Ada yang percaya, bahwa ketika orang baik pergi meninggalkan dunia, ia akan berubah menjadi matahari di musim gugur, salju di musim dingin, burung yang terbang bebas di angkasa, bintang di langit malam, dan angin sepoi yang memberikan ketenangan. Rohnya akan menjelma menjadi bagian penting untuk kehidupan manusia selanjutnya.
Lalu, bagaimana aku yang kini berubah menjadi seekor kumbang? Apakah dulu aku orang yang baik atau yang jahat? Mengapa Sang Pencipta tidak mentakdirkanku sebagai awan, merpati, atau pelangi? Mereka disukai banyak orang. Sedangkan kumbang? Apakah arti dari wujudku yang bundar kecil dengan punggung yang berbintik-bintik hitam-merah seperti ini?
Pertanyaan itu terus merongrong pikiranku hingga aku malas mencari kutu daun untuk kumakan. Tubuhku jadi kurus dan lemas, bahkan nyaris mati dan entah akan ditakdirkan lagi sebagai apa? Jika ada yang bertanya bagaimana proses aku menjadi kumbang? Sungguh aku tak bisa menjawab. Semuanya serba tiba-tiba seperti tak bermula, bagai permainan sulap.
Namun, kini aku sudah melewati masa-masa galau itu. Aku sudah move on! Sekarang aku bahagia menjadi seekor kumbang. Kebahagiaan itu ada sejak aku menemukan kembang Mutiara. Di taman sekolah ini, selain ditanami berbagai kembang yang jenisnya sudah umum seperti melati, mawar, anggrek, matahari, dan tulip. Di taman ini ada kembang Mutiara. Kembang Mutiara tidak serupa kembang-kembang lainnya. Dia unik karena muncul pada waktu-waktu tertentu saja. Biasanya muncul ketika lonceng di ujung sekolah ini berdentang.
Ya! Ya! Kembang Mutiara memang bukanlah kembang dalam arti yang sebenarnya. Itu hanya perumpamaanku saja, yang suka berpujangga karena dulu bercita-cita menjadi seorang penyair layaknya Sapardi Djoko Damono, namun sayang, ajalku lebih dulu tiba.
Kembang Mutiara adalah manusia sebagaimana aku dulu. Dia seorang gadis bernama Mutiara. Dia murid di sekolah ini. Lalu, mengapa aku mengibaratkannya sebagai kembang? Alasannya tentu karena aku seekor kumbang! Sebagaimana bulan yang selalu dipasangkan dengan bintang. Gula dengan semut. Atau air dengan ikan.
Berjam-jam menunggu akhirnya lonceng di ujung lorong sana berdentang. Aku nyaris jatuh dari kelopak anggrek ini lantaran melompat kegirangan. Karena bersamaan dengan bunyi lonceng itu kembang Mutiara akan datang. Murid-murid dan guru-guru menghambur ke penjuru sekolah.
Itu dia! Kembang Mutiara sedang menuju taman ini. Kakinya yang jenjang berjalan dengan tenang. Jantungku berdebar-debar.
“Hai, kembang-kembang yang cantik! Apa kabar?” ujarnya setelah menduduki bangku panjang di sisi timur taman ini.
Pandangan kembang Mutiara menjelajah kembang-kembang di taman ini. Bibirnya tersenyum. Matanya yang lentik pelan-pelan memejam. Hidungnya yang mancung serupa garis menarik nafas panjang. Panjang sekali. Seakan-akan esok dia tak bisa menghirup udara segar lagi. Dengan pelan-pelan pula ia membuka matanya. Lalu ditatapnya lekat-lekat awan yang seperti gumpalan-gumpalan kapas itu.
“Tuhan, hiburlah mereka yang berduka dan berilah kekuatan kepada mereka yang putus asa,” desisnya, seolah-olah di awan itulah para malaikat bersembunyi dan mencatat doa-doa manusia.
Demikian doa yang selalu dipanjatkan kembang Mutiara sebulan belakangan ini. Dan matanya selalu berkaca-kaca setiap kali mengucapkan dua permohonan itu.
“Serius banget lihat awannya. Memang di sana ada apa, sih?” Jordi tiba-tiba muncul. Kembang Mutiara menoleh, lalu tersenyum, setelah sebelumnya sempat sedikit kejut. Tanpa basa-basi Jordi langsung duduk di samping kembang Mutiara. Aku kesal melihat mereka bersama.
Aku tak suka Jordi! Dia itu tengil! Dia sering menggoda siswi-siswi di sekolah ini! Itulah mengapa aku menjulukinya si buaya belang! Namun, sudah sebulan ini kuperhatikan si buaya belang tampaknya sedang gencar mendekati kembang Mutiara. Tiap kali kembang Mutiara berada di taman ini si buaya belang senantiasa nimbrung! Ada saja topik yang dibicarakannya. Dan dia selalu menyelipkan gombalan-gombalan yang sering kali membuat perutku mual!
“Buaya belang! Awas saja kalau kau mempermainkan kembang Mutiara! Aku akan membuat perhitungan denganmu! Jangan kau kira seekor kumbang tak bisa melukai manusia! Akan kugigit pantatmu yang tepos itu!” ujarku seolah-olah si buaya belang bisa mendengar ancamanku ini.
