Mentari pagi itu, dengan sombong menyeringai seperti hendak menelan seluruh hamparan bumi yang disinarinya. Tak ada sedikit mendung pun yang berani menghalangi sang raja angkasa itu. Sehingga dengan bebasnya, menerobos rimbun dedaunan di sepanjang jalan.
Kesibukan kota kaum cendekia pagi itu sungguh sumringah. Anak-anak dengan seragam merah putih atau biru, berebut depan dengan sepeda mini mereka. Tak peduli badan basah berkeringat, mereka gembira. Mungkin sesampainya di sekolah baru mereka akan merasa kelelahan dan kipas-kipas, kemudian ngantuk saat guru mendiktekan angka-angka. Mereka satu-satunya kelompok masyarakat kota ini yang tidak pernah menilai serius persoalan. Saat orang dewasa berpikir keras tentang bertahan hidup dalam kondisi yang menjepit, mereka masih saja riang bermain.
Saat pukul 10.30 WIB, banyak mahasiswa sudah berkumpul di Tugu Peringatan. Perempatan Tugu Peringatan ini memang sangat strategis untuk mengumpulkan banyak orang dari segala penjuru. Selain karena letaknya di tengah-tengah kota, juga karena area yang cukup luas. Jika tengah perempatan itu penuh, kira-kira bisa menampung hampir seribu orang. Beberapa rombongan telah bergabung, perbedaan seragam dan bendera sepertinya sudah tak jadi soal. Karena mereka memiliki satu kepentingan, semua perbedaan itu bisa ditanggalkan sejenak.
Beberapa orang yang sepertinya pimpinan masing-masing kelompok berkumpul.
"Kita tunggu sebentar lagi, rombongan dari utara masih dalam perjalanan."
"Berapa jumlah mereka?"
"Kemarin, korlapnya menyatakan siap membawa seratus orang."
"Baiklah. Kalau begitu sudah cukup kuat. Begitu mereka sampai, kita langsung koordinasi dan mulai aksinya."
***
Tiga orang di pinggir jalan ujung perempatan tengah asik memperhatikan para demonstran yang sedang mempersiapkan diri. Kehadiran mereka sangat wajar, sehingga tidak begitu menarik perhatian. Tapi dengan seksama, mereka tengah memperhitungkan gerakan massa yang kini mulai menggelumbung di tengah perempatan Tugu Peringatan itu.
"Wah, mereka kayaknya merencanakan untuk melakukan longmarch. Kita harus mengikutinya" Panji masih bersantai.
"Iya, padahal jika tetap di sini, itu lebih mempermudah kita untuk mendapat keuntungan." Sawung menyahut sepontan. Meski ada ketidak senangan, tapi dia agaknya tidak begitu mempermasalahkan.
"Ya, apa boleh buat, itu sudah resiko pekerjaan kita." Panji membetulkan letak topinya, yang jika hanya sekilas dilihat, sulit bagi orang untuk langsung mengenali wajahnya.
"Apapunlah! Demi anak istri di rumah, kita memang harus pandai-pndai memanfaatkan keadaan." Seno menyahut, kemudian mengisap dalam-dalam rokok kreteknya.
***
Di angkringan pojok pasar Gede, dua orang dengan penampilan sederhana tengah menikmati jahe hangat.
"Besok senin, akan ada demo besar-besaran, katanya gabungan kampus-kampus di kota ini." Sambil menghirup wedang jahenya, orang bertopi yang baru datang membagi informasi.
"Wah bagus itu, tapi dari mana kamu dapat info ini? Jangan-jangan kayak kemarin itu. Ternyata yang demo cuman dikit. Gak ada greget. Aku jadi rugi." Teman ngobrolnya yang datang lebih awal mencoba memastikan.
"Jangan khawatir. Untuk info yang satu ini, aku jamin valid. Kemarin aku dengar langsung dari anak kos dekat rumahku yang seorang aktivis." Dengan gaya yang mantap, orang bertopi menjelaskan.
"Okelah. Kamu memang pantas jadi intel. Kita bisa persiapkan lebih matang kalau begini."
"Ha..ha.. untuk urusan seperti ini, polisi rahasia itu jelas kalah jeli dibanding dengan kita. Jangan lupa, kamu sekalian kasih tahu Seno besok untuk ikut."
"Ok. Beres!"
Setelah puas berkelakar tentang untung rugi yang sering mereka peroleh, dan juga tentang beberapa trik rahasia, orang yang bertopi minta pamit terlebih dahulu. Penjaga warung angkringan yang setengah ngantuk, terkaget saat seorang pelanggannya hendak membayar. Setelah membayar, orang itu langsung pergi dengan sangat biasa. Tidak ada orang akan curiga sedikitpun, bahwa ternyata dia menyimpan rencana tertentu. Dia langsung menuju rumah, mempersiapkan amunisi untuk besok.
***
"Wah, Ji, kali ini infomu sangat akurat. Hari ini kita pasti bisa untung besar."
"Tapi sayang No, mereka bukan demonstran bayaran."
"Iya, masak kita tega memanfaatkan mereka. "
"Ya, apa boleh buat. Ini sudah menjadi kerjaan kita. Tapi mungkin kali ini, memang jangan terlalu kejam." Panji dengan memakai topi, bergaya seorang pemimpin komplotan pengintai, memberikan beberapa instruksi teknis.
"Ingat! Kita harus jaga jarak. Saat mereka jalan, jangan sampai terlalu dekat. Kita mengikuti saja dari belakang seperti biasanya." Seno dan Sawung hanya tersenyum dan mengangguk paham. Kemudian mereka bertiga mulai mendekat ke tengah perempatan. Sawung lewat sebelah barat, Seno dari timur, sedangkan Panji Sang Pimpinan dari arah utara. Dengan profesional mereka mendekat tanpa menimbulkan kecugiaan sama sekali.
Sementara itu, rombongan dari utara yang sejak tadi ditunggu telah sampai. Dengan seragam biru-biru, mereka cukup dominan. Jumlah mereka paling banyak diantara warna-warna yang ada. Beberapa orang berkumpul dan berkoordinasi. Setelah ada kesepakatan, mereka mulai dengan berorasi. Tema sentral demo kali ini adalah menolak kenaikan harga minyak.
Hampir di semua kota terjadi demonstrasi. Apalagi di ibu kota. Hampir setiap hari ada saja demonstrasi yang dilakukan. Dari persoalan kritis seperti melambungnya harga minyak, sampai pada persoalan-persoalan sektarian seperti masalah hasil pilkada, atau karena partai barunya tidak masuk kualifikasi kontestan pemilu tahun depan. Ada demonstrasi yang murni karena kepentingan umum, ada yang ikut demo karena dibayar. Untuk membedakan ini, Panji, Sawung dan Seno sangat paham dan dengan mudah mereka bisa membedakannya. Terutama dari sepanduk dan seragam atau keaktifan peserta demo. Dan kelompok manapun yang berdemo, mereka selalu diuntungkan.
Tidak lama, demosntrasi di perempatan Tugu Peringatan itu dimulai. Seorang orator naik ke badan Tugu Peringatan yang agak tinggi, sehingga dia tampak dari kejauhan menyembul ditengah kerumunan. Megafon yang dipegang erat di tangan kirinya, nyaring memenuhi angkasa. Suaranya merasuk dalam sendi darah muda demonstran yang masih hangat. Perlahan darah muda itu seperti telah terbakar, suara yang keluar dari megaphone sudah tidak lagi kritik terhadap pemerintah, tapi sebaris hujatan kasar. Emosi massa sudah mulai memanas.
***
Demonstran mulai bergerak longmarch menuju kantor dewan. Mereka akan menemui ketua dewan untuk menyampaikan aspirasi penolakan mereka. Selama perjalanan, mereka berbaris rapi di separo badan jalan. Di kedua sisi, mereka dibatasi dengan tali untuk mengantisipasi adanya penyusup yang masuk. Sepanjang jalan mereka meneriakkan yel-yel perlawanan, kritik keras kepada pemerintah atas ketidak becusannya melayani rakyat. Puas berteriak-teriak mereka mulai menyanyikan lagu perlawanan.
"....
Mereka dirampas haknya
tergusur dan lapar
bunda relakan darah juang kami
tuk membebaskan rakyat
...."
Orang-orang sepanjang jalan, hanya berdiri menonton. Seperti tengah menonton karnaval tahunan memperingati hari besar kemerdekaan. Mereka kadang terlihat senyum-senyum, ada juga yang tidak peduli, seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak jarang juga ada yang memperhatikan dengan serius wacana yang disampaikan para mahasiswa itu.
Sementara anak-anak, seperti biasa, tidak pernah menganggap serius semua persoalan. Mereka ikut jalan disamping rombongan demonstran dan serta merta meniru, meneriakkan yel-yel dan hujatan-hujatan yang terus berulang ualang, sambil berjingkrak-jingkrak gembira.
"Turunkan Harga BBM!!"
"Tolak Penjualan Aset-Aset Publik!!"
"Pemerintah Banci!!"
Sebagian demonstran juga membagi-bagi kertas selebaran berisi tuntutan mereka kepada pemerintah. Orang-orang yang kebetulan berpapasan dengan senang hati menerima. Entah karena memang ingin tahu tuntutan demonstran, atau takut dikeroyok jika menolak. Takut dikira tidak pro-demokrasi.
Sementara itu, rombongan Panji dengan setia mengikuti para demonstran. Keikutsertaan mereka tidak begitu menarik perhatian. Sehingga tidak ada yang curiga.
***
"Gila. Kenapa terlalu cepat rusuhnya!"
"Wah kita bisa rugi kalau gini."
"Sudahlah. Mending kita menghindar dulu. Jangan kita juga jadi korban."
"Tapi amunisi kita belum habis."
"Mau ikut mampus apa kamu."
Panji bersama Sawung dan Seno melengser pergi, menjauh dari area depan kantor Dewan yang telah kacau balau. Telah terjadi aksi saling lempar batu antara mahasiswa dan aparat.
Mahasiswa memaksa masuk ke halaman kantor dewan karena tidak ada satu anggota dewanpun yang mau keluar menemui mereka. Saat negosiasi untuk perwakialn mahasiswa masuk ditolak, tiba-tiba dari tengah demosntran beberapa telur busuk beterbangan dan beberapa mengenai aparat yang mengamankan kantor dewan dengan membuat blokade.
Lemparan semakin banyak. Bukan hanya telur yang dilempar, tomat dan buah pace busuk ikut dilemparkan. Lama-lama ada beberapa batu yang juga ikut melayang. Dalam kondiisi yang rusuh, sudah sulit untuk mengetahui dari mana lemparan itu muncul. Saat aparat mulai terbakar emosinya, mereka segera maju dan melakukan langkah represi untuk membubarkan massa. Pukulan pentungan dan beberapa batu yang dilemparkan kembali ke arah demonstran, membuat barisan demontrasi kocar-kacir menyelematkan diri.
***
Kesokan harinya. Tiga orang yang sedang asik di warung makan sederhana dekat batas kota. Panji, Sawung dan Seno tengah asik sarapan.
"Sudah baca koran hari ini?" Panji dengan pelan menghisap rokok setelah selesai makan.
"Kenapa?" Sawung menyahut pendek.
"Kasihan juga para mahasiswa itu. Padahal mereka menyuarakan keresahan masyarakat. Tapi justru diberitakan sebagai rombongan liar yang suka berbuat anarkis." Panji menyeruput teh hangat yang tinggal separo.
"Terus yang mestinya disalahkan siapa? Polisinya?" Sawung masih menanggapi dengan malas.
"Ya bukanlah. Yang  jelas salah itu ya yang menaikkan harga minyak itu. Ditambah lagi, para anggota dewan yang sok terhormat itu, ga mau menemui para demonstran, jan juga..." Dengan gaya seperti orator, Panji mengacung-acungkan rokoknya ke depan dan ke belakang. Tapi sebelum selesai dia bicara, Seno yang sejak tadi diam saja memotong cepat.
"Halah. Kalian itu. Sok nyalahkan orang. Tapi kalian suka kan kalo tiap hari pemerintah bikin salah, dan tiap hari orang berdemo?"
"Ha..ha..ha.. betul juga." Panji dan Sawung kompak tertawa.
Mereka tertawa bersama-sama. Meski terasa satir, toh kesusahan hidup mereka selalu bisa ditertawakan. Setelah selesai sarapan, mereka bersama-sama menuju perempatan Tugu Peringatan. Mereka seperti biasa membawa gerobak masing-masing. Panji, sebagai pimpinan  rombongan membawa gerobak berisi berbagai jenis minuman ringan, sementara Sawung membawa gerobak berisi kacang, kedelai, jagung dan juga ketela rebus. Sedangkan Seno membawa gerobak berisi jamu tradisional beras kencur dan kunir asem yang sudah siap saji. Tentu saja juga menyediakan es serut sebagai penyegar.
Kabarnya siang ini akan ada demo besar lagi. Masih tetap sama, menetang kenaikan harga BBM. Panji dan kawan-kawannya telah bersiap dengan amunisi masing-masing, untuk menyusup dalam rombongan demonstran. Dalam hati mereka tidak lupa berdoa, semoga demo kali ini tidak rusuh seperti kemarin, sehingga mereka bisa untung besar. Jogja, Juni 2008
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H