergantian. Matanya kali ini menatap mereka agak tajam. "Kalau kalian tidak percaya pada hal-hal mistis lalu kenapa kalian datang ke sini?”

Kontan Tito dan Tuti tercekat. Kemudian menyesali apa yang mereka katakan barusan.

“Maap, Eyang. Maksud kam…”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun