Gerimis siang tadi, memberikan nuansa yang sangat berbeda. Dedaunan yang tadinya berdebu, kembali hijau mengkilat seakan tersenyum gembira. Udara segar dan suasana yang sejuk, menjadi agak aneh ditengah musim kemarau yang kering. Desa kami seperti mendapat berkah. Karena ini tidak biasa terjadi. Sudah tiga bulan lebih hujan tidak turun. Semua orang sepakat menyatakan, ini adalah berkah dari acara pengajian yang akan dilaksanakan nanti malam.
Anak-anak bermain riang berlarian diantara orang-orang dewasa yang tengah mempersiapkan panggung di tengah lapangan desa. Mereka sangat gembira, karena nanti malam akan ada banyak orang berkumpul, dan tentu juga karena akan ada banyak makanan yang dibagi-bagikan.
Pemuda dan pemudi di desa kami ikut sibuk membantu membuat hiasan dekorasi panggung. Seminggu sebelumnya, mereka juga telah berlatih shalawatan untuk bisa tampil nanti malam. Sementara ibu-ibu, berkumpul di rumah pak Slamet, untuk mempersiapkan konsumsi. Ada yang memasak nasi, lauk atau sayur. Sementara di serambi ada yang mempersiapkan makanan ringan yang akan dibagikan kepada seluruh jamaah.
Pengajian ini sudah rutin dilaksanakan tiap setahun sekali. Dan untuk melaksanakannya kami tidak perlu biaya yang besar, karena semua persiapan ditanggung seluruh warga. Ada yang menyumbang beras, ada yang menyediakan telur, atau ayam mereka. Ada yang menyediakan jasa penerangan dan juga panggung, semuanya tanpa mereka hargai lagi dengan uang. Bagi yang tidak bisa memberikan apapun, mereka dengan suka rela secara aktif membantu dengan tenaganya.
Menjelang magrib, semua persiapan telah selesai. Panggung sudah berdiri lengkap dengan berbagai hiasan dekorasinya. Sound system telah di cek dan mulai menyuarakan lagu-lagu kasidah gambus yang sangat familiar. Sementara anak-anak sudah berpenampilan rapih. Memakai sarung dan peci, dengan baju yang terbaik. Sepertinya merekalah yang paling semangat dan gembira menyambut pengajian ini. Dengan riang mereka memenuhi panggung, dan menabuh terbang yang disiapkan untuk tampil nanti malam, mengikuti lagu kasidah gambus yang mengalun merdu.
Sementara itu, mentari mulai turun di balik bukit. Semburat mega merah dan beberapa awan yang tersisa tidak ikut turun tadi siang, menjadikan sore itu semakin memerah dan meriah. Semuanya gembira.
***
Seperti biasa, aku mendapat tugas untuk menjemput Kiai Ilyas Musyafa. Ini sudah menjadi tugasku sejak pertama kali pengajian ini diadakan empat tahun lalu. Setelah jamaah shalat maghrib, aku segera turun menuju Pesantren Riyadlotul Qulub di Wonokromo. Sebuah kawasan santri yang cukup terkenal. Kiai Ilyas Musyafa adalah Kiai sepuh yang sangat dihormati, tetapi beliau sangat ramah terhadap semua tamunya. Beliau tidak pernah menolak untuk mengisi pengajian di manapun. Dan selama empat kali kami minta beliau ceramah, Kiai Ilyas dengan senang hati selalu hadir.
Aku memilih jalan turun memotong agar lebih cepat. Tapi aku harus berhati-hati, karena hujan tadi siang belum sepenuhnya kering. Batu-batu yang tak tertata dan licin sangat menyulitkan motorku untuk bisa melaju dengan cepat.
Aku sampai di Pesantren Riyadlotul Qulub, tepat setelah jamaah di masjid pesantren selesai. Setelah shalat isya, aku langsung menuju kediaman Kyai Ilyas yang berada di kompleks pesantren tersebut. Sesaat aku ragu, karena bagitu banyak santri tengah berkumpul di pendopo rumah Kiai Ilyas. Mereka tengah bertadarus Al Qur'an bersama. Akupun mecoba untuk masuk dan bertanya kepada salah satu santri yang duduk paling luar.
"Maaf, Pak Kiai Ilyas ada?"
"O, Kiai sedang sakit. Makanya kita berkumpul di sini mendoakan beliau."
"Lho tiga hari yang lalu beliau masih sehat."
"Iya. baru tadi pagi, beliau tiba-tiba tidak sadarkan diri setelah mengimami shalat subuh."
"Beliau sakit apa?"
"Entahlah, dokter juga tidak tahu apa sakit beliau."
"O..." Seperti orang linglung aku diam. Dan santri itu melanjutkan tadarusnya.
Aku bingung. Tak tahu harus bagaimana. Tiga hari yang lalu, aku bersama dengan Amin, langsung menemui beliau, dan beliau menyatakan sanggup. Sehingga tidak ada santri atau pengurus yang tahu, bahwa Kiai Ilyas harus mengisi pengajian di desa kami. Apa aku harus pulang tanpa bersama pak Kiai? Aku terduduk beberapa saat. Aku tidak sanggup membayangkan orang-orang di desaku akan sangat kecewa dengan ketidak hadiran Kiai Ilyas.
Acara pengajian itu adalah satu-satunya waktu kami untuk bersama sama istirahat sejenak dalam segala kesibukan dunia. Ibu-ibu yang telah repot memasak banyak makanan, para pemuda dan pemudi yang sudah lama latihan, dan juga semua usaha bapak-bapak mendirikan panggung dan tobong di tengah lapangan, tentu mereka semua akan sangat sangat kecewa. Semua persiapan itu hanya untuk mengadakan pengajian tahunan ini. Jika Kiai gagal hadir, ah, aku tidak bisa membayangkan dalam kebingunganku itu.
Suara para santri yang bertadarus bersama, seperti membawaku larut masuk pada suatu dimensi asing. Dimana hanya aku sendiri, tengah menunggu seseorang di tengah jalan sepi yang membelah hamparan sawah hijau membentang. Hanya dengung suara langit yang melantunkan ayat-ayat suci. Sementara aku duduk di sebuah bonggol pohon asem tua. Berharap seseorang yang kutunggu tidak segera datang, karena kurasakan betapa indahnya suasana itu.
***
"Maaf, Masnya ini mau ada perlu apa dengan pak Kiai." Santri yang tadi aku tanyai tiba-tiba membawaku kembali dalam kenyataan. Ternyata para santri sudah selesai bertadarus, hanya tinggal beberapa santri dan pengurus yang masih ada di pendopo itu.
"Ah, Anu..." Aku menjawab agak tergagap.
"Kemarin, tiga hari yang lalu, saya ketemu pak Kiai, dan meminta beliau mengisi pengajian di desa kami. Desa Pancoran."
"O.., kalau begitu, biar digantikan Gus Mul saja. Beliau yang selalu menggantikan Kiai jika berhalangan. Beliau adalah santri senior di sini, sekaligus kadang juga ikut mengajar." Santri itu memberikan tawaran yang sebenarnya akan segera kuminta.
"Ya, kalau tidak keberatan tidak apa-apa. Kami berterimakasih sekali." Kemudian santri itu masuk ke dalam. Sesaat kemudian santri itu kembali bersama seseorang yang tampaknya masih cukup muda, berpakain putih dan bersarung hijau. Kira-kira dia seumuran denganku, tapi wajahnya sangat berwibawa.
"Saya Salman." Kuacungkan kedua tanganku sambil membungkuk untuk bersalaman.
"Saya Maulana." Orang yang dikenal dengan Gus Mul itu, menyambut hangat kedua tanganku juga dengan membungkuk.
"Jam berapa acaranya, Mas?" Gus Mul langsung menanggapi ramah. Seperti Kiai Ilyas, beliau sangat santun.
"Sekitar jam delapanan Gus" Aku mencoba untuk akrab.
"Kalau begitu, berarti kita sudah terlambat. Ayo segera berangkat." Aku kaget. Rupanya sekarang sudah hampir jam delapan. Ternyata tadi aku tidak sadar sudah terlalu lama menunggu.
"Tapi, apakah saya boleh bertemu sebentar dengan Kiai?" Aku ingin memberikan salam dan doa langsung kepada kiai agar lekas sehat. Kulihat Gus Mul agak ragu.
"Oh, ya. Monggo, silahkan." Kami berdua kemudian masuk ke bilik dalam. Kulihat Kiai Ilyas tengah tertidur di atas ranjangnya. Kuraih tangannya dan kucium sebagai tanda hormatku.
"Ya, Allah, berilah kesehatan kepada hamba-Mu yang sholeh ini." Aku berdoa dalam hati, mewakili segenap warga di kampungku.
Karena waktu sudah malam, Kami segera bersiap berangkat. Gus Mul keluar menuju tempat tinggalnya, sebentar kemudian datang kembali dengan mengenakan jaket kulit hitam yang menutupi baju putihnya, dan tetap mengenakan kain sarung hijaunya. Setelah berpamitan kepada beberapa santri di pendopo, kami berdua berangkat.
Perlu waktu sekitar satu jam untuk sampai di desa kami. Aku memilih jalan memutar. Meski agak jauh, tapi saat ini, jalan itu satu-satunya yang memungkinkan untuk dilewati berdua dengan satu kendaraan. Aku tidak berani mengambil jalan memotong, karena rupanya saat berangkatpun aku sudah merasa kerepotan. Meski memutar, tetap saja jalannya menanjak dan masih berbatu, sehingga aku harus ekstra hati-hati.
***
Desaku berada di atas bukit batu ujung Kabupaten Bantul. Disebut Pancoran, karena dari sela batu-batu besar, sepanjang tahun selalu mengalirkan air segar. Hanya jika musim kemarau, alirannya tidak begitu deras, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan warga.
Handphone tidak akan banyak membantu di kampung kami, karena hanya bisa untuk main game saja. Jika mau menelepon atau sms, mesti turun ke perbatasan desa, atau justru naik mendekati perbatasan Kabupaten Gunung Kidul. Televisipun hanya beberapa saluran saja yang bisa masuk, itu juga dengan kualitas gambar yang menperihatinkan.
Mungkin warga kami akan frustasi dan banyak mengeluh, tetapi kehadiran Kiai Ilyas, meski hanya setahun sekali, mampu memberikan harapan-harapan yang menghidupkan gairah warga. Harapan yang akan mudah sekali pupus jika tidak segera disegarakan kembali. Harapan akan masa yang dijanjikan. Semoga, kehadiran Gus Mul bisa benar-benar mewakili Kiai Ilyas.
***
"Masih lama mas?"
"Ehm, sekitar lima belas menit lagi." Tampaknya, Gus Mul agak kurang nyaman. Beberapa kali beliau aku minta turun dari motor, karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan. Meskipun kami sudah terlambat, tetapi aku tidak boleh tergesa-gesa.
Ketika sudah hampir sampai, suara musik Gambus mulai terdengar sayup-sayup. Semakin dekat, suara dari sound system acara pengajian semakin jelas. Tapi aneh, acara tampaknya sudah dimulai. Terdengar suara MC memberikan sambutan pembukaan, diikuti bacaan tilawah ayat Al Qur'an. Apakah sudah ada Kiai penggantinya? Pikirku tak mengerti.
Sesampainya di lokasi, Pak Lurah sedang memberikan sambutan. Para warga sudah berkumpul, duduk rapih di atas tikar menghadap panggung. Beberapa pejabat desa dan tokoh masyarakat tampak duduk di barisan paling depan. Aku segera memarkir motorku di sudut lapangan, bersama motor-motor yang lain. Aku bersama Gus Mul langsung menuju depan panggung. Tapi baru akan beranjak, aku berpapasan dengan Amin, temanku.
"Kemana saja kamu? Pak Kiainya malah disuruh datang sendiri" Dia nyerocos menyambutku dan Gus Mul.
"Apa?" Aku bertanya tak mengerti.
"Lha ini siapa?" Amin seperti tidak menghiraukan pertanyaanku, dan langsung menyalami Gus Mul, sambil menyebutkan namanya.
"Saya Amin."
"Saya Maulana." Gus Mul membalas singkat.
"Apa sudah ada Kiai penggantinya, Min? aku kembali menanyakan ketidakmengertianku.
"Pengganti? Pengganti apa? Itu pak Kiai Ilyas sendiri." Kini Amin yang tampaknya agak bingung.
"Bukankah, Kiai Ilyas sedang sakit?" Tanpa menunggu jawaban dari Amin, aku langsung berjalan ke depan panggung bersama Gus Mul.
Tapi sebelum sampai di depan, seseorang berpakaian serba putih, dengan memakai sorban yang dikenakan di kepalanya, berdiri dan berjalan menuju atas panggung. Suara gemuruh Shalawat badar dari kaum muda mudi menyambut dan mengiringinya. Sesaat setelah orang itu berdiri tegak di depan mikrofon, gema shalawat itupun berhenti.
Aku dan Gus Mul terduduk diantara para jamaah. Kami setengah tidak percaya. Orang itu benar-benar Pak Kiai Ilyas Musyafa. Beliau tampak segar bugar dalam wajahnya yang menua, ditandai dengan jenggotnya yang mulai memutih.
Ternyata beliau sudah sampai sini sejak jam delapan, tepat saat aku dan Gus Mul berangkat dari Pesantren Riyadlotul Qulub.
__________
Imogiri, 22 Juni 2008
(Persembahan untuk masyarakat Pancoran, Selo Pamioro, Imogiri, Bantul)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H