Ketika mengantuk sehabis jam makan siang, kita bisa minum kopi (atau minuman lain) yang tersedia gratis di ruang istirahat, sambil duduk di sofa empuk. Atau ketika bosan duduk di meja berjajar dengan rekan lain, kita bisa membawa laptop untuk duduk di meja bulat dekat jendela sendirian, melanjutkan pekerjaan sambil mendengarkan musik dan melihat pemandangan luar dari ketinggian.
Tidak usah khawatir kalau belum sempat menyetrika celana panjang. Alasannya, datang ke kantor pakai celana jin belel pun tidak ada yang protes. Begitu juga tidak perlu khawatir telat datang ke kantor, asal saat jam inti (core time, sekitar pukul 10 pagi sampai 3 siang) kelihatan batang hidung kita di kantor.
Itu sedikit gambaran aktivitas, dari pengalaman bekerja di dua perusahaan multinasional. Ada banyak lagi cerita, yang kalau saya tulis semuanya bisa menjadi sebuah buku. Pengalaman tentu bisa saja berbeda, jika bekerja di perusahaan multinasional berbeda.
Sebagai catatan, saya ingin membatasi istilah multinasional di sini sebagai perusahaan dengan kantor pusat di luar Jepang. Soalnya, ada perusahaan Jepang yang bisa juga disebut perusahaan multinasional, karena kantor beserta manajemen berada di beberapa negara di luar Jepang.
Sebelum membahas lebih jauh, rasanya perlu ditegaskan bahwa cerita kali ini bukan tentang kiat untuk menjadi karyawan perusahaan multinasional. Terus terang, saya tidak pandai untuk memberikan kiat.
Kemudian saya ingin bercerita tentang perusahaan multinasional, berdasarkan pidato Steve Jobs pada acara wisuda di Universitas Stanford tahun 2005.
Omong-omong, tentang Steve Jobs tidak perlu diceritakan lagi ya? Karena Anda pasti sudah mengenalnya, bukan?
Jika ada pertanyaan, kenapa mengambil contoh Steve Jobs? Karena dia adalah (salah satu) pendiri perusahaan raksasa Apple, yang merupakan perusahaan multinasional.
Baiklah sekarang kita mulai. Saya ingin membagi cerita dalam 3 tema, sesuai pidato Steve Jobs.
Setiap peristiwa maupun pengalaman, baik di sekolah atau saat bekerja, pasti mempunyai arti dan akan mengantar kita kepada suatu tujuan akhir yang ingin dicapai.
Kita bisa mengumpamakan peristiwa atau pengalaman itu sebuah "titik". Saat berada di suatu titik, adalah hal biasa jika ada rasa gamang untuk membuat titik (baca:mengambil keputusan) selanjutnya.
Akan tetapi, kita harus yakin dan punya keberanian melangkah untuk membuat titik selanjutnya itu. Alasannya, orang hanya bisa membuat garis, kemudian menghubungkan titik yang telah dibuat, setelah berada di titik selanjutnya.
Dengan kata lain, orang akan tahu apakah itu sesuai dengan harapan atau tidak, setelah mengambil ke putusan untuk membuat, dan melihat ke belakang di titik lanjutan. Bukan dengan melihat ke depan (baca : sebelum membuat titik atau keputusan).
Waktu SMA dahulu, banyak teman yang les bahasa Inggris di LIA. Memang kelihatan keren kalau bisa menenteng diktat LIA di sekolah. Saya ingin menenteng diklatnya juga sih. Alasannya, bisa dipakai untuk menggaet gebetan baru. Apa hendak dikata, rupiah di kantong hanya cukup untuk ongkos naik bus, dan membeli es teh manis, bakso atau bubur saat istirahat di kantin.
Sejak sekolah menengah, saya suka mendengarkan lagu barat, atau menyanyikannya sambil main gitar kepunyaan bapak. Sesekali patungan bersama teman, untuk pinjam video film maupun konser musik, kemudian diputar di rumah teman lain (empunya rumah tidak perlu ikut patungan).
Tanpa harus les di LIA pun, kebiasaan itu ternyata mempermudah pendengaran dan pelafalan kata bahasa Inggris, ketika bekerja di perusahaan multinasional. Apalagi orang yang saya hadapi terdiri dari berbagai bangsa, masing-masing dengan logat khasnya saat berbicara dalam bahasa Inggris. Saya tidak mempunyai masalah yang berarti untuk berkomunikasi dengan mereka.
Tidak pernah terbayang, bahwa "titik" di sekolah menengah saat bergaul akrab dengan bahasa Inggris melalui musik maupun film, ternyata bisa menyambung dan akhirnya berhubungan menjadi garis dengan titik saat saya bekerja di perusahaan multinasional.
Jadi titik apapun yang sudah kita buat, suatu saat pasti bersambung pada apa yang akan atau sedang dilakukan.
Banyak-banyaklah membuat titik. Semakin banyak titik, tentu tidak akan menjadi sia-sia. Karena itu artinya kemungkinan untuk menyambungnya dengan titik yang akan kita buat di masa depan menjadi lebih banyak.
Love and Loss
Kalau mendengar lagu tentang cinta, umumnya berkisah tentang hubungan antara cowok dan cewek. Namun dalam dunia nyata, objek dari cinta bukan hanya kekasih hati. Pekerjaan, juga bisa jadi objek cinta.
Ada banyak suka dan duka saat bekerja di perusahaan multinasional. Meskipun suka duka bukan milik perusahaan multinasional saja, karena orang bisa mengalaminya saat bekerja di perusahaan lokal.
Yang saya ingin tekankan disini adalah, bekerja di perusahaan multinasional itu, kalau dipikir-pikir lebih banyak dukanya daripada suka.
Ada beberapa alasan untuk ini. Salah satunya adalah, kita harus berhadapan dengan orang dari berbagai negara, masing-masing punya perangai dan kebiasaan berbeda.
Meskipun sudah terbiasa berhubungan dengan orang asing (di Jepang, semua orang di sekeliling adalah orang asing), saya tetap butuh energi khusus untuk berinteraksi dengan mereka. Apalagi ketika mood sedang jelek, atau badan sedang capek, tentu butuh energi ekstra untuk menghadapinya.
Saat kehilangan (baca:berhenti karena suatu alasan dari) satu perusahaan multinasional, kecintaan pada pekerjaan ini juga yang membuat saya ingin kembali bekerja di perusahaan multinasional berbeda, namun bergerak di sektor sama.Â
Kekhawatiran atas tantangan yang menguras energi saat bekerja di perusahaan multinasional, terhapus otomatis dengan kecintaan terhadap pekerjaan.
Bekerja adalah kegiatan terbanyak selama hidup, selain tidur. Supaya bisa merasa puas, kita harus melakukan pekerjaan terbaik (menurut orang yang melakukannya).
Satu-satunya cara untuk melakukan pekerjaan besar (baca:terbaik) adalah, mencintai pekerjaan. Mencintai, apa yang kita lakukan. Kalau belum menemukan pekerjaan yang bisa Anda cintai, maka teruslah mencari dan jangan berhenti.
Time is limited
Chairil Anwar berkata "aku mau hidup seribu tahun lagi". Pemerintah Jepang sudah mengusung konsep hidup 100 tahun. Namun kenyataannya, hidup manusia di dunia adalah fana. Waktu yang kita miliki, ternyata terbatas.
Waktu terbatas ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Bekerja di perusahaan multinasional, merupakan salah satu cara agar kita bisa mengisi hidup dengan lebih baik.
Pengalaman bekerja di dua perusahaan multinasional berbeda, ternyata ada kesamaannya. Mereka mempunyai slogan sama, yaitu keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi (bahasa kerennya, work-life balance).
Tentu ini bukan hanya sebatas slogan saja. Dalam kenyataan sehari-hari, penerapannya mudah dirasakan.
Misalnya saja, saya lebih mudah untuk mengambil cuti, dibandingkan saat bekerja di perusahaan Jepang. Atau ketika ada anggota keluarga yang sakit, pekerjaan boleh dilakukan dari rumah. Ini terjadi jauh sebelum work from home menjadi kegiatan yang biasa dilakukan sekarang, akibat pandemi yang melanda dunia.
Perusahaan juga memberikan kartu yang bisa dipakai untuk mendapat diskon saat menginap di hotel, belanja, menikmati pertunjukan, maupun aktivitas pribadi lain. Sehingga bisa saya gunakan saat refreshing, misalnya untuk menginap di hotel ketika liburan ke Osaka, dan menikmati Universal Studio Japan dengan diskon khusus.
Setiap musim panas perusahaan mengadakan barbecue bersama di Odaiba, dimana karyawan bisa mengajak keluarga untuk ikut serta. Saat pergantian tahun atau tutup tahun, biasanya ada acara perayaan bersama di hotel, untuk karyawan dan keluarga.
Hal ini tentu menggembirakan, sebab kita hidup hanya sekali di dunia ini. Hidup tidak melulu harus diisi dengan pekerjaan. Kehidupan pribadi, tentu juga harus dipikirkan.
Pengalaman bekerja di perusahaan multinasional, ternyata keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan kantor bisa dijaga dengan baik. Sekali lagi ini pengalaman pribadi, tentu bisa berbeda dari apa yang Anda alami.
Steve Jobs memang memiliki kharisma, sehingga bisa mengembangkan perusahaan Apple yang dimulai bersama Stephen Gary Wozniak dari garasi mobil orangtuanya, menjadi perusahaan multinasional dengan ratusan ribu karyawan di seluruh dunia.Â
Rahasianya bisa dibaca pada buku-buku yang diterbitkan tentang Apple maupun Steve Jobs, maupun dari isi pidato Steve di Stanford.
Jangan pernah merasa puas. Jangan merasa nyaman dengan keadaan sekarang. Jangan merasa minder jika mempunyai ide-ide aneh dan belum pernah dipikirkan orang. Itu adalah sebagian pelajaran yang bisa diambil dari isi pidato.
Kita juga bisa belajar, bahwa orang perlu untuk selalu mengosongkan gelas, agar bisa diisi dengan hal-hal baru. Setelah mengosongkan gelas, tentu tidak boleh duduk manis, hanya menunggu air jatuh dari langit.Â
Berjalan, kalau perlu berlarilah mencari air yang mengucur, untuk mengisi gelas kosong itu.
Bekerja di perusahaan multinasional, mungkin bisa menjadi salah satu tujuan hidup. Akan tetapi, itu bukan segalanya.
Jika ingin membuat kehidupan fana ini lebih berarti, yang terpenting menurut saya (sekali lagi) adalah, membuat diri kita selalu merasa lapar (baca: jangan pernah merasa puas), dan teruslah merasa bodoh (baca: jangan pernah lelah untuk mencari ilmu maupun hal-hal baru).
Persis seperti yang diucapkan mendiang Steve: Stay Hungry, Stay Foolish.
Selamat berakhir pekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H