"Gadis itu sudah pergi."
"Sudahkah... sudahkah kamu yakin?" Aleta akhirnya berkata, suaranya pecah menjadi serpihan-serpihan kesedihan.
Sergeant Ryan menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab, "Ya, Aleta. Aku sangat menyesal. Rena tidak selamat dari kejadian ini."
Air mata Aleta mengalir tanpa henti, tubuhnya terguncang.
"Di mana... Di mana tubuhnya sekarang?" Aleta bertanya, suaranya terdengar rapuh di antara isakannya.
Ryan menunjuk ke sebuah ruangan di ujung koridor.
"Aku akan mengantarmu," ucapnya.
Aleta mengikuti Ryan dengan langkah gemetar, hatinya berdebar keras. Mereka akhirnya tiba di depan pintu ruangan kecil yang terbuka lebar. Aleta menelan ludah, tangannya gemetar saat dia membuka pintu itu.
Ketika kain penutup dibuka, Aleta merasakan dunianya runtuh. Di hadapannya, tubuh Rena terbaring. Wajahnya tenang, seolah-olah dia tertidur dengan damai. Itu adalah Rena, memang benar Rena, teman baiknya, sekarang hanya menjadi kenangan yang menyedihkan.
"Rena..." Aleta bergumam. Dia menutup mata dan meraih tangan Rena, menciumnya dengan lembut. Air mata yang tak terbendung terus mengalir.
Sergeant Ryan berdiri di sampingnya, diam. Tidak ada kata-kata yang cukup untuk menggantikan rasa sakit yang mereka rasakan.
Hanya suara isakan Aleta yang memecah keheningan, menyusuri lorong-lorong hati yang retak.
Aleta memasuki ruang tunggu, kembali ke tempat keluarganya. Ibunya segera mendekatinya.
"Aleta, sayang, apa yang terjadi? Kenapa matamu terlihat begitu memerah?" tanya Ibunya, suaranya penuh perhatian.