Sayyid Zen menyatakan bahwa banyak keturunan Sayidina Hasan  yang menjadi raja atau presiden di Maroko, Jordania, dan kawasan Timur Tengah. Pertama kali ulama-ulama dari Yaman atau Hadramaut masuk ke Indonesia di beberapa daerah. Karena adanya akulturasi budaya, sebutan sayyid di Aceh berubah menjadi Said, di Sumatra Barat menjadi Sidi dan lain sebagainya.
Habib Zen mengemukakan bahwa tidak gampang mengaku sebagai habib karena ada berbagai persyaratan, di antaranya: harus memiliki ilmu yang luas dan mengamalkannya, ikhlas, wara dan bertakwa kepada Allah. Dan yang paling penting adalah akhlak yang baik. Sebab, bagaimanapun keteladanan akan dilihat orang lain. Seseorang akan menjadi habib atau dicintai orang kalau mempunyai keteladanan yang baik dalam tingkah lakunya. Demikian Habib Zen.[1]
Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, ada barisan habaib yang memberikan kontribusi signifikan, di antaranya:
1. Al Habib Ali Al Habsyi (lahir di Jakarta 20 April 1870). Beliau merupakan salah satu yang berperan dalam kemerdekaan dalam penentu hari dan waktu proklamasi.
2. Al Habib Idrus Al Jufri
Ulama yang lahir di Tarim, Yaman, 15 Maret 1892 M ini memiliki peran penting dalam kemerdekaan sebagai pengagas bendera pusaka Merah Putih.
3. Al Habib Syarif Sultan Abdul Hamid II
Sultan Abdul Hamid II yang lahir di Pontianak, 12 Juli 1913 M merupakan tokoh bangsa yang sangat berjasa dalam kemerdekaan. Beliau merancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila dan menjadi peserta Konferensi Meja Bundar saat Belanda akhirnya mengakui kedaulatan negara Republik Indonesia.
4. Al Habib Husein Muthahar
Beliau lahir di Semarang, 5 Agustus 1916 M Â dan dikenal sebagai bapak Pramuka Indonesia dan pencipta Lagu Kebangsaan, yakni Hymne Syukur, Mars Hari Merdera, Dirgahayu Indonesia dan 17 Agustus.
Beliau menerima gelar kehormatan negara bintang Mahaputera atas jasanya menyelamatkan bendera pusaka Merah Putih dan juga memiliki bintang gerilya atas jasanya ikut berperang gerilya pada tahun 1948 hingga 1949.[2]