Memulihkan raga yang biru dan menjalin komunikasi dengan alam adalah salah satu cara berkelana yang tepat. Merasakan bau alam, suara air mengalir, dan para vokalis hewan yang menyatu membuat penat menjadi hilang.
Saya dan Aza, sangat suka mendaki gunung. Sebagai seorang mahasiswa, gunung adalah tanjakan harta karun. Karena Indonesia adalah surga keanekaragaman hayati, (Maulana R,2024).
Setiap perjalanan yang menyatu dengan alam, kami selalu belajar dan tertarik dengan hewan yang di hutan. Rasanya kurang jika hanya datang dan menikmati tak ada yang bisa dibawa pulang sebagai songkongan ilmu.
Jadi jangan lupa untuk sediakan waktu healing serta belajar di alam. Kali ini kami ingin belajar tentang si Owa Jawa bagai alarm Bumi.
Kami berdua memutuskan mendaki di pagi hari berangkat dari Malang mendaki gunung Slamet, Jawa Timur.
Menopang tas besar adalah hobi kami, di punggung memang berat tapi lebih berat membopong beban hidup, hal ini cukup membuat mood saya sangat meningkat dan pasti jantung saya berdegup kencang seperti jatuh hati.
Setelah sampai di tempat mendaki, kami langsung melakukan pendakian di perjalanan tanjakan antara pos 1 hingga 2, kami sempat kesulitan karena tanah yang licin, sebab hujan baru saja turun. Tapi bau tanah setelah hujan ini lah yang membawa kami lebih ke arah semangat.
Jalur tanjakan di pos 1 dan 2 masih belum menantang, kami juga tidak merasakan haus yang berlebihan karena cuaca yang sejuk.
Tapi begitu mulai menuju pos 3, jalannya mulai susah. Kami harus lebih effort dan memperhatikan trek, sebab salah langkah bisa berbahaya. Untungnya kami sampai di pos 3 dengan selamat.
Kami memutuskan untuk berhenti di pos 3. Saat itu kami mencari tempat dan mencari dimana si setia Owa Jawa berada.
Aza menyiapkan perlengkapan untuk mengambil moment dan saya mengambil kertas dan pensil untuk mencatat dan melukisnya.
Butuh waktu yang lama untuk menemukan Owa Jawa. Hal ini dikarenakan populasinya yang tergolong rendah (hampir punah).
Kami memutuskan untuk duduk di alas hutan menduduki dedaunan kering. Tiba-tiba terdengar suara yang sudah kami tunggu, “Woo-woo-woo-hooo-hoo”, suara merdu Owa Jawa Betina.
Kami berdua bertatapan dan tersenyum lebar, dengan berhati-hati menuju ke arah suara dan membawa perlengkapan tadi.
Di sana kami melihat Induk sang Owa yang memanggil anak dan pasanganya. Keluarga kecil yang sedang berkumpul menyantap makanan di atas pohon yang tinggi.
Terlihat sangat gemas, tapi perasaan cemburu mulai meluncur di sekujur badan. Owa adalah hewan yang paling setia terhadap pasangannya, bisa dibilang mereka hanya bisa dipisahkan oleh maut.
Ketika mengambil gambar Keluarga kecil itu, saya tidak sengaja menginjak ranting tua. Sehingga Owa tersebut langsung mengeluarkan suara yang bersaut-sautan dan berpindah tempat secara lincah dan cepat. Karena mereka merasa terancam dan diganggu habitatnya, jelas mereka berlaku seperti itu.
Maka dari itu penyamaran untuk mengambil gambar dan video kawan hutan (Owa Jawa) harus berhati-hati dan sunyi.
Akhirnya kami kembali ketempat awal, dan memutuskan melanjutkan pendakian ke pos 4. Suasana semakin panas dan gerah, di perjalanan kami bertemu dengan sekelompok pendaki lain yang juga tertarik dengan pemotretan kawan hutan.
Perjalanan semakin seru karena kali ini kami tidak hanya berdua, tapi ditemani Zuhri dan Rio. Mereka juga cukup membantu di perjalanan untuk melintasi trek.
Sampai di pos ke 4, saya mulai membagi tugas dengan Aza yaitu untuk memenuhi pasokan air, kami untuk pendakian selanjutnya.
Lalu kami melanjutkan perjalanan ke pos 5 untuk membangun tenda dengan rombongan Zuhri.
Kami melihat banyak tumbuhan yang lebat dan subur, bahkan dari awal pendakian. Hal ini juga karena ada nya Owa Jawa.
Mereka sangat menyayangi tempat tinggal mereka, Owa Jawa bagaikan tukang kebun. Mereka menebar benih dan pupuk lewat fesesnya. Tidak heran jika hutan tumbuh dengan subur dan lebat.
(Maulana R, 2024), mengatakan bahwa dahulu binatang sangat dihormati, disegani, bahkan diberi gelar seperti “datuk”.
Konsep “hutan larangan” adalah bala dari hutan akibat menebang pohon dan memburu hewan secara ilegal. Namun sangat disayangkan banyak masyarakat yang haus oleh lembar uang dan nafsunya, tanpa berpikir panjang.
Tidak heran jika keluarga Owa Jawa mulai punah, mereka diburu dengan keji dan kehilangan tempat pasokan makanan dan habitatnya yang mereka jaga.
Setelah sampai di pos 5, kami semua membangun tenda. Zuhri dengan inisiatifnya membantu saya untuk membangun tenda. Lalu kami berkumpul di depan tenda sambil menyeduh kopi. Saat itu kami mulai dengan berdiskusi panjang mengenai banyak hal.
Rasanya menyenangkan, saya juga menceritakan waktu emas kami ketika bertemu keluarga Owa Jawa itu. Di sana Rio menunjukan pada kami, Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia.
Kami sepakat untuk berlanjut berteman untuk menceritakan kisah kami dan Owa Jawa serta mendukung untuk peduli pada satwa yang hampir punah.
Di tengah perbincangan yang panjang, saya ingat perkataan Zuhri yang melekat ketika kita membahas tentang hubungan antara manusia, hewan, dan tanaman.
Zuhri mengatakan, “Semua orang pasti menyukai hal yang indah, tapi tidak semua orang bisa menjaga keindahan”.
Melihat bagaimana keadaan sekitar yang sudah berubah, mereka banyak menghancurkan apa yang dibuat untuk mereka. Seringnya terjadi longsor dan banjir karena serakahnya mereka.
Apalagi punahnya si gemas Owa Jawa, mereka adalah makhluk yang merasa dihantui tanpa memiliki kesalahan. Anak Owa yang direnggut dari sang induk dengan cara dibunuh oleh manusia, hanya demi keinginannya.
Apa yang mereka ambil dari Bumi adalah satu peran ekosistem penting untuk Bumi. Maka berfikirlah sebelum bertindak.
Setelah berbincang kami tidur lebih awal untuk melanjutkan perjalanan di dini hari memburu sunrise.
Esok harinya, kami langsung mengemasi tempat tenda dan membersihkan area tenda kami. Saya dan Aza juga tidak lupa untuk menyiapkan kamera dan alat tulis. Karena kami ingin mengambil momen.
Mulailah kami mendaki dari pos 5 menuju pos 6. Di sana jalan mulai sangat menantang, kami para perempuan cukup sulit untuk melewati trek 6.
Tapi kami tidak putus asa untuk momen matahari terbit ini. Kami juga memutuskan untuk tidak mengambil istirahat, setelah dari pos 6 kami langsung melanjutkan ke pos 7. Tempat dimana sunrise terlihat jelas.
Ketika kaki saya mulai menapak ke puncak atau pos 7 saya merasakan hangat sinar matahari dari timur.
Dengan pemandangan yang menakjubkan, saya dan teman-teman tersenyum lebar. Hangat mentari ini seperti, perjuangan kami mencapai ke puncak.
Di situlah kami disambut dengan suara Owa Jawa, mereka bersahutan terdengar seakan menyampaikan bahwa waktu sudah menunjukan pagi hari. Kami sangat terharu mengingat perjuangan kami mencapai di puncak.
Setelah menikmati mentari yang terbit, kami turun ke bawah. Kami kembali pergi untuk mencari sekawan Owa Jawa untuk berpamitan.
Rasanya takut, kami takut kelak Owa akan hilang masuk ke lingkaran hitam yang diciptakan oleh manusia yang rakus.
Si lucu Owa Jawa mereka memang bagaikan alarm Bumi. Bukan hanya sebagai nada penanda pagi hari atau sebuah ancaman. Mereka juga sebagai satwa yang bisa membangunkan Bumi yang tertidur. Mereka bagai emas di dalam hutan.
Perjalanan yang singkat ini memuat banyak pembelajaran untuk kami. Bahwa yang indah akan selamanya ada jika dirawat. Satwa yang dianggap remeh bisa jadi mereka yang menyelamatkan Bumi ini kelak. Jangan sampai menjadi manusia yang tidak mau melihat dan menutup mata kepada alam. Kita dan mereka diciptakan untuk tumbuh di waktu yang berjalan dan saling membutuhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H