"Ah, Anu..." Aku menjawab agak tergagap.
"Kemarin, tiga hari yang lalu, saya ketemu pak Kiai, dan meminta beliau mengisi pengajian di desa kami. Desa Pancoran."
"O.., kalau begitu, biar digantikan Gus Mul saja. Beliau yang selalu menggantikan Kiai jika berhalangan. Beliau adalah santri senior di sini, sekaligus kadang juga ikut mengajar." Santri itu memberikan tawaran yang sebenarnya akan segera kuminta.
"Ya, kalau tidak keberatan tidak apa-apa. Kami berterimakasih sekali." Kemudian santri itu masuk ke dalam. Sesaat kemudian santri itu kembali bersama seseorang yang tampaknya masih cukup muda, berpakain putih dan bersarung hijau. Kira-kira dia seumuran denganku, tapi wajahnya sangat berwibawa.
"Saya Salman." Kuacungkan kedua tanganku sambil membungkuk untuk bersalaman.
"Saya Maulana." Orang yang dikenal dengan Gus Mul itu, menyambut hangat kedua tanganku juga dengan membungkuk.
"Jam berapa acaranya, Mas?" Gus Mul langsung menanggapi ramah. Seperti Kiai Ilyas, beliau sangat santun.
"Sekitar jam delapanan Gus" Aku mencoba untuk akrab.
"Kalau begitu, berarti kita sudah terlambat. Ayo segera berangkat." Aku kaget. Rupanya sekarang sudah hampir jam delapan. Ternyata tadi aku tidak sadar sudah terlalu lama menunggu.
"Tapi, apakah saya boleh bertemu sebentar dengan Kiai?" Aku ingin memberikan salam dan doa langsung kepada kiai agar lekas sehat. Kulihat Gus Mul agak ragu.
"Oh, ya. Monggo, silahkan." Kami berdua kemudian masuk ke bilik dalam. Kulihat Kiai Ilyas tengah tertidur di atas ranjangnya. Kuraih tangannya dan kucium sebagai tanda hormatku.