Buru-buru aku terbang dan bertengger di sekuntum melati yang berada lebih dekat dengan mereka, agar bisa lebih jelas menguping apa yang si buaya belang katakan.
“Ra, malam minggu nanti kamu ada acara? Nonton, yuk? Film-film yang tayang di bioskop lagi seru-seru, lho! Aku traktir!”
Darahku mendidih. Nafasku mengepul-ngepul. Emosi aku mendengarnya.
“Aku nggak bisa, Jo. Ada acara keluarga. Lain kali aja, ya.”
“O, oke, nggak masalah,” imbuh si buaya belang dengan senyum yang dilebar-lebarkan.
Puas sekali aku mendengar jawaban kembang Mutiara. Biar tahu rasa si buaya belang! Dia pikir semua siswi di sekolah ini bisa takluk karena ketampanannya? Kembang Mutiara tentulah beda!
Kukatup bibirku rapat-rapat saat si buaya belang melintas di depanku. Kusembunyikan wajahku yang tengah cekikikan di balik daun. Meski aku tahu si buaya belang tak akan menyadari bahwa ada seekor kumbang yang tengah tertawa di atas penderitaannya.
Kulabuhkan kembali tatapanku ke kembang Mutiara setelah tawaku reda. Kuamati wajahnya yang lama-kelamaan memucat. Sayup-sayup kudengar dia bergumam sampai akhirnya cairan putih tumpah ruah dari mulutnya yang mungil. Ini kesekian kali kulihat kembang Mutiara memuntahkan cairan putih itu. Namun, ini kali pertama mulutnya lebih banyak mengeluarkan busa.
Kembang Mutiara mengerang panjang. Tubuhnya kejang-kejang hingga terperosok dari bangku lalu jatuh ke tanah. Badannya terbujur menyamping. Tubuhnya bergetar kencang. Bahkan lebih kencang dari yang pernah kusaksikan sebelum-sebelumnya. Untunglah ada seorang siswi yang melihat kembang Mutiara tergolek di tanah dan menjerit meminta tolong.
Orang-orang langsung berdatangan. Dua satpam memapah kembang Mutiara yang sudah tak sadarkan diri. Seorang guru mengarahkan dua satpam itu ke sebuah ruangan. Beberapa murid mengikuti.
“Ada apa?! Ada apa?!” tanya Jordi yang baru datang.
Siswi yang tadi menjerit, menjawab. “Ayan Mutiara kumat lagi!”
**
Seminggu setelah kejadian itu, aku tak pernah melihat lagi kembang Mutiara. Aku sangat merindukannya. Kutinggalkan taman. Kusambangi kelas kembang Mutiara. Aku tahu di mana letaknya, karena aku pernah mengikuti kembang Mutiara menuju kelasnya setelah bertolak dari taman.
Aku terbang meliuk-liuk agar tak tertabrak orang yang berlalu-lalang di halaman-halaman kelas. Tiba di kelas di samping tangga itu. Aku hinggap di jendela paling belakang. Kembang Mutiara tidak ada. Bangkunya kosong.
“Kembang Mutiara, apa kamu masih sakit? Lekaslah sehat agar kamu bisa bersekolah lagi dan datang ke taman. Ada aku – si kumbang – yang merindukanmu.”
Kupalingkan pandanganku dari bangku kosong yang seperti dibiarkan teronggok di tengah-tengah kelas itu, dan gegas kembali ke taman dengan perasaan rindu yang belum tuntas. Saat kukembangkan sayap, kulihat si buaya belang melintas bersama seorang temannya yang berwajah tak kalah tengil.
“Makanya, Jo. Kalau cinta langsung katakan. Jangan terlalu lama disimpan. Sekarang Mutiara sudah almarhum. Baru kau menyesal!"
Seperti ada petir yang menyambarku berkali-kali. Aku terhuyung ditiup angin lalu terjerat jaring yang menjuntai di celah-celah kaca jendela. Tak sanggup aku melepaskan diri dari benang-benang halus yang merekati badanku ini.
Seekor laba-laba datang. Lalu mencengkramku. Buru-buru dia melilit seluruh tubuhku dengan benang-benang halus yang menjalar dari duburnya. Nafasku tersendat-sendat. Udara terasa menjauh. Laba-laba itu menusuk perutku dengan dua taringnya secara membabi-buta dan menghisap seluruh tenagaku tanpa henti. Tubuhku melemas. Sinar mataku meredup. Samar-samar kulihat dari celah jendela kelas yang tembus pandang ke taman, sekuncup bunga mawar merah sedang memekar. Aku mengernyit. Mawar merah itu mirip sekali dengan wajahmu, kembang Mutiara. Kukerjap-kerjapkan mata menajamkan pandangan. Itu memang wajahmu! Yang memekar itu memang dirimu! Tak keliru aku mengibaratkanmu sebagai kembang, karena Sang Pencipta pun berpikir demikian. Kini kau ditakdirkan menjadi mawar. (*)
Gambar: (m.pulsk.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H