Sesampainya di lokasi, Pak Lurah sedang memberikan sambutan. Para warga sudah berkumpul, duduk rapih di atas tikar menghadap panggung. Beberapa pejabat desa dan tokoh masyarakat tampak duduk di barisan paling depan. Aku segera memarkir motorku di sudut lapangan, bersama motor-motor yang lain. Aku bersama Gus Mul langsung menuju depan panggung. Tapi baru akan beranjak, aku berpapasan dengan Amin, temanku.
"Kemana saja kamu? Pak Kiainya malah disuruh datang sendiri" Dia nyerocos menyambutku dan Gus Mul.
"Apa?" Aku bertanya tak mengerti.
"Lha ini siapa?" Amin seperti tidak menghiraukan pertanyaanku, dan langsung menyalami Gus Mul, sambil menyebutkan namanya.
"Saya Amin."
"Saya Maulana." Gus Mul membalas singkat.
"Apa sudah ada Kiai penggantinya, Min? aku kembali menanyakan ketidakmengertianku.
"Pengganti? Pengganti apa? Itu pak Kiai Ilyas sendiri." Kini Amin yang tampaknya agak bingung.
"Bukankah, Kiai Ilyas sedang sakit?" Tanpa menunggu jawaban dari Amin, aku langsung berjalan ke depan panggung bersama Gus Mul.
Tapi sebelum sampai di depan, seseorang berpakaian serba putih, dengan memakai sorban yang dikenakan di kepalanya, berdiri dan berjalan menuju atas panggung. Suara gemuruh Shalawat badar dari kaum muda mudi menyambut dan mengiringinya. Sesaat setelah orang itu berdiri tegak di depan mikrofon, gema shalawat itupun berhenti.
Aku dan Gus Mul terduduk diantara para jamaah. Kami setengah tidak percaya. Orang itu benar-benar Pak Kiai Ilyas Musyafa. Beliau tampak segar bugar dalam wajahnya yang menua, ditandai dengan jenggotnya yang mulai memutih.