Mohon tunggu...
Syifa Mufada Khairunnisyah
Syifa Mufada Khairunnisyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Seorang remaja yang senang dengan karya fiksi, puisi, dan imajinasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kunjungan Pertama

28 Mei 2024   20:07 Diperbarui: 28 Mei 2024   20:14 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tadi malam aku melihat kakek mengaji, tapi bukanlah kakek sudah meninggal kemarin? Pertanyaan itu menguasai pikiranku saat ini, kesadaranku bahkan belum penuh terisi. Baru saja aku membuka mata dari mimpi yang panjang, tidakkah pikiran ini terlalu rumit untuk kuteliti.

________________________________

Ribuan kenangan tidak pernah berhenti menayangkan potret masa kecil yang masih terekam utuh di kepala. Rasanya seperti membuka album tua ketika kakiku mulai memasuki pekarangan rumah pria paruh baya yang hidupnya dipenuhi rasa sepi, ia kakekku.

Senang rasanya bisa menghirup udara segar yang dikeluarkan pohon rimbun yang tersusun rapi berkat kerajinan tangan kakek. Di kota, tidak bisa kudapati rasa nyaman ini. Bisingnya suara kendaraan dan janji para petinggi sungguh membuat tubuh merasakan lelah, meski tanpa keringat.

Setelah hampir sepuluh tahun tak kupijakkan kaki ini berkunjung ke desa, akhirnya hari ini aku mendapatkan kesempatan luar biasa. Tidak, ini bukanlah perkara yang harus dijadikan kebahagiaan, mungkin ini akan menjadi duka yang berkepanjangan. Seluruh keluarga besar, baik yang datangnya dari kota ataupun dari desa tetangga, kami berkumpul bersama. Bukan, ini bukan acara keluarga untuk merayakan sesuatu dengan sukacita, mungkin ini akan menjadi perpisahan penuh duka.

Sudah sejak seminggu yang lalu kakek meminta seluruh keluarga bersua. Namun, kami terlalu jahat, kami datang di penghujung minggu. Dengan berbagai alasan, semua orang merasa pinta itu bukanlah suatu hal yang harus didahulukan.

Sampainya aku di sini, rumah kakek terasa begitu hening dan dingin, seperti ada angin yang akan membawa kabar duka. Tubuh kakek lemah tak berdaya, suaranya tak dapat aku dengar, terlampau lirih. Bibirnya mengecap tanpa terbuka lebar. Entah pesan apa yang ingin disampaikan, intinya aku menyesal datang terlambat.

Suara tangis semua orang di rumah ini memecahkan keheningan dan rasa dingin yang sedari tadi menemani kami. Tidak ada rasa yang memenuhi perasaan kami, selain penyesalan. Tubuh kakek yang sepuluh tahun lalu terlihat kuat, kini benar-benar lemah tak berdaya, semuanya berbeda, kecuali senyumannya, masih sama bahkan saat menutup mata.

"Kek, aku baru saja datang. Mengapa tidak menyambutku sambil memeluk seperti sepuluh tahun yang lalu?"

Aku menangis tanpa air mata. Aku tak mampu mengeluarkan air mata karena tenagaku sudah habis dilahap rasa perih yang sedari tadi menguasai hati. Rasa kehilangan ini sungguh terasa seperti luka tajam akibat goresan pisau, bahkan lebih dari itu. Sebanyak apapun aku kehilangan rasa cinta dari seorang wanita, ini yang lebih parah. Bayangkan saja, sepuluh tahun tak kutatap wajah tenangnya, dan sekarang aku hanya bisa melihat wajah pucatnya.

_____________________________________

Hujan turun mengiringi pemakaman, sekaan menjadi pertanda bahwa langit pun merasakan perih akibat kehilangan orang baik di di dunia ini.

Berat rasanya mengingat masa di mana kakek melambaikan tangan setiap aku dan keluargaku kembali ke kota setelah berkunjung ke desa. Dengan senyum hangat dan muka gembira kakek mengantar kami. Haruskah kulakukan hal yang sama saat kakek mulai masuk ke rumah barunya?

Pemakaman selesai, pandanganku tak pernah lepas dari tanah merah itu. Rasanya tak rela melihat pria paruh baya itu harus tidur dengan selimut tanah. Aku tak bisa terlalu lama di sini, segera kulambaikan tanganku sambil tersenyum.

"Selamat tinggal kek, jangan lupa berkunjung jika merindukanku." Lirihku menahan perih. Setelah itu angin berhembus kencang, seakan menyetujui permintaanku.

Nyatanya ini masih berat, kakiku masih ingin menetap di tanah ini, mataku masih ingin menatap tanah ini, tubuhku masih ingin menetap di sini. Apakah kakek sengaja menahanku di sini? Apakah kakek masih rindu padaku? Apakah harus aku menetap di sini?

____________________________________

Hari ini terlalu melelahkan, jika aku tak tahu malu pasti sudah kutumpahkan semua lelah ini lewat makian indah yang akan keluar lewat mulutku ini. Untungnya aku masih waras. Di tempat duka ini aku harus bisa menjaga sikap. Semua orang juga lelah, tetapi otak mereka bisa menang dan mengalahkan rasa egonya.

Semua orang telah datang memenuhi ruangan yang tadi siang dijadikan tempat mengafani kakek. Mereka datang dengan sukarela, bukan untuk mengharapkan isi amplop seperti orang kota. Di malam ini kutemukan fakta yang sebelumnya sudah kuketahui, kakek adalah orang baik. Ini bisa dilihat dari banyaknya orang yang datang untuk mengirim doa.

Selesainya tahlil dan doa dipanjatkan, aku membagikan bungkusan kotak yang berisikan makanan ringan sebagai tanda terima kasih kepada yang hadir dan niat sedekah untuk kakek. Mereka pulang. Lalu, rumah kembali terasa sepi, hanya ada suara serangga kecil dan suara obrolan dari keluarga yang masih menetap.

Aku memilih pergi beristirahat saat paman yang biasa kupanggil A Ridwan mengajakku untuk bergabung bersama sambil menikmati secangkir kopi dan menghisap sebatang rokok di pekarangan rumah kakek. Rasanya tubuhku akan tetap menarik kuat diriku untuk segera pergi ke kasur saat aku ikut bergabung. Lebih-lebih, menikmati kopi sambil berbincang santai saat kondisi seperti ini rasanya tidak pantas untuk menggambarkan keluarga yang sedang berduka.

"Erik pamit istirahat duluan, A. Badannya udah ngga bisa diajak kompromi lagi." Aku terkekeh pelan. Semoga mereka bisa paham.

Kulangkahkan kakiku mencari tempat nyaman untuk berbaring dan menumpahkan rasa lelahku. Di rumah ini, terdapat lima ruangan kamar yang dua di antaranya dijadikan sebagai tempat untuk meletakkan barang yang sudah tidak layak pakai. Langkahku terhenti saat mataku tertuju pada satu kamar, itu kamar kakek. Hatiku seakan menarik tubuhku untuk masuk ke sana, rasanya itu tempat yang nyaman pikirku.

Perlahan, kucoba membuka pintu kamar kakek. Harum semerbak dari bunga melati memenuhi ruangan ini, rasanya menusuk hidung. Bau khas kakek yang sudah lama tak kujumpai ini rasanya sedikit mengobati rinduku padanya.

Kuletakkan tubuhku di kasur, tempat istirahat kakek sebelum pergi ke tanah. Seperti ada magnet yang mengikat, mataku langsung terpejam tanpa kuberi aba-aba.

_________________________________________

Ruangan serba putih ini tampak asing bagiku, seluruh warna ruangannya berwarna putih, tak terkecuali benda dan hiasan dalam ruangannya. Aku termenung tanpa memikirkan apapun. Aku tampak seperti seorang anak yang kehilangan orang tuanya, bingung.

Bersamaan dengan rasa bingung yang tak kumengerti, kulangkahkan kakiku mencari ujung dari ruangan ini. Aneh, semuanya tampak sama, padahal aku sudah berjalan tanpa berhenti sedari tadi. Aku merasa seperti terperangkap dalam jebakan tikus yang dibuat manusia rakus.

Aku memutuskan untuk duduk di salah satu bangku di ruangan ini, tentu saja warnanya putih. Tak lama setelah kutempelkan bokongku di kursi, terdengar sayup suara orang mengaji, suaranya indah walaupun terdengar lemah karena termakan usia.

Suara itu seperti tak asing kudengar. Seperti suara orang yang sudah lama tak kutemui. Namun, sering kudengar lewat ponsel. Suaranya sangat merdu, cara melafalkan lafal indah Alquran sangat apik, tentu suaraku akan kalah jika dibandingkan dengan suaranya.

Aku mencoba menilik lebih dekat ke sumber suara itu berasal. Di sana aku melihat punggung pria berambut putih sedang duduk membelakangiku sambil menunduk seperti orang yang sedang membaca. Lantunan ayat yang sebelumnya kudengar, kini terhenti hingga menyisakan hening kembali. Belum sampai tanganku menepuk pundaknya, ia berdiri dan menghadapku. Bibirnya langsung membentuk lengkungan tipis, senyumnya sangat hangat.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, tangannya langsung meraih pundakku, lalu merangkul hangat tubuhku. Tubuhnya terasa dingin, berbeda dengan senyumannya yang hangat. Ia mengelus pelan punggungku, seolah mengisyaratkan bahwa aku tidak perlu bersedih, semuanya baik-baik saja.

Semakin lama, pelukannya membuat perasaanku tenang. Tubuh dinginnya seakan memberikan energi yang kuat ke dalam jiwaku.

"Kek, Erik rindu kakek." Ia mengangguk, memberi isyarat bahwa dirinya pun mengerti perasaanku.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun