“Nak, yang ibu tahu, puasa itu berarti menahan diri. Menahan diri dari makan dan minum. Menahan diri dari hawa nafsu. Karena di luar bulan puasa, kita merasa boleh semuanya. Maka di bulan puasa, kita belajar untuk menahan diri. Tidak boleh makan, tidak minum dari subuh hingga maghrib. Al imsaku 'anil muftiraati min thulu'il fajri ilaa ghuruubisy syamsyi. Yang halal saja tidak boleh, apalagi yang haram” jelas Surti seadanya.
“Betul kata ibumu Nak” Tono ikut menyahut.
“Dengan puasa, kita menahan diri dari perbuatan yang dilarang Allah SWT. Paling minimal, menahan diri agar puasa kita tidak batal. Percuma kan kita puasa, tidak makan, tidak minum tapi kita tidak mendapat pahala-Nya. Menahan diri dari hiruk-pikuk dunia, yang sering membuat kita sulit menahan diri” papar Tono.
Ya. Menahan Diri. Dengan menahan diri, kita pada akhirnya dapat mencapai tujuan puasa. Secara vertikal. Agar menjadi orang yang bertaqwa, meningkatkan keimanan, dan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Secara horizontal, ikut merasakan apa yang dialami orang miskin, yang hanya bisa makan satu kali sehari. Karena mereka tidak mampu untuk membeli makanan.
Maka puasa. Bisa kita katakan momentum untuk istirahat sejenak dari keduniaan. Lebih dekat pada Allah SWT dengan mengerjakan yang sunnah. Apalagi yang wajib. Sambil kita menambah energi kepedulian sosial untuk berbagi kepada mereka yang kelaparan. Atau yang ekonominya miskin dan kurang beruntung.
“Berpuasalah Nak. Setidaknya ada dua yang baik di situ. MINTA MAAF dan MAU MENAHAN DIRI. Karena apa yang kita kerjakan di bulan puasa, sering kita lupakan di bulan yang lain” nasehat Tono pada anaknya.
Tono sambil merenung. Berpikir. “Seandainya mereka tahu, puasa adalah perisai yang akan membentengi diri seseorang dari api neraka. Maka, sangat pantas tiap orang optimalkan ibadah puasa. Lalu, mengapa kita sering bosan bila imam sholat tarawih kelamaan bacaannya. Sementara di waktu yang sama, kita gak pernah bosan menonton serunya laga sepakbola walau hingga perpanjangan waktu sekalipun”.
Surti mulai merasa ngantuk. Bersiap tidur agar bisa bangun dini hari, menyiapkan makan sahur suami dan anak-anaknnya. Surti hanya berharap, puasa kali ini bisa menjadikan dirinya lebih mampu menahan diri, dari apapun dan untuk apapun. Agar ia bisa meraih pencapaian tertinggi dari puasa; "terbukanya hijab batin dan berjumpa dengan Allah SWT dalam ketakwaan”.
“Sungguh, hidup harus berani meminta maaf dan mau menahan diri. Agar hari-hari ke depan lebih baik dari hari-hari yang sudah terlewatkan” begitu doa Surti menutup obrolan malam jelang puasa. Sebuah tradisi kecil di rumah Surti....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H