Rumi, seorang penyair dan sufi, melihat tahun baru sebagai simbol transformasi spiritual dan kesempatan untuk memulai kembali. Dalam banyak karyanya, ia menekankan pentingnya mengubah diri, memperdalam hubungan dengan Tuhan, dan mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Tahun baru bagi Rumi adalah waktu untuk refleksi, introspeksi, dan penemuan kembali cinta serta tujuan hidup.
Friedrich Nietzsche
Di sisi lain, Nietzsche, seorang filsuf yang dikenal dengan ide-ide tentang nihilisme dan "kematian Tuhan," memandang tahun baru dengan sikap yang lebih skeptis. Ia mungkin melihatnya sebagai kesempatan untuk menantang nilai-nilai yang ada dan mendorong individu untuk menciptakan makna mereka sendiri. Nietzsche mengedepankan konsep "bermensch" atau manusia super, yang berusaha melampaui batasan moral dan sosial yang ada. Dalam pandangannya, tahun baru bisa menjadi simbol kebangkitan kekuatan individu dalam menghadapi absurditas kehidupan.
Jadi, Rumi menekankan spiritualitas dan pembaruan jiwa, sementara Nietzsche lebih fokus pada penciptaan makna dan kekuatan individu. Keduanya mengajak kita untuk merenungkan perjalanan hidup kita, tetapi dari sudut pandang yang sangat berbeda.
Mengapa kita sering menilai buku dari kovernya? Karena itu lebih mudah. Dalam dunia yang serba cepat ini, kita cenderung lebih memperhatikan penampilan daripada menggali isi. Ironisnya, banyak orang merayakan tahun baru dengan harapan baru, tetapi masih terjebak dalam cara berpikir yang usang.
Kita semua tahu bahwa mengambil duri akan berujung pada luka. Namun, lebih menyedihkan lagi ketika kita memilih untuk membiarkan duri dan kotoran itu tetap ada. Kita lebih suka mengabaikannya dan merayakan kebohongan daripada menghadapi kenyataan yang pahit.
Tentu saja, busana memiliki tempatnya. Namun, apakah kita lebih menghargai busana daripada esensi yang kita bawa? Apakah kita lebih fokus pada penampilan daripada nilai-nilai moral kita? Ini adalah pertanyaan yang seharusnya kita renungkan di awal tahun baru.
Mungkin kita perlu ingat bahwa mengganti busana tidak akan mengubah siapa diri kita yang sebenarnya. Mengapa kita begitu terobsesi dengan penampilan luar, sementara isi diri kita bisa saja kering dan tandus?
Perayaan tahun baru sering kali berujung pada kesia-siaan. Alih-alih mengisi diri dengan pemikiran baru, kita lebih suka mengisi perut dengan makanan dan minuman. Tidakkah kita seharusnya berisi lebih dari sekadar makanan?
Apa sebenarnya harapan baru jika kita tidak berani mengubah diri? Merayakan tahun baru dengan harapan semu hanyalah ilusi yang membuat kita merasa lebih baik, padahal di dalam hati kita tahu bahwa tidak ada yang berubah.
Kualitas pemikiran menentukan kualitas ideologi kita. Namun, ketika kita tidak mau merenung dan mengevaluasi, bagaimana kita bisa berharap untuk memiliki ideologi yang kuat? Kita terjebak dalam kebodohan kolektif yang terus menerus berulang.