"Iya, padahal jika tetap di sini, itu lebih mempermudah kita untuk mendapat keuntungan." Sawung menyahut sepontan. Meski ada ketidak senangan, tapi dia agaknya tidak begitu mempermasalahkan.
"Ya, apa boleh buat, itu sudah resiko pekerjaan kita." Panji membetulkan letak topinya, yang jika hanya sekilas dilihat, sulit bagi orang untuk langsung mengenali wajahnya.
"Apapunlah! Demi anak istri di rumah, kita memang harus pandai-pndai memanfaatkan keadaan." Seno menyahut, kemudian mengisap dalam-dalam rokok kreteknya.
***
Di angkringan pojok pasar Gede, dua orang dengan penampilan sederhana tengah menikmati jahe hangat.
"Besok senin, akan ada demo besar-besaran, katanya gabungan kampus-kampus di kota ini." Sambil menghirup wedang jahenya, orang bertopi yang baru datang membagi informasi.
"Wah bagus itu, tapi dari mana kamu dapat info ini? Jangan-jangan kayak kemarin itu. Ternyata yang demo cuman dikit. Gak ada greget. Aku jadi rugi." Teman ngobrolnya yang datang lebih awal mencoba memastikan.
"Jangan khawatir. Untuk info yang satu ini, aku jamin valid. Kemarin aku dengar langsung dari anak kos dekat rumahku yang seorang aktivis." Dengan gaya yang mantap, orang bertopi menjelaskan.
"Okelah. Kamu memang pantas jadi intel. Kita bisa persiapkan lebih matang kalau begini."
"Ha..ha.. untuk urusan seperti ini, polisi rahasia itu jelas kalah jeli dibanding dengan kita. Jangan lupa, kamu sekalian kasih tahu Seno besok untuk ikut."
"Ok. Beres!"