"Erik pamit istirahat duluan, A. Badannya udah ngga bisa diajak kompromi lagi." Aku terkekeh pelan. Semoga mereka bisa paham.
Kulangkahkan kakiku mencari tempat nyaman untuk berbaring dan menumpahkan rasa lelahku. Di rumah ini, terdapat lima ruangan kamar yang dua di antaranya dijadikan sebagai tempat untuk meletakkan barang yang sudah tidak layak pakai. Langkahku terhenti saat mataku tertuju pada satu kamar, itu kamar kakek. Hatiku seakan menarik tubuhku untuk masuk ke sana, rasanya itu tempat yang nyaman pikirku.
Perlahan, kucoba membuka pintu kamar kakek. Harum semerbak dari bunga melati memenuhi ruangan ini, rasanya menusuk hidung. Bau khas kakek yang sudah lama tak kujumpai ini rasanya sedikit mengobati rinduku padanya.
Kuletakkan tubuhku di kasur, tempat istirahat kakek sebelum pergi ke tanah. Seperti ada magnet yang mengikat, mataku langsung terpejam tanpa kuberi aba-aba.
_________________________________________
Ruangan serba putih ini tampak asing bagiku, seluruh warna ruangannya berwarna putih, tak terkecuali benda dan hiasan dalam ruangannya. Aku termenung tanpa memikirkan apapun. Aku tampak seperti seorang anak yang kehilangan orang tuanya, bingung.
Bersamaan dengan rasa bingung yang tak kumengerti, kulangkahkan kakiku mencari ujung dari ruangan ini. Aneh, semuanya tampak sama, padahal aku sudah berjalan tanpa berhenti sedari tadi. Aku merasa seperti terperangkap dalam jebakan tikus yang dibuat manusia rakus.
Aku memutuskan untuk duduk di salah satu bangku di ruangan ini, tentu saja warnanya putih. Tak lama setelah kutempelkan bokongku di kursi, terdengar sayup suara orang mengaji, suaranya indah walaupun terdengar lemah karena termakan usia.
Suara itu seperti tak asing kudengar. Seperti suara orang yang sudah lama tak kutemui. Namun, sering kudengar lewat ponsel. Suaranya sangat merdu, cara melafalkan lafal indah Alquran sangat apik, tentu suaraku akan kalah jika dibandingkan dengan suaranya.
Aku mencoba menilik lebih dekat ke sumber suara itu berasal. Di sana aku melihat punggung pria berambut putih sedang duduk membelakangiku sambil menunduk seperti orang yang sedang membaca. Lantunan ayat yang sebelumnya kudengar, kini terhenti hingga menyisakan hening kembali. Belum sampai tanganku menepuk pundaknya, ia berdiri dan menghadapku. Bibirnya langsung membentuk lengkungan tipis, senyumnya sangat hangat.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, tangannya langsung meraih pundakku, lalu merangkul hangat tubuhku. Tubuhnya terasa dingin, berbeda dengan senyumannya yang hangat. Ia mengelus pelan punggungku, seolah mengisyaratkan bahwa aku tidak perlu bersedih, semuanya baik-baik saja.