Menurut Habib Luthfi bin Yahya, di antara generasi wali yang datang untuk berdakwah di Indonesia terdapat banyak nama habaib, di antaranya: Sayyidina Imam Quthub Syarif bin Abdullah Wonobodro, Sayyid Ibrahim, Sunan Gribig, Sayyid Jalal Tuban, Syeikh Datuk Kahfi/Dzatul Kahfi/Sayyid Mahdi Cirebon, Sayyid Abdul Jalil (Sunan Bagus Jeporo).[3]
Di Afghanistan tidak kurang dari 3 juta jumlah habaib. Dan di negara yang sering dilanda perang dan sampai sekarang masih berkecamuk, para habaib sangat berperan dalam mendamaikan pihak-pihak yang berseteru. Karena para habaib di Afganistan sering melayani masyarakat maka mereka mendapatkan kehormatan khusus di tengah masyarakat.
Pada dekade abad kedua sampai kelima Hijriah di Barat Afrika, berdiri pemerintahan yang bernama Idarasah atau Idrisiyyun dan Fathimiyyun yang satu bernasab Hasani (terhubung nasabnya dengan Sayidina Hasan) dan yang lain Husaini (terhubung nasabnya dengan Sayidini Husain).Â
Sampai sekarang keturunan mereka tetap ada di sana dan dikenal dengan sebutan "syarif" (orang mulia) meskipun pemerintahannya sudah tumbang. Raja Hasan di Maroko adalah salah satu keturunan Nabi saw. Perlu dicatat juga bahwa Fathimiyyun di Mesir memerintah kurang lebih duaratus (200) tahun dan banyak keturunan Nabi saw tersebar dari mereka di Mesir. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Sayyid Barzanji, Syarif Hussen Yordania, termasuk deretan habaib.
Bani Abbas yang cukup lama  memerintah di dunia Islam sekitar lima ratus (500) tahun adalah para habaib. Dan banyak dari keturunan Bani Abbas yang hidup di pelbagai negara Islam. Di Lebanon pun banyak ditemukan habaib.  Sementara itu, di Maroko lebih terdapat dari satu (1) juta habaib yang mereka dijuluki dengan sebutan Idrisi dan 'Alawi.
Menurut Ustad Asad Syahab, di Indonesia, kebanyakan habaib berasal dari keturunan Rasulullah saw yang berasal Hadromaut dari Sayyid Uraidi Husaini yang hijrah ke Indonesia. Sebagian habaib keturunan 'Uraidhi menjabat di pemerintahan Oman.
Hasan Assegaf, penulis produktif yang tinggal di Yordania adalah seorang Habib. Dan salah satu keluarga habaib Ahlu Sunnah adalah keluarga Alusi. Bisyir al-Hafi seorang wali besar di Irak berguru dan taubat di tangan Sayidina Musa bin Jakfar al-Kazhim dan Raja Abdullah Yordania adalah Habaib dari keturunan Sayidina Hasan.Â
Dan Sayyid 'Alawi Maliki di Mekkah yang banyak habaib dan para kyai dan ajengan di Indonesia menjadi muridnya dan mengidolakannya, penulis kitab "Mafahim Yajibu an Tushahhah" adalah juga seorang habib.Â
Habib Umar bin Hafizh, ulama asal Yaman adalah idola masa kini kaum Muslimin di Indonesia. Guru-guru (syekh-syekh/masyayikh) thariqah sufi di Mesir kebanyakan dari kalangan habaib. Abbas Mahmud 'Aqqad, penulis kondang Mesir adalah seorang Sayyid. Shadiq al-Mahdi, perdana menteri Sudan mengklaim  bahwa dirinya adalah keturunan Nabi saw. Sementara itu di India, keluargan Panteh semuanya dari keturunan Nabi saw, seperti keluarga Abul A'la Maududi. Sayyid Abdullah Bukhari yang merupakan Imam Jumat Dihli termasuk habib.
Persoalan yang mengemuka dan masih banyak yang gagal paham  adalah apakah takzim dan takrim (penghormatan) kepada mereka habaib termasuk syiar Islami atau pengkultusan atau perbudakan spiritual (mendewa-dewakan keturunan Nabi saw)?Â
Apakah memang ada jejak rekam perintah Al-Qur'an untuk memuliakan mereka sebagai keturunan Nabi saw atau Al-Qur'an justru menegaskan penafian dzurriyah/nasab dan semua di mata Allah sama (tidak ada keutamaan orang Arab atas orang ajam/non-Arab) dan yang membedakan satu sama lain hanya aspek ketakwaannya? Apakah habaib itu---sebagaimana kedudukan sebagai manusia---memiliki karamah dzatiyyah (kemulian inheren) sebagai habib, sehingga yang berdosa pun tetap harus dimuliakan semata karena nasabnya?