"Selamat Tahun Baru, Tapi Apa Yang Baru?"
Selamat tahun baru! Saatnya mengenakan pakaian baru dan berharap kehidupan kita juga mengalami perubahan. Namun, apakah ada yang lebih ironis daripada merayakan sesuatu yang tidak lebih baik dari sebelumnya? Seakan kita semua sepakat untuk mengabaikan kenyataan demi euforia sesaat.
Tahun baru seharusnya menjadi waktu untuk refleksi, bukan sekadar perayaan. Namun, alih-alih merenung, banyak dari kita lebih memilih untuk merayakan dengan pesta. Seolah-olah, suara petasan bisa menutupi suara hati yang bertanya, "Apa yang sudah saya capai tahun ini?"
Ternyata, bukan hanya pakaian yang bisa usang; ideologi dan pandangan hidup pun bisa. Namun, alih-alih mengganti isi, kita lebih memilih untuk mengganti penampilan. Seperti mengganti baju kotor, tetapi tetap dengan jiwa yang sama.
Mungkin kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: jika jiwa kita masih kotor, apa gunanya pakaian baru? Kita semua tahu, menyembunyikan kebusukan dengan penampilan yang menarik hanya akan menarik perhatian untuk sementara. Keterpurukan jiwa memerlukan lebih dari sekadar kosmetik.
Sungguh menyedihkan, ketika kita tidak bisa mencium aroma busuk dari ideologi yang kita anut. Seolah-olah, kita terjebak dalam kebohongan manis yang membuat kita merasa aman, padahal sebenarnya kita sedang berlayar menuju kehampaan.
Dalam konteks ini, Nietzsche mungkin memiliki kebenaran. Burung dalam sangkar yang merasa bisa terbang adalah sebuah penyimpangan, tidak menyadari bahwa kebebasannya adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Sayangnya, banyak dari kita lebih memilih untuk terkurung dalam zona nyaman daripada menjelajahi kebebasan yang sesungguhnya.
Ada kenyamanan dalam kegelapan, dan banyak yang merasa lebih baik tidak melihat cahaya. Kita bisa menghindari tanggung jawab dengan alasan "tradisi." Namun, tradisi yang tidak membawa kebaikan hanyalah jalan menuju kebodohan kolektif.
Jalaludin Rumi dan Friedrich Nietzsche memiliki pandangan yang sangat berbeda mengenai konsep dan makna tahun baru, yang mencerminkan filosofi dan spiritualitas masing-masing.
Jalaludin Rumi