Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara "San-ban", Kompasianival dan Pilpres 2024

21 Oktober 2023   12:07 Diperbarui: 21 Oktober 2023   15:59 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia memang makhluk yang suka humor. Mungkin binatang juga, namun kita kan tidak mengerti bahasa mereka. Coba saja kalau paham, pasti seru.

Humor memang mampu jadi "pelumas", atau sebagai katalis bergaul dengan orang-orang di sekitar. Seperti mobil yang tidak dapat jalan kalau tidak ada pelumas (oli), maka humor kalau digunakan saat sikon tepat, bisa memperlancar pergaulan.

Orang Indonesia sebagai bagian dari Homo Humoricus (ini istilah bikinan sendiri), pastinya suka humor. Lihat saja istilah yang sedang hot akhir-akhir ini. Misalnya "kado paman untuk ponakan", atau istilah plesetan Mahkamah Keluarga untuk MK.

Ini berlaku juga bagi orang Jepang. Mereka memiliki banyak koleksi istilah humor yang tujuannya bermacam-macam.

Salah satunya adalah san-ban. Istilah ini digunakan saat pemilu, dan ingin mengatakan (secara satire) bahwa kalau punya san-ban, maka peluang sang kandidat jadi pemenang menjadi besar.

Sebagai kompasianer, dan sekaligus sebagai warga negara Indonesia, kita patut ambil bagian di acara kompasianival dan pilpres 2024.

Saya pikir, dua perhelatan itu kok mirip ya. Sedikit beda cakupan saja. 

Kompasianival adalah acara (terbatas) bagi rakyat Indonesia yang sudah menjadi kompasianer (meskipun semua orang bisa hadir). Sedangkan pilpres itu terbuka bagi warga negara Indonesia yang sudah memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2022.

Nah, untuk mewujudkan (sebagian dari) "turut ambil bagian" itu, saya ingin meninjau kesamaan keduanya dari sudut pandang san-ban.

Kita bahas istilah san-ban dahulu ya. Arti harfiah dari san-ban adalah tiga "ban". Tentunya, ban ini bukan benda hitam bulat berisi udara, yang menjadi komponen penting pada kendaraan mulai dari becak, bemo, sepeda, mobil sampai pesawat terbang.

Ban disini adalah suku kata terakhir dari tiga kata yang digunakan pada istilah. Pertama adalah jiban.

Arti harfian jiban adalah tanah atau lapisan keras terluar dari bumi. Jiban juga mempunyai arti dasar, maupun kekuatan misalnya pada suatu organisasi.

Untuk ikut perhelatan pilpres, jiban adalah unsur penting. Jika organisasi (dalam hal ini partai) pengusung kandidat itu kuat, maka ini adalah suatu nilai tambah.

Apalagi, sang kandidat adalah anak orang penting, bahkan anak penguasa. Pastinya, seng ada lawan!

Oh ya, masalah dinasti sebenarnya bukan terjadi di Indonesia saja. Di Jepang, sudah biasa terjadi anak politisi, anak menteri, maupun anak mantan PM, meniti karir sama dengan bapak/ibu nya.

Seshuu, demikian istilah dinasti dalam bahasa Jepang, adalah hal lumrah.

Bagaimana dengan kompasianival? Jiban, tentu berpengaruh.

Jika mempunyai banyak pertemanan/interaksi, ditambah bergabung dengan WAG, lalu sering menulis komentar baik sekadar basa-basi, copy paste, membanyol, dan sebagainya, tentu jiban yang Anda punya sudah dapat dibilang "kuat".

Apalagi jika Anda sering menulis artikel. One day one article, or more with a bit of participation through one or two words of comment, here and there, adalah obat kuat eh, obat mujarab menaikkan level jiban.

Ban yang kedua adalah kanban. Arti harfiahnya adalah nama yang ditulis di papan, kain atau bahan apa pun yang dibuat sedemikian rupa sehingga mencolok dan menarik perhatian orang banyak.

Kanban juga dibuat sedapat mungkin untuk mewakili persepsi orang terhadap toko, perusahaan, organisasi dan lainnya.

Pada pilpres, kanban jelas sangat menguntungkan. Jika seorang artis, anak pejabat bahkan anak presiden mencalonkan diri, tentu dia tidak perlu bersusah payah untuk membangun persepsi positif masyarakat mulai dari nol. Sebagai catatan, saya disini tidak sedang membicarakan putusan MK yang menjadi polemik.

Begitu juga di kompasianival. Jika Anda orang "terkenal" dalam berbagai arti tentunya, itu adalah sebuah nilai plus yang amat membantu untuk menggondol salah satu award.

Ikut kegiatan misalnya kopdar, menjadi anggota berbagai komunitas, melakukan sesuatu yang berbeda, akan sangat membantu untuk mendongkrak posisi kanban Anda.

Walhasil, kanban menjadi "dongkrak antik" untuk mengantar Anda naik podium di kompasianival nanti.

Terakhir adalah kaban. Ini arti harfiahnya tas. Boleh tas yang Anda pakai saat pergi ke sekolah, ke kantor, saat kondangan, ketika kencan, bepergian, atau sekadar untuk mejeng di mal.

Akan tetapi, dalam konteks ini, kaban artinya dukungan finansial alias duit. Politisi kita kadang menyebutnya dengan istilah kardus, sapi, apel, duren, dan lainnya. Apa pun istilahnya, artinya fulus.

Kaban di pilpres jelas diperlukan. Kalau cuma modal dengkul, pasti nggak bisa lah ferguso.

Eh, tapi kabar burung ada yang ikutan kontestasi pilpres hanya dengan modal dengkul (plus bibir alias omongan) lho. Benar atau tidaknya, sila tanya pada rumput yang bergoyang. Lagipula, itu bukan topik bahasan tulisan.

Bagaimana dengan kompasianival? Tidak perlu disebutkan lagi bahwa kaban juga merupakan unsur penting. Kalau nggak punya doku (duit) buat beli pulsa atau bayar WiFi, bagaimana mau ikutan kompasianival?

Artinya sebagai kompasianer tentu butuh kaban untuk akses kompasiana bukan? Akses merupakan satu-satunya jalan menuju kontestasi kompasianival.

Apalagi jika Anda tidak mau terganggu oleh iklan panu, obat kuat dan iklan lain, butuh rogohan lebih dalam lagi ke saku, untuk berlangganan layanan premium.

Sebenarnya, ada cara lain yang memungkinkan akses gratis. Misalnya nebeng WiFi di Starbucks, atau warung kopi lain yang menyediakan akses gratis.

Akan tetapi, Anda kan harus pesan paling tidak satu minuman, setelah itu bisa leluasa berlama-lama disana mulai kedai buka, sampai nanti ditutup.

Kecuali urat malu sudah putus, maka Anda dapat duduk disana tanpa pesan apa pun. Atau kalau punya kaki kuat untuk berdiri, maupun bokong handal hingga mampu duduk berlama-lama di beton keras, bisa nangkring di luar/dekat warung yang masih terjangkau sinyal WiFi.

Itu beberapa hal tentang persamaan kompasianival dan pilpres dari sudut pandang "san-ban". Lalu, apakah ada perbedaan antara keduanya?

Jawabannya, ada!

Pemenang pilpres tentu wajib melaksanakan tugasnya. Meskipun dari pengalaman, daftar janji-janji saat kampanye hanya bersifat normatif, dan yang benar-benar terwujud dapat dihitung hanya dengan sebelah jari tangan.

Negara harus dikemudikan, dan tidak bisa dibiarkan auto pilot.

Kalau pemenang kompasianival? Tentu saja lain, bahkan berbeda 180 derajat jika dibandingkan dengan pemenang pilpres.

Misalnya, para penggondol award berhak untuk kabur dan menghilang tanpa jejak. Tentang kualitas tulisan pun, juga tidak dapat dituntut banyak alias bukan suatu kewajiban.

Apalagi yang namanya kualitas tulisan, tentunya sangat subjektif. Pandangan seseorang, pasti berbeda dengan pandangan orang lain. Harap dicatat, kualitas disini bukan masalah isi (pokok bahasan), masalah plagiat, maupun judul clickbait ya.

Baiklah, kelihatannya Anda sudah mulai bosan. Jadi cukup sampai disini saja catatan kecil saya.

Meskipun istilah "nggak ada elu nggak rame" pastinya tidak berlaku bagi diri sendiri, mudah-mudahan ini bisa dianggap sebagai partisisapi(sic) untuk kegiatan kompasianival, sekaligus cerita untuk memperingati ultah ke-15 Kompasiana.

Acara kompasianival pasti seru, rame dan sukses dengan kehadiran rekan-rekan lainnya.

Saya tidak dapat membagi cara agar menang maupun kalah di ajang kompasianival. Alasannya, saya tidak terikat pada dua hal yang umumnya berlaku. Misalnya soal menang, atau kalah itu.

Mengikuti jalur penikmat merupakan pilihan, dan tujuan menulis disini. Saya, lebih memilih untuk tidak ikut "permainan" (baca:perlombaan/persaingan).

Sebelum menutup tulisan, untuk menegaskan sekali lagi, saya mendukung seratus persen kompasianival dan pilpres 2024.

Orang memang tidak bisa mengontrol pikiran yang muncul di kepala. Akan tetapi, saya yakin manusia sebagai makhluk humoris, bisa mengontrol mulut dan jari tangan.

Sehingga kita semua harus menggunakan mulut dan jari tangan, untuk menanam bibit perdamaian. Bukan sebaliknya, menanam bibit kebencian yang menimbulkan malapetaka, kemudian berakibat perpecahan.

Selamat menikmati akhir pekan.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun