Mohon tunggu...
stephanus mulyadi
stephanus mulyadi Mohon Tunggu... -

professional Consultant for rural development

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Makna Entitas Seni dalam Budaya dan Peradaban Dayak

9 Agustus 2018   13:00 Diperbarui: 9 Agustus 2018   19:01 1395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pengantar

Seni sudah menjadi salah satu bagian dalam kehidupan manusia dari zaman ke zaman. Dari masa prasejarah hingga sekarang, keberadaan seni sangat melekat dalam setiap sendi kehidupan dan jiwa manusia sehingga tidak dapat terpisahkan. 

Dalam kehidupan manusia, seni tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan, melainkan sebagai media komunikasi efektif. Karya seni juga  dapat  menjadi penanda atau gambaran peradaban manusia. Dalam diskusi ini saya akan membahas makna entitas seni dalam budaya  dan peradaban masyarakat Dayak, khususnya bagi Suku Dayak sendiri.

  • Seni (Tradisional) Dayak

Seni secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta sani, yang umumnya diartikan pemujaan. Pengertian tersebut menyiratkan bahwa sani dalam budaya Sansekerta terkait erat dengan upacara-upcara keagamaan. 

Secara umum para ahli mendefinisikan seni sebagai sesuatu yang mengandung unsur-unsur estetika dan mampu membangkitkan perasaan orang lain ketika melihat atau mendengarnya. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diartikan bahwa seni merupkan hasil karya yang diciptakan oleh manusia melalui ide/ggasan yang memiliki nilai estetika (halus dan indah) dan mampu membangkitkan perasaan penikmatnya.

Dalam Masyarakat Dayak di Kapuas Hulu ditemukan banyak sekali karya-karya seni dan sebagian besarnya tergolong  karya seni tradisional.  Disebut tergolong dalam kelompok seni tradisional karena karya seni Dayak di Kapuas Hulu umumnya masih berpegang teguh pada tradisi atau berpdoman  pada aturan atau kaidah dalam suatu komunitas Dayak secara turun-temurun, yang merupakan suatu unsur yang menjadi bagian hidup dari masyarakat Dayak itu sendiri.

Karya-karya seni trdisional dalam msyarakat Dayak tidak hanya memiliki fungsi sebagai sarana hiburan, melainkan memiliki fungsi sebagai sarana untuk menuangkan perasaan (komunikasi) dan tidak terlepas dari adat istiadat. Karya seni Dayak juga berfungsi sebagi pelengkap dalam upacara agama asli masyarakat Dayak, seperti dalam ritul berancak-begelak, manang (balian), sebagai pengingat suatu peristiwa penting, seperti peristiwa kematian (pantak, mandung) dan sebagainya.

Beberapa contoh karya seni tradisional dalam masyarakat Dayak di Kapuas Hulu antara lain terlihat pada alat musik:  sape', bensi, tarian: tarian penyambut tamu, tari perang, lagu-lagu: bejandih, mengkana, bambai, seni rajah: tatto, seni ukir gagang Mandau, ukir perisai, dan yang sangat terkenal adalah seni bangunan: Rumah Betang dengan segala aksesorisnya, kerajinan: manik, tenun adat, anyaman, dll.

  • Karya Seni di dalam Budaya Dayak

Karya-karya seni Dayak hadir di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak. Karya-karya seni hadir di dalam cara hidup, cara  bersosialisasi, cara menyikapi situasi atau merekayasa perubahan-perubahan yang ada di dalam masyarakat Dayak.

Cara hidup, cara  bersosialisasi, cara menyikapi situasi (melindungi diri) atau merekayasa perubahan-perubahan yang ada di dalam masyarakat itu disebut budaya. Budaya berasal dari kata "colere" (bahasa latin), yang artinya yang mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau petani, termasuk mengelola tata kehiduan bersama. 

Dalam bahasa Sanskerta ada kata buddayah yang merupakan kata jamak dari buddhi yang artinya budi dan akal. Secara umum pengertian budaya adalah cara hidup yang, berdasarkan akal budi, mengatur agar setiap manusia mengerti dan memahami bagaimana mereka harus bertindak, berlaku, berbuat, menentukan sikap saat berhubungan dengan orang lain agar masyarakat itu mendapatkan kehidupan bersama yang lebih berkualitas, lebih aman, nyaman dan sejahtera. 

Budaya dibentuk dari beberapa unsur yaitu sistem politik, adat istiadat, agama, bahasa, pakaian, perkakas, karya seni, karya bangunan, lingkungn, mata pencaharian, dll. Budaya manusia tidak bersifat pasif.

Melainkan aktif, terus berkembang untuk mendukung cara atau tatanan hidup tertentu dalam masyarakat, dalam menghadapi tantangan/kesulitan, menyesuaikan diri dengan situasi, atau bahkan memimpin perubahan (merekayasa situasi), sehingga kehidupan masyarakat tersebut menjadi semakin baik, aman, damai dan sejahtera. Budaya dapat berkembang secara bersama dalam suatu kelompok masyarakat secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sebagai contoh entitas karya seni dalam budaya Dayak terdapat di Rumah Betang. Di Rumah Betang terdapat semua unsur budaya[1] Dayak, yaitu bahasa, sistem pengetahuan, sistem teknologi dan peralatan, sistem kesenian, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan sistem kekerabatan dan organisasi kemasyarakatan. 

Rumah Betang dibuat begitu tinggi sebagai hasil dari akal budi masyarakat Dayak antara lain untuk menyikapi bahaya banjir, binatang buas atau dalam masa perang mengamankan warganya dari serangan musuh. Mengapa begitu banyak keluarga bergabung dalam sebuah rumah panjang tentu untuk memudahkan pengamanan, membangun solidaritas, memudahkan komunikasi, dan sebagainya. Arsitektur rumah betang memperlihatkan karya seni yang luar biasa dan kaya akan makna.

Bagaimana masyarakat Dayak mengolah padi menjadi beras dengan menciptakan gisar (suku Suruk menyebutnya kise), yaitu alat giling padi dan kemudian menumbuk padi secara bersama-sama, memperlihatkan budaya yang tinggi dalam menciptakan alat yang memudahkan hidup manusia dalam menghasilkan beras dan sekaligus membuat kerja menumbuk padi menjadi menyenangkan.

Apa yang mau dikomunikasikan dalam tarian adat penyambut tamu? Penghormatan, penghargaan, keterbukaan, hospitality dari tuan rumah, sekaligus membangkitkan persaan gembira, bangga dan agung pada tamu yang datang. Hal ini yang dilihat oleh Sartono Kartodirjo, ketika mengatakan bahwa seni budaya adalah wadah untuk mengutarakan sesuatu dengan efektif melalui kesenian.

Bahasa daerah yang sangat beragam yang dimiliki oleh suku-suku Dayak di Kapuas Hulu adalah bagian dari budaya Dayak. Bahasa adalah ungkapan dari seni komunikasi manusia. Bagaimana isi hati, buah pikiran, ide-ide diekspresikan melalui bahasa daerah masingg-masing, entah diekspresikan dalam bahasa verbal maupun non verbal adalah wujud ekspresi dari budaya masyarakat itu.

Bagian lain lagi dari seni yang masuk dalam budaya adalah lagu, tarian, seni tutur (bejandih, mengkana) merupakan bentuk dari ekspresi seni dan menjadi bagian dari budaya.

  • Peradaban Dayak

Kebudayaan menghasilkan peradaban. Peradaban, menurut Alfred Weber, mengacu pada pengetahuan praktis serta intelektual dan juga sekumpulan cara yang bersifat teknis yang difungsikan untuk mengendalikan alam. 

Secara umum pengertian peradaban adalah suatu kumpulan identitas terluas dari seluruh hasil budaya (kecerdasan akal budi) manusia (Hutington) untuk meningkatkan kualitas hidupnya, yang mencakup baik fisik seperti bangunan, jalan, tata kota, irigasi, system pertanian, maupun non fisik seperti nilai-nilai tatanan seni budaya ataupun IPTEK yang teridentifikasi melalui unsur obyek umum, seperti bahasa, sejarah, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang obyektif (Arnold Toynbee).

Istlah peradaban sering digunakan untuk menunjukkan penilaian pada perkembangan kebudayaan yang mana pada saat perkembangan kebudayaan tersebut mencapai titik tertinggi yang berwujud unsur budaya yang halus, indah, sopan, luhur, megah dan sebagainya. Maka suatu masyarakat dikatakan telah memiliki peradaban yang tinggi saat pemilik kebudayaan mampu menciptakan karya-kara  yang luar biasa tersebut. 

Suatu komunitas masyarakat dapat dikatakan memiliki peradaban yang tinggi yang ditunjukkan dengan ciri-ciri antara lain, adanya pembangunan kota-kota baru dengan tata ruang yang lebih baik, indah serta modrn, system pemerintahan yang baik karena memiliki hukum dan peraturan yang dijalankan dengan konsekuen serta adil, berkembanya beragam ilmu pengetahuan dan juga teknologi yang lebih maju seperti astronomi, bentuk tulisan, arsitektur, ilmu ukur, dan sebagainya, masyarakat hidup dengan berbagai jenis pekerjaan, keahlian, serta strata social yang lebih kompleks.

Di dalam sejarah perdaban manusia kita menemukan beberapa contoh peradaban yang tinggi dari beberapa komunitas manusia, seperti tata kota yang canggih dalam peradaban suku Maya, Piramida dalam peradaban Mesir, dan Kuta (benteng pertahanan dari kayu ulin) di mana di dalamnya terdapat Rumah Betang sebagai bukti peradaban Suku Dayak yang sudah berusia sekitar 1.700 tahun di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Dalam artian yang sama, peradaban dapat berarti "perbaikan pemikiran, tata krama, atau rasa". Masyarakat yang mempraktekkan pertanian secara intensif; memiliki pembagian kerja; dan kepadatan penduduk yang mencukupi untuk membentuk kota-kota. "Peradaban" dapat juga digunakan dalam konteks luas untuk merujuk pada seluruh atau tingkat pencapaian manusia dan penyebarannya (peradaban manusia atau peradaban global). 

Istilah peradaban sendiri sebenarnya bisa digunakan sebagai sebuah upaya manusia untuk memakmurkan dirinya dan kehidupannya.

Berbeda dengan kebudayaan yang  menunjukkan sesuatu yang sedang menjadi (it becomes/prose), peradaban adalah sesuatu yang sudah selesai (it has been/hasil). Contoh peradaban adalah bangunan monumental, seperti candi Borobudur, piramida, rumah betang yang tinggi dengan tiang-tiang pilar kayu ulin yang besar. Sementara contoh kebudayaan adalah cara makan, cara berpakaian, bahasa, kesenian, adat istiadat dan segala hal dalam masyarakat yang masih memiliki kecendrungan untuk terus berkembang.

Apakah masyarakat Dayak memiliki bukti-bukti peradaban yang tinggi ? Surya Sriyanti menulis tentang bukti perdaban maju Dayak. Dia menulis,

[KAYU ulin dengan tinggi 7 meter dengan garis tengah hingga 40 sentimeter (cm) masih berjejer rapat di tengah lebatnya hutan di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Deretan kayu yang berfungsi sebagai benteng atau kuta tersebut diduga sudah berusia sekitar 1.700 tahun. Di dalam benteng terdapat sisa rumah betang (rumah panjang berbentuk panggung) berukuran 8 meter x 27 meter yang disangga sejumlah tongkat batang kayu ulin setinggi 5 meter. Di antara area kuta tersebut, lanjut dia, juga terdapat sisa sapundu, sandung, serta bangunan lain..."

"Dari semua sampel yang diuji, Kuta Mapot diperkirakan didirikan pada 400 Masehi atau berusia sekitar 1.700 tahun," kata antropolog yang juga Analis Pengembangan Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalimantan Tengah Gauri Vidya Dhaneswara saat dihubungi di Palangkaraya, kemarin. Untuk sementara, lanjut dia, diasumsikan Kuta Mapot adalah benteng tertua orang Dayak di Kalimantan.

Gauri menduga kuta itu berfungsi sebagai tempat perlindungan masyarakat terhadap serangan di luar komunitas atau sebagai status sosial seseorang.

"Selain peninggalan batang kayu ulin bekas benteng, dari 12 lubang yang kami gali didapati 2.700 temuan seperti keramik Tiongkok, gerabah, guci, dan manik-manik," kata dia.

Gauri menilai temuan itu juga menunjukkan peradaban masyarakat Dayak sudah maju sejak awal tahun Masehi.Hal itu disebabkan pembangunan kuta menunjukkan ada kepemimpinan dan pemahaman teknik pertukangan.

"Untuk membuat kuta tentu ada pemimpin dan pekerja dan mereka sudah mengerti teknik pertukangan. Sebab tidak mudah untuk mengangkat kayu ulin setinggi 7 meter lalu diatur berjejer dan berfungsi sebagai pagar (benteng)," ujarnya.] Media Indonesia, (29 Jul 2017).

Bukti lain adanya peradaban Dayak yang tinggi di Kalimantan adalah Kerajaan Nan Saruni. Kerajaan Nan Saruni diperkirakan sudah berdiri sejak jaman prasejarah dan bertahan selama ribuan tahun sebelum ditaklukan oleh kerajaan Majapahit (abad ke-14 M). Kerajaan Nan Sarunai adalah pemerintahan purba yang muncul dan berkembang di wilayah yang sekarang termasuk dalam daerah administratif Provinsi Kalimantan Selatan, tepatnya di antara wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong.

Kerajaan Nan Sarunai didirikan orang-orang Dayak Maanyan, salah satu sub suku Dayak tertua di Nusantara, khususnya di Kalimantan bagian tengah dan selatan. Apakah Nan Sarunai sudah layak disebut kerajaan atau belum memang masih menjadi perdebatan. Namun, yang jelas, pemerintahan di Nan Sarunai berlangsung sangat lama.

Nama Sarunai sendiri dimaknai dengan arti "sangat termasyhur". Penamaan ini bisa jadi mengacu pada kemasyhuran Suku Dayak Maanyan pada masa silam, di mana mereka terkenal sebagai kaum pelaut yang tangguh, bahkan mampu berlayar hingga ke Madagaskar di Afrika.

Sistem pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai pada masa purba belum diketahui dengan pasti. Namun, sebelum kerajaan ini berdiri, terlebih dulu terdapat beberapa komunitas dari Suku Dayak Maanyan yang memiliki pusat kekuasaan masing-masing. Pada suatu ketika, pusat-pusat kekuasaan itu berhasil dipersatukan dalam suatu pusat kekuasaan yang lebih luas. 

Ketika penataan organisasi dalam gabungan komunitas Suku Dayak Maanyan tersebut berhasil dioperasionalkan, meski dengan bentuk yang masih sangat sederhana, maka kemudian terbentuklah sebuah negara suku yang dikenal dengan nama Kerajaan atau Negara Nan Sarunai. Selain itu, pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai dikategorikan sebagai peradaban yang masih primitif. Negara atau kerajaan "primitif" tidak bersifat tirani bagi yang diperintahnya (Georges Balandier, 1986:192). 

Oleh karena itu, sebagai negara "primitif", maka staf administrasi tidak ditemukan dalam struktur pemerintahan Kerajaan Nan Sarunai. Orang-orang Maanyan di Kerajaan Nan Sarunai adalah masyarakat yang homogen. 

Mereka menata kehidupan komunitasnya dengan sangat harmonis sesuai dengan aturan adat yang berisi hukum tradisional, termasuk larangan-larangan dalam hukum adat. Hubungan fundamental di dalam lingkungan Kerajaan Nan Sarunai tercipta berdasarkan genealogis yang disebut ipulaksanai yang berarti ''bersambung usus". 

Dalam konteks sistem kekerabatan di lingkungan Kerajaan Nan Sarunai, ipulaksanai dapat dimaknai sebagai saudara atau kerabat. Dengan demikian, Kerajaan Nan Sarunai lebih cenderung berperan sebagai media untuk kepentingan rakyatnya. Hubungan antar personal di dalam lingkungan Kerajaan Nan Sarunai diikat oleh jalinan kekeluargaan berdasarkan satu keturunan. 

Raja tetap memiliki kekuasaan tertinggi sebagai kepala suku maupun kepala pemerintahan. Otoritas tradisional yang berlaku di lingkungan Kerajaan Nan Sarunai adalah patrikalisme yang pengawasannya berada di tangan seorang individu tertentu yang memiliki kewenangan warisan. 

Pemimpin Kerajaan Nan Sarunai mengendalikan pemerintahan dari sebuah rumah panjang bertipe rumah panggung yang dikenal sebagai Rumah Betang atau Rumah Lamin. Rumah Betang ini tidak lain merupakan istana bagi Raja Nan Sarunai. Rumah Betang mempunyai ciri khusus untuk membedakannya dari rumah-rumah biasa, yakni Rumah Betang tersebut berbentuk tanda plus.

Kehidupan orang-orang Suku Dayak Manyaan di Kerajaan Nan Serunai berlangsung hingga berabad-abad lamanya. Selama kurun waktu ribuan tahun itu, sistem pemerintahan yang berlaku di Kerajaan Nan Sarunai masih dijalankan secara sederhana. Baru pada tahun pada tahun 1309 M, Kerajaan Nan Sarunai dianggap sudah memiliki sistem pemerintahan yang lebih baik ketika dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raden Japutra Layar. 

Pada masa ini, sistem pemerintahan, termasuk dalam hal pemberian gelar kehormatan, di dalam Kerajaan Nan Sarunai sudah terpengaruh tradisi dari Kerajaan Majapahit. Gelar raden diberikan secara khusus hanya untuk seorang raja, sedangkan para bangsawan lainnya memakai gelar patih, uria, damong, pating'i, datu, temenggung, dan sebagainya.

  • Karya Seni dalam peradaban Dayak

Untuk melihat karya seni  dalam peradaban Suku Dayak kita kembali ke jejak kerajaan Nan Sarunai. Ada pendapat yang mengatakan bahwa nama Sarunai berasal dari kata "serunai" yakni alat musik sejenis seruling yang mempunyai tujuh buah lubang. Alat musik ini sering dimainkan orang-orang Suku Dayak Maanyan untuk mengiringi tari-tarian dan nyanyi-nyanyian.

Konon, Raja dan rakyat Kerajaan Nan Sarunai sangat gemar menari dan menyanyi. Sebenarnya istilah lengkapnya adalah Nan Sarunai. Kata "nan" diduga berasal dari bahasa Melayu yang kemudian dalam lidah orang Maanyan dilafalkan hanya dengan ucapan Sarunai saja. Dengan demikian, nama "Nan Sarunai" berarti sebuah kerajaan di mana raja dan rakyatnya gemar bermain musik.

Kegemaran bermain musik pada masyarakat suku Dayak berlangsung hingga hari ini. Musik Sape', tetabuhan (perkusi), yang tidak jarang juga dipadukan sebagai pengiring tari-tarian, merupakan ekspresi budaya masyarakat Dayak yang termashyur hingga sekarang. Musik Sape' dan tarian Dayak, serta keindahan pakaian Dayak dengan ornamen unik sudah mendunia. Karya-karya seni Dayak tersebut sudah menjadi eintitas[2] yang menjadi bagian dari identitas peradaban yang tinggi dari Masyarakat Dayak.

  • Kesimpulan 

Tidak bisa dipungkiri bahwa seni Dayak telah hadir di dalam kebudayan dan perdaban masyarakat Dayak sejak jaman purba. Entitas seni tersebut telah mewarnai, membentuk dan mengembangkan bahkan mampu memberikan identitas yang menunjukkan peradaban Dayak yang tinggi.

Beragamnya komunitas sub-suku Dayak di Kapuas Hulu melahirkan diversitas karya seni, yang masing-masing  sangat unik dan bernilai tinggi. Diversitas itu adalah kekayaan yang tidak ternilai harganya dan karena itu menjadi sebuah kenyataan yang pantas disyukuri. 

Diversitas karya seni yang lahir dari kebudayaan sub-sub suku Dayak di Kapuas Hulu memperlihatkan bahwa kebudayaan masyarakat Dayak di Kapuas Hulu berkembang kreatif, namun tetap berpegang pada nilai-nilai moral yang luhur, kehalusan, keindahan dan keagungannya.

Sampai sekarang masyarakat Dayak mempersembahkan karya-karya seni  Dayak yang merupakan warisan budaya dan harta karun (cultural heritages and treasures) Dayak kepada dunia.  Dengan demikian karya seni  masyarakat Dayak ikut mempengaruhi perkembangan peradaban manusia. 

Dengan kata lain Msyarakat Dayak, melalui karya seninya, hadir sebagai personal yang menjadi "rahmat" bagi bangsa Indonesia dan bahkan bagi dunia. Menjadi identitas peradaban dan rahmat bagi perkembangan peradaban manusia adalah makna tertinggi dari entitas seni dalam budaya dan peradaban Suku Dayak.

  • Tantangan perkembangan seni dalam masyarakat Dayak

Bagaimana entitas kesenian Dayak yang menjadi bagian dari identitas peradaban masyarakat Dayak dapat terus berkembang kreatif membentuk budaya dan peradaban namun tetap berpegang pada nilai-nilai moral yang luhur dengan kehalusan, keindahan dan keagungannya, sangat ditentukan oleh masyarakat Dayak itu sendiri.

Pertanyaan terpenting bagi mayarakat Dayak sekarang adalah apakah dengan keseniannya masyarakat Dayak Kapuas Hulu akan memimpin perkembangan kebudayaan manusia di Kabupaten ini? Atau di Kalbar atau di Indonesia  atau di dunia?

Ada beberapa fakta yang menunjukkan bahwa kesenian Dayak di beberapa Suku (desa/kampung), di Kapuas Hulu seperti kebanyakan suku Iban, Kantuk, Kayan, Taman masih utuh dan berkembang pesat. Kita bangga melihatnya. 

Namun di beberapa  suku entitas kesenian Dayak mulai hilang. Seni musik, tari, bangunan, seni sastra (lisan), seni tutur (batuh, bejandih, bambai, mengkana), corak pakaianan adat, teknik dan motif tenun, ditemukan sudah punah dalam beberapa komunitas masyarakat Dayak. Tidak sedikit orang Dayak yang berusia di bawah 50 tahun yang tidak mengenal kebudayaan Dayak dengan baik.

Tentu saja banyak sekali faktor penyebab hilangnya kesenian Dayak dalam masyarakat Dayak. Kesenian Dayak umumnya berkembang di desa. Dengan meningkatnya urbanisasi antar lain karena mencari pendidikan, membuat kesenian Dayak tertinggal di kampung tanpa pewaris. Masuknya  agama-agama modern serta tata hukum modern membuat tata religi agama asli dan hukum adat dalam beberapa komunitas masyarakat Dayak, di mana kesenian tradisional Dayak biasanya melekat,  menjadi tersingkir atau bahkan dibunuh".

Fakta lain yang memprihatinkan adalah adanya fenomena di beberapa komunitas masyarakat Dayak di Kapuas Hulu sudah tidak ditemukan kesenian Dayak dalam event Gawai Dayak. Yang muncul justru Orgen Tunggal (OGT) dengan musik, lagu dan joget Dangdut. 

Di beberapa komunitas masyarakat Dayak, di saat Gawai Dayak juga tidak ditemukan permainan-permainan atau atraksi kesenian tradisional Dayak, melainkan justru berkembang berbagai bentuk perjudian. Dalam situasi ini jelas terlihat bahwa kebudayaaan Dayak di beberap daerah tadi, sudah tidak memimpin perkembangan kebudayaan, malah sudah menjadi hamba".

  • Penutup dan Rekomendasi

Dari sudut pandang perkembangan kesenian, budaya dan peradaban Dayak, fakta-fakta tersebut di atas sunggguh menjadi keprihatinan serius dalam Masyarakat Dayak sendiri.

Maka adalah tugas bersama masyarakat Dayak, pemerintah dan  lembaga lainnya di Kapuas Hulu untuk memikirkan strategi pengembangan kesenian Dayak. Salah satu strateginya adalah melalu pendirian sanggar seni budaya Dayak, menciptakanatau mmperbanyak event pestival sebi budaya Dayak dan pengembangan yang tidak kalah pentingnya adalah kapasitas bagi para pelaku seni Dayak, terutama komunitas-komunitas pelaku seni Dayak di pedesaan.(sm)

 

[1] C. Kluckhohn. menyebutkan tujuh unsur kebudayaan secara universal yaitu, bahasa, sistem pengetahuan, sistem teknologi dan peralatan, sistem kesenian, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan sistem kekerabatan dan organisasi kemasyarakatan.

[2] Entitas (dalam pengertian umum) adalah sesuatu yang memiliki keberadaan yang unik dan berbeda, walaupun tidak  harus dalam bentuk fisik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun