Kala itu Yona tidak sempat dibawa ke rumah sakit karena kondisinya lemah dan akan segera melahirkan. Karena bidan tersebut kurang pengalaman dan pengetahuan, persalinan pun dilakukan tanpa alat medis memadai.“Bidan ini hanya datang membawa gunting dan menjahit tali pusar bayi yang dilahirkan pakai benang pakaian. Pada saat itu kondisi bayi sudah kejang-kejang,”urainya.
Mosez Maitimu (60) anggota Badan Saniri Negri Ema yang ditemui di tempat yang sama mengatakan, kepedulian kepada masyarakat Ema bukan saja karena akses jalan, pendidikan dan kesehatan. Namun juga sejarah yang masih dibanggakan hingga saat ini.
Pria yang telah beruban ini mengisahkan, Ema adalah salah satu Soa (perkampungan) yang ikut mendirikan Kota Ambon. Soa Ema, Soa Kilang, Soa Silale, Soa Hative dan lainnya, merupakan perkampungan yang mendiami benteng Portugis yang dibangun pada 1557 yang kemudia diberi nama benteng Ferangi di dataran Honipopu. Hal penting lainnya adalah Ema sebagai tempat kelahiran Pahlawan Nasional dr Johanes Leimena.
"Jadi sebelum Ambon terbentuk, orang Kilang dan Ema sudah berada di Kota. Salah satu asset sejarah kota Ambon, sebenarnya juga Ema. Nah, sekarang kita bertanya ke pemerintah kota, apakah yang telah diberikan buat Ema?,”tanya Maitimu, menyindir.
Orang Ema, lanjut dia, bertipikal penyabar. Selama ini tak pernah meminta-minta perhatian pemerintah.”Bayangkan pengerjaan bangunan dua tingkat nan megah ini menggunakan tenaga manusia. Semua material, kecuali pasir, kami memikulnya dari bawa jembatan pembatas Negeri Ema dan jalan raya itu,”ucapnya, sembari menunjuk beton gedung Pastoral yang dipakai sebagai tempat rapat hari itu.
Ema juga memiliki situs sejarah yang tak kalah penting untuk diperhatikan pelestarian dan pemanfaatannya oleh pemerintah. Di desa itu, terdapat benda peninggalan kerajaan Majapahit berupa tombak, tampat siri dan gamelan. Juga ada mata air Majapahit yang biasa dinamai mata air Islam.“Ema punya banyak situs sejarah, namun sulitnya akses bagi orang luar untuk masuk kesini. Sehingga tidak terlalu terkenal,”ungkapnya.
Ema Bergerak
Setumpuk persoalan itu yang kemudian membuat sekelompok anak muda tersentak . Berdiskusi untuk mendapatkan ide. Paling tidak bisa mengadvokasi dan menjembatani derita orang Ema dengan pemerintah kota Ambon. Mereka tergabung dalam Tim Ema Bergerak. Berasal dari latar agama dan komunitas berbeda.
Komunitas ini berisi, Yani Salampessy (36), ketua Tim Ema Bergerak sekaligus konsultan perencanaan, dan ketua Persatuan Anak Muda Maluku (PAMM), Syamsul Notanubun (aktivis pemuda Maluku (PAMM) dan Glenn Wattimuri (36) dari Mollucan Backpacker Community yang juga IT di The Natsepa Hotel. Ditambah Rudi Fofid sastrawan dan jurnalis senior yang mewakili Bengkel Sastra Maluku (BSM) dan Elsye Latuheru Syauta Pekerja sosial sekaligus direktur Yayasan Parakletos.
“Itu terjadi dalam sebuah diskusi tentang ke-Malukuan, maka terucaplah persoalan di Ema, yakni pengerjaan jalan aspal yang hingga kini belum selesai,” ujar Salampessy saat saya berkunjung ke sekretariat Tim Ema Bergerak, jalan WR Supratman, Tanah Tinggi, Jumat (15/5).