Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... Mahasiswa - @paji_hajju

Membaca akan membantumu menemukan dirimu.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Selamat Tahun Baru, Tapi Apa Yang Baru?"

1 Januari 2025   17:56 Diperbarui: 1 Januari 2025   17:56 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semoga tahun ini membawa harapan baru, kebahagiaan, dan banyak pencapaian indah | sumber foto: pinterest/Aaammm

"Selamat Tahun Baru, Tapi Apa Yang Baru?"

Selamat tahun baru! Saatnya mengenakan pakaian baru dan berharap kehidupan kita juga mengalami perubahan. Namun, apakah ada yang lebih ironis daripada merayakan sesuatu yang tidak lebih baik dari sebelumnya? Seakan kita semua sepakat untuk mengabaikan kenyataan demi euforia sesaat.

Tahun baru seharusnya menjadi waktu untuk refleksi, bukan sekadar perayaan. Namun, alih-alih merenung, banyak dari kita lebih memilih untuk merayakan dengan pesta. Seolah-olah, suara petasan bisa menutupi suara hati yang bertanya, "Apa yang sudah saya capai tahun ini?"

Ternyata, bukan hanya pakaian yang bisa usang; ideologi dan pandangan hidup pun bisa. Namun, alih-alih mengganti isi, kita lebih memilih untuk mengganti penampilan. Seperti mengganti baju kotor, tetapi tetap dengan jiwa yang sama.

Mungkin kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: jika jiwa kita masih kotor, apa gunanya pakaian baru? Kita semua tahu, menyembunyikan kebusukan dengan penampilan yang menarik hanya akan menarik perhatian untuk sementara. Keterpurukan jiwa memerlukan lebih dari sekadar kosmetik.

Sungguh menyedihkan, ketika kita tidak bisa mencium aroma busuk dari ideologi yang kita anut. Seolah-olah, kita terjebak dalam kebohongan manis yang membuat kita merasa aman, padahal sebenarnya kita sedang berlayar menuju kehampaan.

Dalam konteks ini, Nietzsche mungkin memiliki kebenaran. Burung dalam sangkar yang merasa bisa terbang adalah sebuah penyimpangan, tidak menyadari bahwa kebebasannya adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Sayangnya, banyak dari kita lebih memilih untuk terkurung dalam zona nyaman daripada menjelajahi kebebasan yang sesungguhnya.

Ada kenyamanan dalam kegelapan, dan banyak yang merasa lebih baik tidak melihat cahaya. Kita bisa menghindari tanggung jawab dengan alasan "tradisi." Namun, tradisi yang tidak membawa kebaikan hanyalah jalan menuju kebodohan kolektif.

Jalaludin Rumi dan Friedrich Nietzsche memiliki pandangan yang sangat berbeda mengenai konsep dan makna tahun baru, yang mencerminkan filosofi dan spiritualitas masing-masing.

Jalaludin Rumi

Rumi, seorang penyair dan sufi, melihat tahun baru sebagai simbol transformasi spiritual dan kesempatan untuk memulai kembali. Dalam banyak karyanya, ia menekankan pentingnya mengubah diri, memperdalam hubungan dengan Tuhan, dan mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Tahun baru bagi Rumi adalah waktu untuk refleksi, introspeksi, dan penemuan kembali cinta serta tujuan hidup.

Friedrich Nietzsche

Di sisi lain, Nietzsche, seorang filsuf yang dikenal dengan ide-ide tentang nihilisme dan "kematian Tuhan," memandang tahun baru dengan sikap yang lebih skeptis. Ia mungkin melihatnya sebagai kesempatan untuk menantang nilai-nilai yang ada dan mendorong individu untuk menciptakan makna mereka sendiri. Nietzsche mengedepankan konsep "bermensch" atau manusia super, yang berusaha melampaui batasan moral dan sosial yang ada. Dalam pandangannya, tahun baru bisa menjadi simbol kebangkitan kekuatan individu dalam menghadapi absurditas kehidupan.

Jadi, Rumi menekankan spiritualitas dan pembaruan jiwa, sementara Nietzsche lebih fokus pada penciptaan makna dan kekuatan individu. Keduanya mengajak kita untuk merenungkan perjalanan hidup kita, tetapi dari sudut pandang yang sangat berbeda.

Mengapa kita sering menilai buku dari kovernya? Karena itu lebih mudah. Dalam dunia yang serba cepat ini, kita cenderung lebih memperhatikan penampilan daripada menggali isi. Ironisnya, banyak orang merayakan tahun baru dengan harapan baru, tetapi masih terjebak dalam cara berpikir yang usang.

Kita semua tahu bahwa mengambil duri akan berujung pada luka. Namun, lebih menyedihkan lagi ketika kita memilih untuk membiarkan duri dan kotoran itu tetap ada. Kita lebih suka mengabaikannya dan merayakan kebohongan daripada menghadapi kenyataan yang pahit.

Tentu saja, busana memiliki tempatnya. Namun, apakah kita lebih menghargai busana daripada esensi yang kita bawa? Apakah kita lebih fokus pada penampilan daripada nilai-nilai moral kita? Ini adalah pertanyaan yang seharusnya kita renungkan di awal tahun baru.

Mungkin kita perlu ingat bahwa mengganti busana tidak akan mengubah siapa diri kita yang sebenarnya. Mengapa kita begitu terobsesi dengan penampilan luar, sementara isi diri kita bisa saja kering dan tandus?

Perayaan tahun baru sering kali berujung pada kesia-siaan. Alih-alih mengisi diri dengan pemikiran baru, kita lebih suka mengisi perut dengan makanan dan minuman. Tidakkah kita seharusnya berisi lebih dari sekadar makanan?

Apa sebenarnya harapan baru jika kita tidak berani mengubah diri? Merayakan tahun baru dengan harapan semu hanyalah ilusi yang membuat kita merasa lebih baik, padahal di dalam hati kita tahu bahwa tidak ada yang berubah.

Kualitas pemikiran menentukan kualitas ideologi kita. Namun, ketika kita tidak mau merenung dan mengevaluasi, bagaimana kita bisa berharap untuk memiliki ideologi yang kuat? Kita terjebak dalam kebodohan kolektif yang terus menerus berulang.

Apakah busana kita mencerminkan nilai yang kita anut? Atau apakah kita hanya berusaha tampil menarik di hadapan orang lain? Kita perlu kembali ke inti dan menilai diri kita berdasarkan nilai-nilai, bukan sekadar penampilan.

Kesadaran adalah langkah pertama menuju kebangkitan. Namun, banyak dari kita lebih memilih untuk tetap terjebak dalam tidur panjang, enggan menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Tidakkah kita merasa lelah dengan ilusi yang kita ciptakan sendiri?

Saat tahun baru tiba, kita dihadapkan pada dua pilihan: merayakan atau meratapi apa yang telah hilang. Namun, keduanya seharusnya tidak saling meniadakan. Kita bisa merayakan perubahan yang positif sambil merasakan kesedihan atas kehilangan yang menyakitkan.

Pada akhirnya, tahun baru seharusnya menjadi waktu untuk refleksi. Bukankah lebih baik jika kita menyambut tahun baru dengan niat untuk menjadi lebih baik, bukan hanya dengan busana baru? Mari kita isi tahun baru dengan makna, bukan sekadar perayaan yang hampa.

Paji Hajju

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun