Mohon tunggu...
Syifa Mufada Khairunnisyah
Syifa Mufada Khairunnisyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Seorang remaja yang senang dengan karya fiksi, puisi, dan imajinasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kunjungan Pertama

28 Mei 2024   20:07 Diperbarui: 28 Mei 2024   20:14 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

_____________________________________

Hujan turun mengiringi pemakaman, sekaan menjadi pertanda bahwa langit pun merasakan perih akibat kehilangan orang baik di di dunia ini.

Berat rasanya mengingat masa di mana kakek melambaikan tangan setiap aku dan keluargaku kembali ke kota setelah berkunjung ke desa. Dengan senyum hangat dan muka gembira kakek mengantar kami. Haruskah kulakukan hal yang sama saat kakek mulai masuk ke rumah barunya?

Pemakaman selesai, pandanganku tak pernah lepas dari tanah merah itu. Rasanya tak rela melihat pria paruh baya itu harus tidur dengan selimut tanah. Aku tak bisa terlalu lama di sini, segera kulambaikan tanganku sambil tersenyum.

"Selamat tinggal kek, jangan lupa berkunjung jika merindukanku." Lirihku menahan perih. Setelah itu angin berhembus kencang, seakan menyetujui permintaanku.

Nyatanya ini masih berat, kakiku masih ingin menetap di tanah ini, mataku masih ingin menatap tanah ini, tubuhku masih ingin menetap di sini. Apakah kakek sengaja menahanku di sini? Apakah kakek masih rindu padaku? Apakah harus aku menetap di sini?

____________________________________

Hari ini terlalu melelahkan, jika aku tak tahu malu pasti sudah kutumpahkan semua lelah ini lewat makian indah yang akan keluar lewat mulutku ini. Untungnya aku masih waras. Di tempat duka ini aku harus bisa menjaga sikap. Semua orang juga lelah, tetapi otak mereka bisa menang dan mengalahkan rasa egonya.

Semua orang telah datang memenuhi ruangan yang tadi siang dijadikan tempat mengafani kakek. Mereka datang dengan sukarela, bukan untuk mengharapkan isi amplop seperti orang kota. Di malam ini kutemukan fakta yang sebelumnya sudah kuketahui, kakek adalah orang baik. Ini bisa dilihat dari banyaknya orang yang datang untuk mengirim doa.

Selesainya tahlil dan doa dipanjatkan, aku membagikan bungkusan kotak yang berisikan makanan ringan sebagai tanda terima kasih kepada yang hadir dan niat sedekah untuk kakek. Mereka pulang. Lalu, rumah kembali terasa sepi, hanya ada suara serangga kecil dan suara obrolan dari keluarga yang masih menetap.

Aku memilih pergi beristirahat saat paman yang biasa kupanggil A Ridwan mengajakku untuk bergabung bersama sambil menikmati secangkir kopi dan menghisap sebatang rokok di pekarangan rumah kakek. Rasanya tubuhku akan tetap menarik kuat diriku untuk segera pergi ke kasur saat aku ikut bergabung. Lebih-lebih, menikmati kopi sambil berbincang santai saat kondisi seperti ini rasanya tidak pantas untuk menggambarkan keluarga yang sedang berduka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun