Siapa orang yang gak sedih “ditinggal” ibunya?
Siapa yang menganggap biasa saja ketika ibu yang telah mendidik dan membesarkanya meninggal dunia? Pasti sedih, pasti gundah. Sungguh, rasa sedih itu sangat manusiawi.
Ketika ibu kita meninggal dunia?
Jangankan berpikir tentang belum mampunya kita, sebagai anak, untuk membalas jasa-jasanya. Sama sekali ini bukan soal “balas jasa”. Karena memang jasa ibu atau orang tua tidak mungkin dapat dibalas oleh anaknya. Sehebat, sesukses apapun seorang anak. Sama sekali gak mungkin mampu membalas jasa ibu, jasa orang tua. Sungguh, gak bakal mampu bahkan gak sebanding.
Adalah benar adanya. SURGA ITU ADA DI TELAPAK KAKI IBU.
Kalau saja kita tahu. Siapa sosok yang paling gigih memperjuangkan mimpi anak-anaknya? Siapa sosok yang paling jempolan menjadikan anak-anak seperti sekarang? Siapa sosok yang paling punya kasih sayang melebihi batas langit dan bumi ?
Semua jawabnya IBU. Maka tidak salah IBU disebut 3 kali. IBU, IBU, dan IBU, baru kemudian AYAH.
Itulah IBU.
Sosok yang sudi dia tetap lapar sementara kita kenyang.
Sosok yang rela dia tetap kehausan, sementara kita puas minum.
Maka tak ada air mata terakhir untuk Ibu. Jangan ada air mata terakhir untuk Ibu.
Ibu kita boleh “pergi” menghadap Ilahi Rabbi. Ibu kita boleh “tiada” dan terbujur di liang lahat. Tapi sungguh, itu bukan tanda “air mata terakhir” untuk IBU.
Inilah keadaan yang saya rasakan sekarang.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Telah berpulang ke rahmatullah Ibu Taty Raenawati binti Raenan pada Kamis, 1 Juni 2017 (6 Ramadhan 1438H) pukul 15.14 WIB saat adzan Ashar. Di hari ke-6 bulan puasa tahun 2017 ini, di usia yang ke-69 tahun. Insya Allah, almarhumah meninggal dunia dalam keadaan husnul khotimah, dalam keadaan diampuni dosa dan salahnya. Karena memang di bulan Ramadhan, di bulan yang penuh maghfirah dan barokah dari Allah SWT, amiin.
Hari itu, saat Ibu meninggal dunia.
Tumpah memang air mata saya tatkala melihat jenazah Ibu di ruang tamu rumah. Pecah, bak ombak memecah lautan. Menyaksikan sosok perempuan senja terbujur kaku di atas dipan. Berselimutkan kain, bertudungkan songket putih di muka. Sepertinya hendak berkata, “Anak-anakku, Ibu pergi duluan ya menghadap Allah” …
Memang semua sudah menjadi takdir Allah SWT. Tapi, tak akan ada air mata terakhir untuk Ibu.
Hari itu, saat Ibu meninggal dunia.
Hawa sore hari jelang berbuka puasa seakan mendung. Adem seperti dedaunan yang tersapu angin sepoi-sepoi. Ketika jenazah Ibu terbaring, ditemani lantunan surat Yasin para petakziyah. Ketika jenazah, menatap bisu tangis dan derai air mata anak-anak, kerabat dan handai taulan. Terselip selembar kertas bertuliskan nama Ibu, usia dan waktu meninggal dunia. Dalam keheningan doa, seakan ada suara yang berkata, “Inilah akhir perjuangan Ibu melawan sakit selama 20 tahun lamanya. Semoga Allah ridho dan mengampuni semua dosa dan kesalahannnya semasa hidupnya” …
Isak tangis pun masih berlanjut. Namun, tak akan ada air mata terakhir untuk Ibu.
Hari itu, saat Ibu meninggal dunia.
Ibu masih memberi pelajaran berharga pada anak-anaknya. IBU MEMULAI SAKITNYA DI MASJID. DAN IBU BERANGKAT KE KUBUR PUN DARI MASJID. Tepatnya 20 tahun lalu, Desember 1997, Ibu mengalami serangan stroke pertama kali dan tersandar di dinding tembok Masjid Darul Ulum KPAD Cibubur. Sakit itu dimulai di sini. Lalu sehari setelah wafat, Jumat 2 Juni 2017, jenazah Ibu Taty Raenawaty binti Raenan kembali bersemayam di Masjid Darul Ulum KPAD Cibubur untuk disholatkan seusai Sholat Jumat. Lalu, berangkat menuju tempat peristirahatan terakhir di TPU Munjul dari Masjid. Dalam balutan keranda jenazah dan berselimutkan kain hijau, seakan kami ingin berkata, “TERIMA KASIH IBU atas semua didikan dan restumu. Selamat Jalan IBU, semoga husnul khotimah menaungi Ibu di sisi Allah” ….
Derai air mata pun lagi-lagi jatuh … Akan tetapi, tak akan ada air mata terakhir untuk Ibu.
TAK AKAN ADA AIR MATA TERAKHIR UNTUK IBU.
Kami boleh kehilangan Ibu. Kami boleh melepas kepergian Ibu. Tapi kami puas, telah membopong jenazah Ibu sebelum dimandikan, sebelum dikafani. Kami terus berusaha tegar dan tabah. Bahkan sebagai wujud penghormatan terakhir kepada beliau. Kami, ke-3 anak laki-laki Ibu Taty Raenawaty binti Raenan, semuanya terjun ke liang lahat ke dalam kubur untuk menyempurnakan proses “menguburkan ibunda tercinta”, meng-azani dan meng-iqomati sesudah tali kain kafan dilepaskan. Semoga Ibu tenang di alam kubur. Kami, anak-anaknya seakan ingin berkata, “Maafkan kami Ibu. Semoga aroma tanah kubur ini menjauhkan Ibu dari siksa kubur dan Allah selalu menerangi cahaya-Nya” …
IBU, IBU, IBU. IBU MEMANG SUDAH PERGI, SUDAH TIADA.
TAPI TAK AKAN ADA AIR MATA TERAKHIR UNTUK IBU. KARENA HARI INI, IBU BUKAN LAGI RAGA. TAPI IBU ADALAH JIWA KAMI.
MEMANG MUDAH UNTUK MENANGIS KARENA IBU. TAPI TAK ADA TANGISAN TANPA KASIH SAYANG DAN RIDHO IBU KEPADA ANAK-ANAKNYA.
TAK AKAN ADA AIR MATA TERAKHIR UNTUK IBU.
Karena Ibu memang bukan wanita berpendidikan. Bukan pula wanita karier. Ia hanya ibu rumah tangga biasa. Tapi perjuangan dan ketulusan untuk anak dan keluarganya sama hebatnya dengan ketegaran dirinya menjalani sakitnya yang hampir 20 tahun. Ibu yang selalu tegar menerima takdir Allah, Ibu yang selalu ikhlas dalam ujian dan cobaan hidup. Ibu yang selalu menjadi “pelajaran” hingga umur menemui ajal.
Ibu Taty Raenawaty binti Raenan, wanita sederhana yang telah dijemput ajal di usia 69 tahun. Sosok Ibu yang masih saja memberi pelajaran hidup kepada anak-anaknya. Hidup yang tetap berbuat baik dan menyanyangi keluarga sebelum sakitnya tiba. Hidup yang sabar menerima realitas hidup sebelum masalah tiba. Hidup yang harus punya ‘arah” sebelum berjalan di rimba raya kehidupan dunia yang sementara. Ibu yang SEDERHANA tapi BERMAKNA.
TAK AKAN ADA AIR MATA TERAKHIR UNTUK IBU.
Ibu Taty Raenawaty binti Raenan adalah “universitas kehidupan” yang paling hebat bagi kami. Sosok pembuka jalan dan restu bagi ke-4 anaknya, sekaligus sosok istri yang selalu menguatkan suaminya. Dia, Ibu kami. Dan akan selalu tercatat dalam “Guiness Book of Hati Nurani”. Sosok Ibu yang membelajarkan kami akan arti penting sebuah perjuangan, sebuah ketulusan, dan sikap rela menerima kenyataan hidup. Dialah Ibu, guru kami yang telah terbenam dalam kubur ber-aroma tanah basah ...
Kami memang masih menangis. Karena belum bisa berbuat yang terbaik untuk Ibu. Karena tidak mampu merawat selama sakitnya.
Tapi kami tegaskan, tak akan ada air mata terakhir untuk Ibu. Karena IBU selalu ABADI DI SANUBARI.
Ibu adalah “Guiness Book of Hati Nurani”. Ingin sekali saya sematkan lencana itu.
Untuk Ibu yang hanya tahu memberi kasih sayang tanpa perlu diberi.
Untuk Ibu yang hanya bisa melayani anak-anaknya tanpa perlu dilayani.
Untuk Ibu yang hanya mampu menguatkan tanpa ingin dikuatkan.
Untuk Ibu, istri seorang tentara yang jarang sekali diajak makan ke restoran apalagi rekreasi. Ibu yang tidak cengeng, tidak keluh-kesah. Dari pagi subuh ke siang, dari sore ke malam, Ibu yang hanya tahu melayani anak-anaknya.
Ibu adalah “Guiness Book of Hati Nurani”. Ingin sekali saya sematkan lencana itu.
Karena saat itu, Ibu yang dengan penuh ikhlas ikut merawat kelahiran anak pertamaku, Fahmi Rifli Pradana hingga cukuran rambut 40 hari.
Karena saat itu, Ibu yang dengan penuh kelembutan selalu mengetuk pintu kamarku pukul 4.00 pagi setiap hari, membangunkan lalu menyiapkan sarapan sebelum kerja.
Karena saat itu, Ibu yang dengan penuh kasih sayang mencarikan pakaian lebaran anak-anaknya ke Pasar Jatinegara tanpa berpikir uangnya cukup atau tidak.
Karena saat itu, Ibu yang dengan penuh kesabaran hanya bisa mendengarkan suara-suara cinta anak-anaknya yang datang menjenguk di tengah pembaringan sakitnya.
IBU adalah HATI NURANI.
Mengenang Ibu, memang bukan makhluk sempurna. Ibu pun punya salah.
Tapi Ibu terlalu mudah untuk memaafkan kesalahan anak-anaknya. Maka pantas, Ibu pun mudah dimaafkan atas salah dan khilafnya. Apapun alasannya. Berapapun besarnya. Karena dari Ibu, kami belajar “tidak ada salah yang tidak termaafkan”.
Ibu, engkau yang menyusui kami. Engkau pula yang mengajari kami berjalan di saat kaki ini belum kuat. Engkau yang selalu tersenyum saat kami nakal dan berbuat salah. Engkau yang menasihati kami akan kebenaran. Dan engkau pula yang mengorbankan malam untuk menjaga kami seperti siang. Engkau yang memberi kami makan di saat perut lapar. Bahkan saat hati dan jiwa kami tergoncang, engkau pula yang mengobati untuk selalu tegar. Ibu, engkau segalanya bagi kami.
Ibu, sungguh kami belajar darimu. Bahwa doa dan ikhtiar adalah kekuatan hidup manusia. Gelimang harta, tahta, dan mahkota sungguh tak berarti di hadapanmu. Hanya doa dan restumu yang selalu menguatkan kami.
IBU …
Terima kasih atas segala pengorbanan dan perjuanganmu.
Mohon maaf atas segala salah dan khilaf kami.
Selamat istirahat di pembaringan terakhirmu.
Insya Allah, kami akan terus mendoakan dan menjaga amanahmu, IBU.
Hanya surga yang pantas membayar kasih sayang tulusmu. Hanya Allah yang pantas menjagamu. Hingga perhitungan akhirat tiba …
TAK AKAN ADA AIR MATA TERAKHIR UNTUK IBU.
IBU, izinkan kami. Untuk meraih surgamu, yang masih rapat tersimpan di antara rimbun belantara kehidupan yang sebentar lagi usai.
SURGA ADA DI TELAPAK KAKI IBU. BERBAKTILAH SEKARANG UNTUK IBU. SELAGI MASIH PUNYA WAKTU. SEBELUM IBU PERGI.
LALU, MENGAPA KITA MENCARI SURGA DI LUAR IBU KITA ?
SELAMAT JALAN Ibu Taty Raenawaty
Tetaplah tersenyum untuk kami. Hingga nanti, takakan ada air mata terakhir untukmu ... IBU @Kecup kening dari anak-anakmu ...#RIPIBU.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H