"O, Kiai sedang sakit. Makanya kita berkumpul di sini mendoakan beliau."
"Lho tiga hari yang lalu beliau masih sehat."
"Iya. baru tadi pagi, beliau tiba-tiba tidak sadarkan diri setelah mengimami shalat subuh."
"Beliau sakit apa?"
"Entahlah, dokter juga tidak tahu apa sakit beliau."
"O..." Seperti orang linglung aku diam. Dan santri itu melanjutkan tadarusnya.
Aku bingung. Tak tahu harus bagaimana. Tiga hari yang lalu, aku bersama dengan Amin, langsung menemui beliau, dan beliau menyatakan sanggup. Sehingga tidak ada santri atau pengurus yang tahu, bahwa Kiai Ilyas harus mengisi pengajian di desa kami. Apa aku harus pulang tanpa bersama pak Kiai? Aku terduduk beberapa saat. Aku tidak sanggup membayangkan orang-orang di desaku akan sangat kecewa dengan ketidak hadiran Kiai Ilyas.
Acara pengajian itu adalah satu-satunya waktu kami untuk bersama sama istirahat sejenak dalam segala kesibukan dunia. Ibu-ibu yang telah repot memasak banyak makanan, para pemuda dan pemudi yang sudah lama latihan, dan juga semua usaha bapak-bapak mendirikan panggung dan tobong di tengah lapangan, tentu mereka semua akan sangat sangat kecewa. Semua persiapan itu hanya untuk mengadakan pengajian tahunan ini. Jika Kiai gagal hadir, ah, aku tidak bisa membayangkan dalam kebingunganku itu.
Suara para santri yang bertadarus bersama, seperti membawaku larut masuk pada suatu dimensi asing. Dimana hanya aku sendiri, tengah menunggu seseorang di tengah jalan sepi yang membelah hamparan sawah hijau membentang. Hanya dengung suara langit yang melantunkan ayat-ayat suci. Sementara aku duduk di sebuah bonggol pohon asem tua. Berharap seseorang yang kutunggu tidak segera datang, karena kurasakan betapa indahnya suasana itu.
***
"Maaf, Masnya ini mau ada perlu apa dengan pak Kiai." Santri yang tadi aku tanyai tiba-tiba membawaku kembali dalam kenyataan. Ternyata para santri sudah selesai bertadarus, hanya tinggal beberapa santri dan pengurus yang masih ada di pendopo itu.